Kota nya tidak pernah padam. Ketika dini hari telah datang masih banyak orang yang berlalu lalang. Para manusia yang tak mengenal waktu dalam bekerja. Wajah yang di penuhi raut kelelahan akibat tekanan pekerjaan memenuhi jalanan terang Ibu kota.
Udara yang berhembus semakin mendingin, langkah-langkah kaki semakin di percepat. Ber-angan agar cepat menyembunyikan diri mereka di balik selimut yang hangat. Membayangkannya saja rasanya sudah menghilangkan efek dari penatnya pekerjaan.
Dua pasang mata mengamati orang-orang yang terlihat memikul beban berat tersebut. Mereka duduk pada kursi di depan Minimarket yang buka selama dua puluh empat jam. Dua cup mie instan menyembulkan asap panas, sangat tepat untuk menemani malam yang semakin dingin.
Tiga menit telah terlewat dalam keheningan. Menurut penyajian, mie instan mereka telah matang, akan tetapi kedua anak Adam itu tidak segera menyantapnya.
Mereka membuat kontak mata dalam diam. Pemilik sepasang netra yang berada di balik kacamata kemudian menunduk, ia meremat jemarinya yang mulai keriput karena dinginnya udara. Ia memaki dalam hati untuk dirinya sendiri, "Kenapa gue jadi agak takut gini sih sama dia?"
Suara berat dari manusia satunya masuk dalam indra pendengarnya, "Lo tau kan hal yang lo lakuin itu salah?"
Yang di tanyai tak langsung menjawab, ia menggigit bibirnya sendiri, gugup setengah mati menghampiri dirinya saat pertanyaan yang tersirat amarah itu tertuju padanya.
Ia mengambil pasukan oksigen yang tiba-tiba memberat, berusaha agar tidak terlihat gugup ataupun takut, "Ya emang kenapa? Hal yang gue lakuin emang ngerugiin lo?"
Sungguh, terkutuk lah mulutnya itu. Bukan itu jawaban yang ingin ia keluarkan, sumpah! Otak serta mulutnya memang tak bisa di ajak bekerja sama, sialan sekali.
Pemilik suara berat bermata hitam itu terkekeh pelan, ia kembali terfokus pada si pirang yang merutuki dirinya sendiri. Ia tau, lelaki pirang ini pasti sedang mengutuk mulutnya yang sangat kurang ajar itu.
Ia menumpu tangannya di atas meja, kemudian menaruh dagunya di sana, wajahnya kembali nampak garang, "Gue nanya sama lo, kenapa lo main sama Taejin, Kim Jungoo?"
Lelaki yang di panggil dengan Kim Jungoo barusan menghela nafas, tangannya mengambil satu cup mie instan yang merupakan miliknya. Ia meniupnya sejenak sebelum kemudian menyuapkan mie tersebut pada mulutnya. Susah payah ia mencari uang, sayang sekali jika tidak di makan.
Setelah satu suap berhasil ia telan, Jungoo menjawab singkat, "Bosen."
Pemilik surai legam tersebut mengernyitkan alisnya, merasa tak puas dengan jawaban dari si pirang, "Lo bisa main sama gue, ngapain sama dia?" tanyanya dengan logat tak suka yang kentara.
Jungoo mengangkat bahunya, ia kembali menjawab dengan acuh, "Cari suasana baru."
Kerutan di alisnya semakin terlihat jelas, ia mengutarakan asumsinya, "Jadi, lo enggak suka lagi main sama gue, dan lebih milih main sama dia sekarang?"
Jungoo tak langsung menjawab, ia menyeruput mie nya hingga menimbulkan suara yang sangat berisik. Tetapi ia tidak peduli dengan kebisingan yang ia ciptakan. Menanggapi orang bermata hitam satu ini membutuhkan tenaga ekstra, jadi, biarkan Jungoo mengisi perutnya terlebih dahulu.
Sementara lelaki yang mengajukan pertanyaan tersebut menunggu dengan sabar. Matanya merekam pemandangan si pirang yang makan di hadapannya. Sangat berantakan, jika orang lain yang makan di depannya seperti yang dilakukan si pirang, maka ia tak akan segan untuk memukul orang tersebut agar makan secara rapi dan beraturan. Tetapi ia tak akan melakukan hal tersebut pada lelaki pirang ini. Alasannya? Entahlah, mungkin ia sudah terbiasa?

KAMU SEDANG MEMBACA
Rekan? || GunGoo
De TodoApa yang membuat sebuah hubungan 'abu-abu' di antara mereka berjalan begitu rumit? Terlambat menyadari, atau kalah oleh ego masing-masing? . . . . . . Park Jonggun x Kim Jungoo