9. Kesalahpahaman

34 20 6
                                    

Pagi ini, matahari yang seharusnya sudah muncul kembali menarik selimut hingga sinarnya tak sampai pada bumi. Tugasnya digantikan oleh hujan yang turun silih berganti membasahi tanah, memunculkan aroma hujan yang membuat semua orang terlena.

Asmira menyibak gorden pada jendela kamarnya, memandangi air hujan yang derasnya tak seberapa berjatuhan sehingga dedaunan yang menjadi landasan bulir air pun bergoyang menahan beban.

“Gerimis, semoga setelah aku siap-siap gerimisnya reda,” gumam Asmira sambil mengikat gorden kemudian membuka kunci jendela, membiarkan aroma petrikor memenuhi kamarnya. Gadis itu kembali duduk pada kursi yang tepat berada di samping jendela, menghadap meja rias kecil dengan berbagai botol-botol kecantikan yang terpampang di sana. Bersiap untuk bersolek sebagai akhir dari acara siap-siapnya di pagi hari ini. Dirinya terus memandangi wajah yang berada dalam cermin, sesekali menepuk spons bedak pada pipi.

Tanpa aba-aba, bulir air mata turun membasahi pipi seolah tak mau kalah dengan hujan pagi ini. Asmira segera mendongak ke atas mengantisipasi agar air matanya tak kembali jatuh. Dirinya tak tahu, mengapa ingatan buruk kembali terputar diotaknya. Ingatan yang hanya berisi makian seolah dia adalah manusia paling hina di muka bumi, ingatan yang membuat hatinya hancur, ingatan bertahun-tahun yang coba Asmira hilangkan tetapi selalu gagal.

“Aku kenapa, sih?” tanyanya penuh emosi, suaranya bergetar menahan isak tangis.

Tok

Tok

Ketukan dari luar pintu kamarnya membuat gadis itu tersadar, segera mengambil napas berulang kali untuk menenangkan diri.

“Mbak, di luar ada mas Elvan,” ucap Nada yang berada di balik pintu kamar Asmira sambil menenteng sepatu.

“Suruh masuk, bilangin tunggu Mbak sebentar lagi selseai,” balas Asmira tanpa mau membuka pintu.

“Oke,” sahut Nada. “Oh, ya. Aku berangkat ya, Mbak. Mumpung gerimisnya udah mulai reda.”

“Iyaa.” Asmira mempercepat gerakan berdandannya kemudian meraih tas jinjing berwarna putih yang digantung pada paku di belakang pintu kemudian membuka pintu kamarnya membuat Elvan yang tengah memainkan ponsel spontan berdiri.

“Sayang,” panggil pria itu sambil berjalan mendekat pada Asmira.

“Ngapain, sih, kamu jemput aku? Kan udah aku bilang, aku bisa berangkat sendiri, El,” ungkap Asmira, dirinya tak ingin menyusahkan orang lain.

Elvan mengerucutkan bibirnya sambil memegang jari telunjuk kanan Asmira. “Hujan Sayang, nanti kamu basah. Gimana kata murid-murid kamu? Masa gurunya ngajar pake baju basah, belum lagi kalo kecipratan air. Kan jadi kotor,” ucapnya membuat Asmira menghela napas.

“Cuma gerimis El, aku bisa pake jas hujan atau naik angkutan umum. Rumah kamu kan lumayan jauh, aku jadi enggak enak,” jelas Asmira.

Jika begini, Asmira benar-benar tidak enak karena butuh waktu sekitar empat puluh menit untuk Elvan sampai ke rumahnya. Belum lagi kantor pria itu berlawanan arah dari tempat tinggalnya, dari rumah pria itu saja kantornya jauh apalagi dari rumah Asmira.

“Enggak masalah kan aku yang mau, sebagai ucapan maaf aku buat semalam juga. Ayo, ah, takut telat.” Elvan menarik tangan Asmira kemudian segera masuk ke dalam mobil pria itu.

Asmira menatap dirinya pada spion dalam mobil, dia mengernyit sambil meraba leher dan dadanya saat menyadari ada sesuatu yang berbeda.

“Kenapa, Sayang?” tanya Elvan saat melihat Asmira seperti mencari sesuatu.

“Kalung aku,” jawab Asmira sambil mengubrak-abrik tasnya.

“Kalung, kalung kayak gimana?” Elvan berpikir sejenak, kalung seperti apa yang Asmira maksud?

Asmira menoleh pada Elvan. “Kalung aku yang talinya warna hitam, liontinnya bentuk setengah hati warna hijau terus ada gambar daun semangginya,” kelas gadis itu.

“Setengah hati ... kalung couple?” Elvan merasa dirinya tak pernah memberikan barang seperti itu, dia tahu Asmira beberapa kali memakai kalung dengan tali hitam. Namun, dirinya tidak tahu bila liontin kalung tersebut berbentuk setengah hati karena gadis itu selalu memasukkannya ke dalam baju.

“Iya,” balas Asmira spontan.

Elvan memicingkan matanya, menatap curiga pada Asmira yang kini sudah menutup mata sambil menggigit bibir. “Aku nggak pernah beli barang kayak gitu buat kamu, kamu couplean sama siapa?”

“Sama teman,” jawab gadis itu dengan suara lirih.

“Teman yang mana?” Elvan kembali bertanua, kali ini dengan nada yang mengintimidasi.

“Ya ... ada, teman aku. Kamu enggak bakal tahu.” Asmira mencoba memberanikan diri untuk menjawab ucapan Elvan.

“Makannya kasih tau aku, siapa teman kamu itu,” ujar Elvan penuh penekanan, setahunya Asmira tidak memiliki terlalu banyak teman. Elvan tahu semua teman gadis itu di sini.

“Kamu selingkuh?” Asmira dengan cepat menoleh pada Elvan setelah pria itu melontarkan pertanyaan itu.

Asmira menggeleng dengan kuat. “Enggak.”

“Ya terus itu kalung pasangannya siapaa!” bentak Elvan membuat Asmira menegang.

“Sama temen, beneran,” ujar Asmira berusaha meyakinkan Elvan, gadis itu menunduk takut sambil memainkan rok yang tengah digunakan. Asmira tahu bila dirinya salah tetapi bila dia jujur, apakah Elvan tidak akan marah?

“Ck, terserah.” Raut wajahnya berubah mengeras, tangannya memegang kemudi dengan erat. Elvan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi membuat Asmira takut setengah mati, gadis itu sudah memejamkan mata sambil menggenggam erat sabuk pengaman. Kepalanya hampir saja menyentuh dasbor mobil saat Elvan menginjak rem secara mendadak.

“Turun!” titah Elvan dengan suara dingin.

“El, aku bisa jelasin.” Asmira menatap wajah Elvan dengan lesu.

Elvan melirik sekilas Asmira kemudian kembali menatap ke depan. “Turun! Udah sampe.”

“El, aku enggak selingkuh,” cicit Asmira. “Aww,” gadis itu meringis saat lengannya terbentur pintu.

“Turun, budek banget, sih.” Elvan kembali mendorong Asmira membuat gadis itu mau tidak mau turun dari mobil, setelahnya pria itu segera menutup pintu dengan kencang.

“El, aku bisa jelasin.” Asmira menepuk-nepuk kaca mobil yang sudah tertutup, mobil Elvan yang melesat dengan cepat membuat gadis itu terhuyung ke depan. Hampir saja jatuh bila tidak ada seseorang yang menahannya.

“Asmira,” panggil pria yang memegang bahu Asmira.

Asmira menoleh, lantas menjauhkan tubuh saat mengetahui siapa yang menolongnya. “Arsenio?”

Ya, pria itu adalah Arsenio. Saat akan menjalankan mobil setelah mengantarkan Arjani, dirinya tak sengaja melihat Asmira yang turun dari sebuah mobil. Membuatnya sengaja menghampiri gadis itu.

“Aku masuk dulu,” ucap Asmira kemudian berjalan meninggalkan Arsenio.

Arsenio memandangi Asmira yang semakin menjauh. “Asmira, jadi ... cita-cita kamu tercapai, ya? Aku bangga lihat kamu udah jadi guru, seperti apa yang kamu ucapkan dulu,” gumam Arsenio, pakaian yang dipakai oleh Asmira membuat Arsenio menyimpulkan bahwa gadis itu merupakan guru di tempat Arjani bersekolah.

“Tapi, kamu kenapa? Siapa pria dalam mobil itu? Beraninya dia mendorong kamu.”

Garis Fana [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang