10. Pertemuan Pertama

25 18 8
                                    

“Halo.” Arsenio mencuci kedua tangannya kemudian melepas apron yang terpasang pada tubuhnya, kepalanya ia miringkan untuk menyangga ponsel yang dirinya simpan di antara pundak dan kepala.

 “Om ... bantu Arjani, dong,” ucap Arjani melalui ponsel.

“Kenapa? Om lagi sibuk Jan, ada perusahaan yang udah reservasi buat hari ini,” ungkap Arsenio, pria itu sudah menjauh dari area dapur agar tidak menganggu yang lainnya.  Interior pada restoran ini berbahan dasar kayu, banyak ukiran-ukiran yang membuat restoran milik Arsenio tampak elegan dan klasik. Semua ukiran itu berasal dari mebel milik Antoni, katanya ini sebagai hadiah untuk Arsenio karena bisa mendirikan dan mengembangkan bisnis tanpa bantuan siapapun.

“Om, aku takut kalau bilang ke mamah. Om ke sini, ya?” Arjani menatap dua orang guru yang tak lain adalah wali kelas dan guru bimbingan konseling yang tengah menatapnya, di sebelahnya ada seorang murid yang penampilannya tidak kalah berantakan dari Arjani.

“Kamu berantem, ya?” tanya Arsenio penuh curiga.

Arjani menggigit jarinya untuk menghilangkan rasa takut. “Hehe, iya.”

Arsenio menyangga kepalanya menggunakan tangan kanan, dirinya pusing dengan kelakuan Arjani. “Kamu belum lama pindah, Jan,” terang Arsenio. “Ya sudah, om ke sana.” Arsenio langsung mematikan panggilan dari Arjani.

“Dika, bilang ke Rey titip resto. Saya ada urusan sebentar,” pamit Arsenio pada Dika yang baru saja melayani pelanggan.

Lelaki dengan wajah layaknya orang Arab itu menunduk hormat. “Siap, Pak,” balasnya patuh.

Arsenio segera meninggalkan tempat yang tengah ramai itu, dia berjalan menuju mobilnya sambil menggerutu. Menerka-nerka apa yang di lakukan Arjani, ponakannya itu sungguh membuatnya pusing. Namun, Arsenio tahu memang hanya dirinya yang bisa dihubungi pada waktu seperti ini karena Kalea pasti masih sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan Arjani tak mungkin menghubungi Mila dan Antoni walaupun mereka adalah kakek dan nenek gadis itu. Arsenio sudah mewanti-wanti pada semua keluarganya untuk tidak pernah mengganggu mereka dalam masalah apa pun, dia ingin kedua orang tuanya menikmati masa tua tanpa memikirkan hal yang kurang mengenakkan.

Pria itu membuka kaca mobilnya saat sudah memasuki gerbang sekolah Arjani, dia tersenyum dan mengangguk hormat pada satpam yang membukakan gerbang.

“Pak, parkirnya di mana?” tanya Arsenio.

Satpam itu mengarahkan ibu jarinya sebagai penunjuk ke arah depan. “Bapak nanti ke depan terus belok kanan, di sana ada tempat parkir mobil,” jawab pria yang rambutnya dipenuhi uban dengan sopan.

Arsenio mengangguk mengerti. “Baik Pak, terima kasih,” Arsenio berujar. Dirinya sekali lagi mengangguk hormat kemudian segera memarkirkan mobilnya pada tempat yang sudah tersedia. Arsenio mengirimkan pesan pada Arjani di mana gadis itu berada, setelah mendapat balasan pria berkulit sawo matang itu segera berjalan menuju ruang bimbingan konseling yang Arjani beri tahu.

Plang yang terpasang pada setiap pintu di sekolah ini membuat Arsenio mudah menemukan ruangan tempat keponakannya berada sekarang, pria itu mengetuk sebanyak tiga kali pintu yang memang terbuka membuat orang-orang di dalamnya langsung menoleh pada sumber suara.

“Silakan masuk, Pak,” ujar seorang guru dengan papan nama bertuliskan Dela A, S.Pd.

Arsenio berjalan memasuki ruangan itu matanya tertegun tak sengaja melihat seseorang yang dirinya kenal sebelum kembali melanjutkan langkahnya dan duduk di samping Arjani yang sudah tersenyum kuda dengan harapan Arsenio tidak akan memarahinya.

“Perkenalkan saya Dela selaku guru BK di sini dan ini Bu Asmira wali kelas Arjani.” Bu Dela mengulurkan tangannya pada Arsenio dan diikuti oleh Asmira.

Setelah Arsenio memperkenalkan diri, Bu Dela langsung menjelaskan hal apa yang membuat Arjani harus memanggil walinya. Ternyata gadis itu beradu jotos dengan salah satu teman di kelasnya hingga bibir temannya sedikit robek, Arsenio membatin; pantas saja keponakannya itu terlihat berantakan. Setelah menandatangani surat perjanjian untuk tidak mengulangi hal tersebut dan mendapatkan beberapa nasihat akhirnya gadis itu dibiarkan untuk memasuki kelasnya kembali. Tersisa tiga orang dewasa yang berada di sana, Bu Dela memberikan beberapa arahan pada Arsenio agar Arjani tidak mudah melakukan kekerasan pada orang lain. Percakapan mereka di akhiri oleh Asmira yang meminta maaf karena merasa lalai terhadap anak didiknya, kemudian Arsenio dan Asmira pamit keluar dari ruang konseling yang juga menjadi tempat Bu Dela.

“Maafkan Arjani, ya,” ucap Arsenio saat mereka sudah berada di luar membuat Asmira menatap pria itu.

“Enggak masalah, untungnya orang tua temannya Jani enggak memperpanjang masalah,” balas Asmira sambil membenarkan rambutnya yang terkena angin.

Keduanya berjalan beriringan sambil menatap para murid yang sedang berkumpul di beberapa titik, Arsenio jadi teringat awal mula dirinya mengenal sosok Asmira Sasikirana.

Pertemuan pertama mereka terbilang konyol, kala itu Arsenio yang sedang berlari pontang-panting akibat kejaran anjing dengan panik asal masuk halaman rumah seseorang tanpa melihat adanya jemuran di halaman tersebut. Akibatnya dia menabrak seprai juga seseorang dibaliknya, keduanya ambruk bersamaan dengan kain-kain yang masih basah.

“Aww, opo iki,” ringis gadis yang tertimpa seprai dan badan Arsenio.

Dengan napas yang masih terengah-engah segera berdiri saat mendengar suara seseorang di bawahnya. Asmira segera menyibak seprai yang menutupi seluruh tubuhnya gadis itu berdiri dan menatap Arsenio dengan alis berkerut, kulit putihnya berubah memerah dengan pipi mengembung menahan amarah.

“Aduuh, ambruk kabeh,” garutu gadis yang tak lain adalah Asmira sambil memandangi baju-baju serta beberapa seprai dan tapih yang sudah kotor terbalut pasir. Tempat jemuran dari tambang yang dikaitkan pada dua bambu dengan jarak lima meter itu jelas tak akan kuat menahan tubrukan dari Arsenio.

“Maaf-maaf, aku panik tadi dikejar anjing.” Arsenio menangkup kedua tangannya di depan dada bersungguh-sungguh meminta maaf.

Koe sing asu.”

Arsenio melotot mendengar gumaman gadis di hadapannya, walaupun dirinya baru menetap di Semarang selama dua tahun dan masih kaku dalam berbahasa Jawa. Namun, dia jelas tahu apa yang gadis di depannya ucapkan, itu adalah sebuah kata umpatan yang tertuju untuknya.

“Pokoknya kamu harus tanggung jawab,” Asmira berucap sambil menatap Arsenio dari ujung kepala sampai ujung kaki, seragam SMA ketat yang dikeluarkan, rambut yang di bentuk ke atas tetapi masih terlihat berantakan, juga keringat yang mengalir dari pelipis. Asmira menduga bahwa, pria di hadapannya itu pasti membolos.

“Iya-iya,” balas Arsenio pasrah.

Keduanya mulai memunguti pakaian yang bercecer dan memasukkannya pada ember besar, Arsenio dan Asmira terlebih dahulu memperbaiki tempat untuk berjemur sebelum beralih pada pakaian-pakaian yang harus dicuci kembali. Arsenio sempat mendengar Asmira yang bergumam lega—untung saja ibu Anggi belum pulang—hal itu membuat Arsenio bertanya siapakah ibu Anggi yang di maksud dan dia baru mengetahui ini bukan rumah gadis dengan rambut di kepang itu, tempat ini merupakan rumah dari ibu Anggi wanita yang bekerja kantoran sehingga tidak bisa mengurus rumah dan meminta Asmira untuk menggantikannya dengan imbalan 20.000 perhari. Arsenio juga baru mengetahui bahwa, gadis itu satu sekolah dengannya. Namun, saking jarangnya masuk sekolah akibat sering mendapatkan panggilan untuk cuci gosok dan Arsenio yang juga sering bolos membuat mereka tidak memiliki kesempatan bertemu di sekolah.

Obrolan singkat sambil menyuci pakaian bersama membuat Arsenio kagum dengan Asmira, dia rela bekerja untuk biaya sekolah sedangkan dirinya yang sudah diberi hidup enak malah sering bolos. Ah, Arsenio jadi malu.

Arsenio rasa, peristiwa itu baru terjadi kemarin. Namun, ternyata sudah selama itu, mengingatnya membuat Arsenio tersenyum geli.

“Kenapa?” tanya Asmira, sedari tadi dirinya memperhatikan Arsenio yang tersenyum seperti orang gila.

Sadar bila diperhatikan, Arsenio segera menetralkan ekspresi wajahnya. “Enggak, ngomong-ngomong mau makan siang bareng?”

Haloo, dengan Queenaka di sinii!
Maaf guys kemarin aku enggak up, lagi kurang enak badan guys.
Terima kasih sudah mampir

Garis Fana [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang