14

77 7 3
                                    

#Di antara ribuan

'Aku tidak melihatnya.'

"Ayah ingin kau menguasai Prambanan."

Dahi Bandung berkerut mendengar ucapan ayahnya. "Apa maksud ayah?"

"Kau mengerti, Bandung. Ayah berharap kau bisa merebut kekuasaan Prambanan." Prabu Damar Maya menjeda ucapannya. "Artinya kau harus berperang dengan orang itu."

"Aku pikir ayah lebih memilih perdamaian."

"Ya, dalam hidup ini hanya ada dua pilihan; diserang atau menyerang. Pengging dan Prambanan tidak memiliki hubungan yang baik, tidak bisa dibilang buruk juga. Kami tidak pernah berinteraksi. Prabu Baka telah merebut wilayah lain dan menjadikan Prambanan lebih besar. Bukan tidak kemungkinan bagi dirinya untuk menyerang Pengging juga. Kita hanya kerajaan kecil dibanding mereka. Bisa dengan mudah dikalahkan. Karena itu, Bandung; puteraku, ayah ingin kau dan Patagama mempersiapkan para prajurit Pengging untuk peperangan. Hanya tinggal menentukan waktu," ucap Prabu Damar Maya panjang lebar.

Bandung mengepalkan tinjunya.
"Baik, Ayah. Keinginanmu adalah perintah untukku."

Mari kita lihat di sisi lain. Ada Puteri Mahkota dari Brata; Banyu bersama saudari-saudarinya. Dialah yang akan menggantikan posisi ayahnya suatu hari nanti. Umurnya sudah mencapai 29 tahun. Belum menikah bahkan belum mempunyai calon. Ayahnya sering mendesaknya untuk segera menikah atau melakukan sayembara jika perlu, mulai dari tahun-tahun lalu. Sang ayah memang tidak kenal lelah. Yah, tentu saja, ayah mana yang ingin puterinya menjadi perawan tua? Dan karena ada tradisi lain di kerajaannya, seperti seorang adik yang tidak boleh mendahului kakaknya. Bukan bermaksud memberatkan sang adik, tapi Banyu sedang menunggu seseorang untuk melamarnya. Pria yang lebih muda darinya. Umur bukan masalah, kan? Ibunya saja lebih tua dari ayahnya.

Ini terjadi saat Banyu masih kecil dan jatuh cinta saat melihat keahlian berpedang seorang pemuda. Tapi mereka tidak pernah bicara sekalipun. Dia hanya memperhatikan dari jauh dan diam-diam. Matanya yang tajam setajam senjata dewa, pemuda itu selalu terlihat gagah dalam pandangannya. Banyu sering menghayal bisa menikah dengan pemuda itu ketika dewasa nanti. Memimpikan hubungan yang romantis dan anak-anak yang lucu bersamanya. Kemudian, dia mengetahui bahwa pemuda itu adalah saudaranya; anak Bibi Kalareina. Bandung namanya. Nama yang sering ia sebut dalam hati.

Banyu tidak berani mengungkapkan perasaannya pada sang ayah. Dia hanya menunggu Bandung yang sedang pergi untuk pendidikan. Tapi kalaupun dia kembali, apakah Bandung akan mencintainya? Dia belum melakukan peningkatan apapun. Tidak pernah memberikan tindakan sebagai kode pada pria itu. Bagaimana jika dia menikahi wanita lain pada akhirnya? Pemikiran ini membuat hatinya terluka.

Melihat kakaknya yang melamun, Wulan mendekatinya. Hanya dia seorang yang mengetahui perasaan Banyu pada Bandung. Dia yakin kakaknya pantas mendapatkan pangeran itu setelah penantiannya. Sambil tersenyum, Wulan mengelus pundak Banyu dan berbisik, "Dia pasti menjadi milikmu." Membuat sudut bibir Banyu tertarik ke atas membentuk senyuman.

Wulan adalah anak kedua. Umurnya 28 tahun, dan memiliki 2 kembaran. Yaitu Biru dan Lastri. Wajah mereka mirip, yang membedakan hanya bentuk wajah. Tidak terlalu sulit membedakan jika sudah lama mengenal mereka. Ketiga perempuan itu bukanlah anak kembar satu-satunya dari pasangan Prabu Bratajaya dan Permaisuri Sekarseni.

Lalu, anak kelima bernama Sari, umurnya tidak jauh berbeda dengan 3 kembar. Hanya terpaut 2 tahun. Anak keenam bernama Ajeng, berusia sekitar 23 tahun. Anak ketujuh namanya Bastra, berusia 21 tahun. Kemudian adiknya yang kembar bernama Sekar dan Chandra yang terpaut 2 tahun dengannya. Yang terakhir yaitu Galuh, Nielam, dan Ambara. Anak kembar terakhir dari 12 bersaudara.

Hanya untuk PrambananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang