20

91 9 1
                                    

#Topeng

"Aku akan memberi tahumu." Jonggrang berhenti, dia melihat pada jari-jarinya yang terjalin. "Ibuku yang saat itu masih mengandung adikku, terbunuh di acara perayaan kerajaan kami."

Bandung terdiam, dia menunggu Jonggrang melanjutkan. Bisa terlihat kesedihan merayapi gadis itu saat dia menundukkan pandangannya agar tak terlihat air matanya.

"Yang aku tahu, Nyi Serimbi adalah alasan di balik kematian ibuku. Dia meletakkan racun pada minuman ibu. Membuat adikku yang belum sempat lahir ikut terbunuh. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Ayahanda meminta emban membawaku pergi. Tapi aku tahu bahwa wanita itu lolos saat mendengar ayahanda memerintahkan para abdi untuk mencarinya."

"Setelah bertahun-tahun, beberapa hari yang lalu, kami mendapat kabar dari seseorang bahwa dia melihat Nyi Serimbi di Pengging." Jonggrang tidak mengatakan dengan jelas bahwa seseorang itu adalah prajurit mata-mata dari Prambanan. Dia berusaha mengolah kata-katanya.

"Karena itu kau datang ke sini?" tanya Bandung memastikan.

Jonggrang mengangguk. "Hm. Aku tidak memberi tahu ayahanda, karena dia pasti tidak akan mengizinkanku pergi."

"Tapi kau tahu apa yang kau lakukan ini bahaya, kan? Apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu wanita itu? Apa kau pikir bisa mengalahkannya?" Bandung menyerangnya dengan pertanyaan.

"Tapi aku tidak bisa diam saja."

Pandangan Bandung mengikuti Jonggrang saat dia bangun dari posisinya.

"Aku harus tahu alasan apa yang membuatnya meracuni ibuku. Ibuku adalah wanita baik hati yang selalu melakukan kebaikan semasa hidupnya. Tapi, wanita itu, beraninya dia. Aku sangat membencinya. Aku ingin membunuhnya."

Bandung melihat tatapan tajam Jonggrang. Gadis itu benar-benar serius untuk membalaskan dendam ibunya.

"Apa kau tahu sesuatu tentang Nyi Serimbi?"

Bandung menatap Jonggrang yang tidak menjawab pertanyaannya. Dia sudah menduga Jonggrang datang dengan modal nekad tanpa persiapan yang matang. "Kita harus mencari tahu informasi tentangnya. Duduklah lagi, Tuan Puteri."

Jonggrang melemaskan matanya. Dia duduk, masih tak mau menatap Bandung dan memandang lurus.

"Aku..." Jonggrang menggigit bibirnya. Semakin banyak dia bicara, semakin perih rasa sakitnya. Setiap kali mengingat ibunya, dia akan selalu menangis.

Bandung melihat setetes air mata Jonggrang jatuh ke pangkuannya. Dia tak suka cara gadis itu menahan diri untuk tidak menangis. "Jangan gigit bibirmu."

Jonggrang menurutinya entah kenapa. Mungkin suara dari Bandung yang terdengar memerintah dan suasana tegang yang tiba-tiba ia rasakan.

"Menangislah. Aku tidak akan melihatmu jika kau mau."

Jonggrang menggelengkan kepala. Dia keras kepala untuk menangis di hadapan orang lain. Semenjak dia tumbuh, dia selalu menyembunyikan perasaannya. Para emban yang mengurusnya, bahkan ayahnya sendiri, tidak pernah ia perlihatkan lagi dirinya yang menangis.

Bandung menghela napas. Jika bisa, dia ingin memeluk Jonggrang dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi dia tahu Jonggrang tidak akan menerimanya dengan baik. Jonggrang masih merasa asing dengannya. Dia melihat sekeliling untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa mengalihkan perhatian Jonggrang. Lalu, Bandung mengingat sesuatu yang ia simpan. Dia berjalan ke arah lemari kayu yang besar dan mengambil sesuatu dari sana. Sebuah selendang merah. Dia ulurkan selendang itu di depan Jonggrang.

Hanya untuk PrambananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang