11. Putus

21 14 6
                                    

“Enggak. Ngomong-ngomong, mau makan siang bareng?”

Asmira mengerutkan dahi, memasang wajah terkejut. “Maaf, ya.”

Arsenio tak hilang akal, aksi modusnya ini harus terlaksana.

“Mau, ya? Aku mau bicara tentang Arjani aja, kok,” ucap Arsenio berusaha meyakinkan gadis di depannya bahwa, dia tidak akan macam-macam.

Asmira berpikir sejenak, rasanya tidak masalah bukan bila dia menyetujui ajakan Arsenio. Toh, katanya pria itu ingin membahas tentang Arjani yang notabene anak didiknya.

“Boleh,” balas Asmira.

Arsenio tersenyum senang dengan tangan meninju pelan udara. “Yes,” ujarnya lirih. “Ayo, mau di mana?”

“Beli bakso aja,” usul Asmira membuat Arsenio mengangguk setuju.

Mereka berdua pun berjalan beriringan, Asmira berkata kalau tempatnya hanya beberapa meter saja dari sekolah ini sehingga mereka tak harus menggunakan kendaraan. Setelah berjalan tanpa adanya obrolan, akhirnya mereka berdua sampai pada tempat yang dituju. Hanya pedagang bakso biasa di pinggir jalan dengan gerobak biru dan dua meja serta bangku panjang tanpa sandaran, tetapi wangi dari kuah bakso panas yang tutup pancinya di buka membuat Arsenio berasumsi bahwa rasanya sangat enak.

“Pak, baksonya dua ya,” ucap Asmira pada pedagang bakso yang berusia sekitar lima puluh tahun. Gadis itu bersyukur karena kali ini tempat itu lumayan sepi, hanya ada satu pasangan yang duduk di bangku ujung kanan.

“Satunya jangan pakai sayur, ya, Pak,” imbuh Arsenio. “Kamu enggak suka sayur ‘kan,” terang pria itu sambil menatap Asmira yang berdiri di sebelahnya.

Asmira segera memalingkan wajahnya, kemudian mendudukkan dirinya pada bangku yang tepat berada di belakang penjual bakso.  Dia tidak habis pikir, bagaimana Arsenio bisa mengingat hal yang dirinya tidak suka? Padahal mereka sudah bertahun-tahun tidak bertemu.

“Aku selalu ingat apa yang kamu suka dan yang enggak kamu suka,” ujar Arsenio seolah tahu isi pikiran Asmira.

Tak lama pesanan mereka datang, Asmira segera meracik baksonya dengan memasukkan beberapa sendok sambal yang warnanya saja membuat Arsenio bergidik ngeri. Dirinya hanya memakan bakso tersebut tanpa tambahan apa pun.

“Emosi Arjani harus dilatih, dia enggak bisa  melakukan kekerasan karena orang lain berbeda pendapat dengannya,” terang Asmira sambil mengaduk makanannya.

Arsenio menghela napas dengan berat, dia menyayangkan apa yang dilakukan keponakannya. Hanya karena kesalahpahaman membuat  remaja enam belas tahun itu emosi dan berakhir adu jotos.

“Aku juga enggak ngerti sama Arjani, padahal kalau di rumah dia jadi anak yang penurut,” terang Arsenio.

Belum sempat Asmira membalas tiba-tiba seseorang menariknya begitu saja sampai satu mangkok bakso yang masih panas miliknya tumpah sehingga kuahnya mengenai kaki Asmira. Dia terkejut bukan main, apalagi saat melihat wajah orang yang menarik dan mencengkeram dengan erat.

“Jadi kamu beneran selingkuh?” Elvan menatap Asmira nyalang, napasnya memburu dengan wajah merah menahan emosi.

Asmira meringis kesakitan saat tangannya dicengkeram lebih erat. “Aww ... enggak, El “ balas gadis itu lirih.

Arsenio yang melihat kejadian itu langsung menghampiri keduanya dan berusaha melepaskan tangan Asmira dari pria baru pertama kali dia lihat.

“Jangan kasar jadi orang!” teriak Arsenio membuat urat di lehernya tercetak jelas.

“Oh, jadi ini pria selingkuhan kamu, iya?” tanya Elvan sambil memandang remeh dua orang di hadapannya.

Arsenio mengernyit bingung, apa maksud dari ucapan orang yang tadi Asmira panggil El itu. Bagaimana bisa seseorang datang dengan asumsi tidak jelas seperti ini?

“El, kamu salah paham. Arsenio ini bukan selingkuhan aku, dia wali murid anak kelas aku,” jelas Asmira, dia tidak mau emosi Elvan makin memuncak. Asmira tahu jelas bahwa pria yang berstatus pacarnya ini tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik, sering kali dia pun kena sasaran saat Elvan memiliki masalah entah di kantor ataupun dengan keluarga.

Elvan meludah ke samping dan terkekeh. “Wali murid mana yang makan siang sama wali kelas? Alasan basi tau!”

“Ya, kalau enggak punya bukti jangan asal tuduh,” celetuk Arsenio yang sudah muak melihat pria di hadapannya.

Elvan menarik kerah pakaian yang Arsenio kenakan, kobaran api hadir pada diri kedua lelaki itu. Asmira panik bukan main, dia celingak-celinguk mencari bantuan. Pasangan yang duduk di ujung kanan sudah pergi saat Elvan baru sampai, sedangkan penjual bakso malah menjauh seperti tak ada niat untuk membantu.

“Bacot, lo!” Elvan mengepalkan tangannya bersiap menonjok Arsenio.

Namun, saat Elvan mengayunkan tangannya Asmira maju dengan mendadak membuat pukulan itu mengenai dirinya sehingga kepalanya menoleh ke samping dengan sudut bibir mengeluarkan darah akibat tonjokan yang terlalu kuat.

Arsenio menatap tajam Elvan yang terdiam membeku. Wajah pria itu memerah marah bukan main, apalagi saat melihat Asmira yang kini menahan sakit, ingin rasanya Arsenio membalas apa yang dilakukan oleh Elvan.

“Sa-sayang, kamu enggak apa-apa?” tanya Elvan tergagap, dirinya kalang kabut melihat darah di sudut bibir kekasihnya.

“Aku capek sama kamu, El,” ujar Asmira dengan suara bergetar. Carian yang sudah menumpuk di matanya lolos begitu saja, air matanya sudah tak bisa dibendung lagi. Asmira sudah lelah dengan Elvan, pria itu selalu berprasangka buruk terhadapnya. Belum lagi sikapnya yang sering mabuk-mabukan dan mudah marah membuat Asmira kewalahan menghadapinya.

“Kita putus aja, ya,” lirih Asmira sambil menatap teduh Elvan. Bila dilanjutkan, hubungan ini hanya akan memberi rasa sakit pada keduanya. Asmira tak bisa menampik bahwa dirinya masih mencintai Arsenio, apalagi pria itu hadir kembali dihidupnya. Selain itu dirinya merasa tak cocok dengan Elvan yang masih menikmati hidup dan belum mau memikirkan tentang masa depan. Lebih baik mengakhirinya sekarang daripada meneruskannya tetapi menyesal di kemudian hari.

“Asmira, Sayang. Kamu bercanda kan?” tanya Elvan tak percaya. Dirinya memegang kedua bahu gadis di hadapannya, berharap ucapan yang keluar dari bibir merah muda Asmira itu merupakan suatu kebohongan.

Asmira menggeleng. “Hubungan kita udah enggak bisa diteruskan lagi, kita itu beda. Pemikiran kita beda,” jelas gadis itu.

“Aku bakal berusaha berubah.”

“Enggak bisa, El. Pandangan kita beda, mau diusahakan pun hasilnya tetap gagal,” putus Asmira kemudian menarik Arsenio menjauh dari sana.

Arsenio yang ditarik secara tiba-tiba hanya bisa mengikuti ke mana pun gadis itu membawanya, dirinya masih terkejut dengan peristiwa tadi. Ada rasa sakit saat melihat Asmira mengeluarkan air mata dengan suara yang bergetar. Namun, dia tidak bisa membela Asmira di hadapan Elvan, Arsenio tidak bisa ikut campur dalam masalah keduanya.

Garis Fana [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang