12. A Drug

22 11 3
                                    

"Nih, minum." Arsenio menyodorkan botol berisi air mineral pada Asmira, keduanya kini sudah berada di mobil Arsenio. Setelah kejadian tadi, pria itu mengusulkan untuk Asmira izin pulang lebih awal pada pihak sekolah karena tidak mungkin dia akan mengajar dengan keadaan terluka seperti sekarang.

Arsenio menuangkan alkohol pada kapas di kotak p3k yang selalu tersedia di dalam mobilnya. Tangan kirinya bergerak memegang wajah Asmira membuat gadis itu menoleh ke arahnya, kemudian Arsenio dengan telaten membersihkan darah yang sudah mengering pada sudut bibir kanan Asmira.

"Shh," ringis Asmira saat merasakan perih dan sakit pada area wajahnya.

"Maaf-maaf," ucap Arsenio sambil menatap Asmira, pria itu sejenak menghentikan aktivitasnya. "Tahan, ya."

Asmira mengangguk, pandangannya tak lepas dari Arsenio yang kini kembali membersihkan lukanya. Pupil berwarna cokelat itu fokus pada satu titik, dapat Asmira rasakan pandangan Arsenio mengisyaratkan kekhawatiran yang begitu luar biasa. Jari-jarinya bergerak dengan telaten berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyakiti wanita di hadapannya. Hal itu membuat Asmira tanpa sadar meneteskan air mata hingga mengenai ibu jari Arsenio.

"Eh, kenapa? Sakit, ya?" Arsenio menghentikan aksinya dan kembali menatap Asmira yang kini sudah tertunduk dengan berlinang air mata, Gadis itu mengaku bahwa dirinya merupakan orang yang cengeng.

"Terima kasih," lirih Asmira bahkan hampir tak terdengar suaranya.

Bibir Arsenio tertarik bak bulan sabit, seutas senyum tulus muncul di wajahnya. Walau begitu, tak dapat dipungkiri bila hatinya terasa sakit. Sakit melihat gadis di hadapannya sangat lemah, sakit melihat Asmira menangis tanpa suara seperti dulu, sakit saat melihat adanya luka di wajah Asmira. Semua hal pahit hari ini seperti kaset lama yang diputar kembali. Tangis Asmira masih sama seperti dulu, tidak bersuara tetapi sangat menyayat hati. Bedanya dulu luka itu hadir karena ibu Asmira sendiri, sedangkan sekarang luka itu hadir dari orang yang bahkan baru dikenal oleh Asmira dalam kurun waktu satu tahun.

"Kenapa terima kasih?" tanya Arsenio dengan lembut. "Harusnya aku yang minta maaf, coba aja kalau aku enggak ajak kamu makan siang bareng. Mungkin hal ini enggak akan terjadi dan mungkin kamu enggak putus sama pacar kamu itu. Maafin aku, ya?" Arsenio memiringkan kepalanya menunggu tanggapan dari Asmira. Kalau boleh jujur, sebenarnya ada rasa sakit saat mengucapkan kalimat kedua itu. Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk merasa marah ataupun sakit hati karena dirinya harus terlihat tenang agar Asmira juga ikut tenang.

Asmira menggeleng sambil menatap Arsenio. "Aku emang udah bener-bener capek sama sikapnya Elvan, tanpa kejadian ini pun aku yakin hubungan kita enggak akan bertahan lama," terang gadis itu.

Garis Fana [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang