15. Hilangnya Asmira

18 12 0
                                    

Pagi-pagi sekali bahkan, matahari pun masih malu-malu untuk muncul. Tetapi Arsenio sudah berkutat di dapur mengupas beberapa butir jahe. Hujan deras tadi malam membuat badan Arsenio menjadi meriang pagi ini, hidungnya memerah dan mengeluarkan lendir, Arsenio menebak bahwa dirinya terkena flu. Jadi, dia ingin mencoba membuat teh jahe seperti yang dibuat oleh Asmira tadi malam. Pengalaman dibidang memasak dan ilmu yang didapatkan dari kuliah di jurusan tata boga membuat Arsenio mudah menebak bahan apa saja yang Asmira masukkan pada teh jahe semalam.

"Kurang apa, ya?" Arsenio mengetuk-ngetuk jarinya pada ujung meja, dia kemudian menjentikkan jarinya saat tahu apa kekurangannya. Dia segera memasukkan kayu manis pada panci berisi teh dan rempah yang masih mengeluarkan uap panas. Mengaduk dan mencicipinya kembali, Arsenio tersenyum puas. Rasanya sudah mirip dengan yang Asmira buat, bedanya Arsenio menggunakan gula pasir karena stok gula aren di rumahnya sedang habis. Dia kemudian memindahkan teh jahe ke dalam teko kaca yang atasnya sudah diberi saringan.

"Sayang banget enggak pakai gula aren," gumam Arsenio sembari menuangkan minuman buatannya pada cangkir.

"Bikin apa, Nak?"

Arsenio membalikkan tubuhnya saat mendengar suara dari arah belakangnya, ada sang ibu yang tengah menggelung rambut berdiri tak jauh dari Arsenio. Wanita berkulit putih itu berjalan ke arah Arsenio.

"Teh jahe, Bu." Arsenio mengambil cangkir kemudian menuang kembali minuman buatannya, menyodorkannya pada Mila. Membiarkan wanita itu mencicipinya.

"Enak, dingin-dingin gini minum yang anget-anget. Pinternya anak ibu," puji Mila membuat Arsenio tersenyum senang. Bagi Mila, semua yang dilakukan oleh anak-anaknya merupakan sebuah kebanggaan dan dia akan dengan senang hati mengapresiasi.

"Ibu harus cobain teh jahe buatan Asmira," ucap Arsenio membuat Mila penasaran.

"Asmira? Siapa, itu?" Mila menatap putranya sambil menaik turunkan kedua alisnya. Dia berpikir apakah Asmira adalah gadis yang waktu itu putranya ceritakan.

"Cewek, Bu," jawab Arsenio sekenanya. Dia tak ingin terlalu jauh mengungkapkan identitas Asmira, gadis itu belum menjadi miliknya. Walau saat SMA mereka berdua berpacaran namun kedua orang tuanya belum pernah mengenal Asmira sama sekali.

"Ck, kamu itu," decak Mila kesal.

Tak ingin ibunya bertanya lebih jauh, Arsenio segera berjalan menuju kulkas. Mengambil bahan masakan untuk membuat sarapan. Dia ingin sekali sarapan dengan nasi pecel, rasanya sudah lama Arsenio tidak sarapan dengan menu itu. Membayangkan kacang panjang, taoge, dan kangkung yang sudah matang disiram dengan sambal kacang membuat Arsenio merasa lapar, apalagi bila ditambah dengan peyek kacang dan telur dadar. Rasanya pasti sangat nikmat.

"Ibu, bikin peyek kacang, dong," pinta Arsenio membuat Mila mengiyakan.

Sembari Mila membuat peyek, Arsenio menyiapkan langseng yang sudah dia isi dengan air. Kemudian menyiapkan sayur-mayur yang akan dipakai, memotong dan mencucinya lalu memasukkan semua sayuran ke dalam langseng yang airnya sudah panas. Mengukusnya hingga matang sembari menyiapkan bumbu kacang.

Setelah semuanya siap, pria itu memindahkan hidangan buatannya ke atas meja makan. Sambil menunggu semua anggota keluarganya turun, Arsenio dan Mila membereskan alat-alat masak yang mereka gunakan.

"Om kenal Nada?" tanya Arjani yang sambil menuruni tangga.

Arsenio mengangguk sambil membereskan alat masak yang sudah dirinya cuci, menyimpannya kembali di tempat.

"Iya, kenapa?" Arsenio mengambil duduk di depan Arjani yang tengah memakan peyek kacang.

"Tadi malem nge-chat aku, katanya dia jatuh dari motor terus ditolongin sama Om," terang Arjani kemudian melirik ponselnya yang berdering kemudian mengangkat panggilan yang masuk itu.

"Kenapa Nad?" tanya Arjani pada orang di seberang sana.

"Masa, sih. Bu Asmira kan udah dewasa, Nad," Arjani kembali berucap. Kali ini, nama yang keluar dari mulut gadis itu mampu mengalihkan atensi Arsenio dari ponsel yang baru saja dia nyalakan.

"Iya, iya, gue kasih tau om gue. Lu istirahat aja , Nad." Arjani menaruh kembali ponselnya saat panggilan itu sudah terputus.

"Kenapa?" tanya Arsenio.

Arjani langsung menatap adik dari ibunya itu dengan intens. "Om, bu Asmira enggak ada," ucap Arjani sangat ambigu. "Kata Nada, dia terakhir ngelihat bu Asmira itu pas malem sama Om. Pagi ini dia ke kamar bu Asmira tapi enggak ada siapa-siapa, pintu rumahnya juga kayak dicungkil gitu. Kayak ada yang ngebobol, terus keramiknya juga kayak ada jejak sepatu gitu, apa jangan-jangan bu Asmira diculik, ya, Om?" jelas Arjani, suaranya menggebu-gebu.

"Jangan ngaco, Jan. Siapa tahu Asmira keluar cari sarapan," ujar Arsenio, dirinya sangat berpikir positif karena tidak mungkin Asmira hilang begitu saja. Dia gadis yang cerdas dan kuat, lagi pula Asmira itu bukan anak-anak, mana mungkin ada yang menculiknya.

Walau begitu, ada rasa khawatir yang bersarang dihati Arsenio. Dia takut Asmira celaka, apalagi gadis itu baru saja putus dengan Elvan yang menurutnya bukan termasuk orang baik. Arsenio segera melakukan panggilan telepon pada Asmira. Satu kali, dua kali, tiga kali, hingga kesepuluh kali, tetapi tak ada yang mengangkatnya sama sekali. Hal ini membuat Arsenio khawatir hingga kepalanya merasa pusing.

"Nak, Arsen. Ada Kian, tuh," tutur Mila, tadinya dia akan pergi ke kamar untuk memanggil Antoni. Tetapi suara ketukan membuatnya berjalan membukakan pintu, ternyata Kian yang datang.

"Oy, Arsen." Kian, pria dengan tahi lalat di bawah mata itu berjalan menghampiri Arsenio, di tangan kanannya ada paper bag berukuran sedang.

Arsenio yang sedang mencoba mengirimkan pesan pada nomor Asmira pun mengabaikan keberadaan Kian, membuat temannya itu heran.

"Kenapa, sih? Ada masalah di resto?" tanya Kian sambil menaruh paper bag di hadapan Arsenio.

Kepala Arsenio terangkat memandang Kian. "Bawa apa, nih?" tanya Arsenio.

"Oleh-oleh," balas Kian, dirinya baru saja pulang dari Pulau Dewata; Bali. Kebetulan rumah Arsenio yang paling dekat dengan rumahnya, sehingga Kian lebih dulu memberikan oleh-oleh pada pria itu.

"Thanks." Arsenio kembali fokus pada ponselnya seolah mencari sesuatu, setelahnya dia menyodorkan ponselnya pada Kian.

"Kenal orang ini?" tanya Arsenio, terpampang foto Elvan yang dia dapat dari media sosial.

Kian segera mengangguk. "Kenal, bukan orang baik."

"Maksudnya?" tanya Arsenio, Elvan memang terlihat seperti orang yang sangat kasar. Namun, apakah dia seburuk itu?

"Dia yang udah buat Arana meninggal," balas Kian sendu.

Arana adalah adik dari Kian yang meninggal delapan tahun yang lalu dengan cara bunuh diri. Namun, sejak dulu pria itu tak pernah menceritakannya kepada Arsenio atau temannya yang lain penyebab Arana bunuh diri.

Arsenio melirik Arjani yang baru saja selesai dengan makanannya, mengisyaratkan untuk gadis itu pergi lewat gerakan kepalanya. Arjani yang mengerti maksud Arsenio pun segera pergi sambil membawa piring kotor bekasnya.

"Arana bunuh diri karena depresi, dia dihamili Elvan. Tapi, cowok itu enggak mau tanggung jawab. Keluarga kami baru tahu setelah satu tahun Arana pergi, itu pun dari buku diarinya Arana." Kian menunduk sedih mengingat hal itu, sakit rasanya saat adik perempuan satu-satunya harus pergi dengan cara yang mengenaskan. Dulu, keluarga mereka bukanlah keluarga dengan ekonomi yang baik sehingga mereka tak bisa melawan Elvan yang kaya raya itu.

Mendengar cerita dari Kian membuat hati Arsenio semakin gelisah, dirinya khawatir Asmira mengalami hal yang buruk seperti Arana. Itu tidak boleh terjadi, Asmira tidak boleh terluka sedikit pun.

"Ayo." Kian berdiri dan menarik tangan Arsenio untuk mengikutinya.

Garis Fana [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang