7. Bertemu Dia

106 46 11
                                    

Di mejanya, Arsenio mengembuskan napas seperti melepas beban. Matanya melirik jam di tangannya yang sudah menunjukkan waktu makan siang. Pria itu kemudian berdiri dari duduknya setelah merapikan barang-barang di meja.

"Mau makan siang, Pak Arsen?" tanya Dika, kasir di restoran Arsenio.

"Iya, nih, Dik. Saya mau beli nasi padang, sekalian, nggak?" gelengan kepala yang Dika berikan membuat Arsenio mengangguk paham. "Kalau gitu saya duluan."

Walaupun Arsenio merupakan bos di restorannya tetapi dia menganggap semua orang yang ada di sana itu sama, tak jarang dirinya menawarkan sesuatu kepada para karyawan yang ada di sana seperti tadi. Kini pria itu sudah melesat dengan mobilnya, tujuannya kali ini adalah rumah makan padang yang berjarak sekitar satu kilo meter dari restorannya.  Setelah memesan makanan yang diinginkan ia segera duduk di meja  kosong, tempat ini hanya rumah makan padang biasa yang berada di antara kios-kios.

Sedang nikmat menyantap makanannya, tiba-tiba suara seseorang mengalihkan perhatian Arsenio. Suara yang sudah lama tidak didengar olehnya, suara lembut seseorang yang berdiri di dekat etalase dengan posisi membelakanginya. Pandangan Arsenio terfokus padanya, meyakinkan hati apakah benar gadis yang membelakanginya adalah gadis yang sama seperti di pikirannya?

Arsenio yang sudah diselimuti rasa penasaran membulatkan tekad untuk menghampiri gadis yang sedang memilih lauk, mengucapkan kata 'Permisi' yang membuat gadis itu menoleh ke arahnya.

"Asmira." Arsenio mengepalkan tangannya, menatap tak percaya apa yang dilihatnya. Binar bahagia terpancar dari matanya.

Mata gadis itu melebar, tidak percaya dengan apa yang dirinya lihat. "Kamu ... Arsenio?"

Arsenio mengangguk pelan, matanya tidak lepas menatap gadis berkulit kuning langsat. Mengagumi paras ayu gadis berseragam PDH dengan warna khaki itu.

"Apa kita bisa berbicara sebentar?" tanya Arsenio membuat Asmira menatap jam tangannya.

“Mau bicara tentang apa?” Asmira mengangkat sebelah alisnya.

Arsenio terdiam sejenak, memikirkan hal apa yang akan dia ucapkan. “Emm ... berbincang sedikit, udah lama kita enggak ketemu.” Pria itu memainkan jari-jari tangannya, jantungnya berdetak kencang takut Asmira menolak ajakannya.

"Boleh," balas Asmira yang mampu memunculkan senyum di bibir Arsenio.

"Biar aku saja yang membawakan makananmu." Arsenio mengambil makanan yang akan di bawa Asmira membuat gadis itu sedikit terkejut, keduanya kemudian duduk di meja tempat Arsenio makan.

"Silakan, Asmira." Arsenio menaruh piring berisi makanan di hadapan Asmira, membuat gadis itu merasa canggung.

"Terima kasih," balas Asmira kikuk. “Jadi?” Gadis itu menatap Arsenio penuh tanya.

Arsenio menundukkan kepalanya sejenak lalu kembali menatap Asmira, tidak lupa dengan senyum tipisnya. "Apa kabar?"

"Aku baik," jawab Asmira tanpa menatap Arsenio, dia masih tidak percaya dengan hal ini.

“Nenek kamu gimana kabarnya?” tanya Arsenio, dirinya bingung ingin berbicara apa lagi.

Asmira kontan menatap Arsenio, dirinya menelan ludah dengan susah payah. “Udah lama meninggal.” Ah, dia kembali rindu dengan neneknya. Ingin rasanya berkunjung ke makam sang nenek, tetapi dirinya takut luka lama akan kembali terbuka. Asmira tidak seberani itu untuk pergi ke kota tempat neneknya dimakamkan, kota itu terlalu banyak menyimpan kenangan untuknya.

Mendengar jawaban dari lawan bicaranya membuat Arsenio menunduk merasa bersalah. “Maaf-maaf aku enggak tau.”

Asmira mengangguk mengerti, dirinya menenangkan Arsenio dengan berkata, “Enggak apa-apa, kita kan udah lama enggak ketemu. Wajar kalo kamu enggak tau.”

Garis Fana [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang