13

185 37 2
                                    

Anak panah itu menancap di perut si pria yang agak buncit. Teriakannya yang kesakitan membuat Lavella menemukan Tyrone yang tersadar. Dia menatap anak panah milik Lavella cukup lama dan seolah mengenal anak panah itu Tyrone menatap ke segala arah, mencari seseorang.

Dua orang yang masih bertahan coba menyerang Tyrone lagi tapi pria itu mengeluarkan siulannya dan segera beberapa orang menarik pergi dua orang itu dalam pukulan yang terus-menerus diberikan pada mereka.

Lavella terkejut. "Dia membawa pengawal sendiri?" pertanyaan itu harusnya untuk dirinya sendiri yang merasa begitu bodoh.

"Bukankah dia putra mahkota, Tuan Putri?"

Lavella mengangguk, sambil lalu. Dia memegang busurnya dengan agak kuat karena pada akhirnya perasaan rindu yang membuncah di dadanya membuat dia mengerti kalau cinta sudah membodohkannya. Apa pun yang coba dilakukan otaknya untuk mencegah dia melewati batasan yang sudah dia buat sendiri, hatinya tetap memiliki jalannya sendiri untuk menemukan perasaannya terhadap pria itu. Itu memang menyedihkan dan menyebalkan.

"Sudah seharusnya dia membawa pengawal sendiri. Dia putra mahkota, mana mungkin dia akan bepergian sendiri."

Lavella menatap Avery yang memberikan tatapan aneh. "Kau benar."

"Apa kita akan melanjutkan ke mana kita akan pergi?"

Lavella sudah akan mengatakan kalau dia memang hendak pergi ke Tyrone. Tapi jika mengatakan demikian, bukankah itu akan membuat Avery semakin merasa aneh padanya. Mengingat kalau saat ini dia harusnya tidak pernah mengenal putra mahkota itu.

Lavella menggaruk keningnya. "Sebaiknya kita kembali. Mora pasti akan memberikan lebih banyak omelan kalau sampai kita pergi terlalu lama."

"Anda benar."

Lavella menemukan ada senyuman dalam suara itu. Senyuman yang tidak akan dapat disadari oleh siapa pun. Avery jelas sangat mencintai Mora meski Mora memiliki suara yang begitu terus berkicau dan membuat sakit telinga. Tapi Avery tetap mencintai dengan dalam. Cinta mereka malah mengingat Avery pada cintanya sendiri yang sudah terkubur dalam kematian naas.

Menyerahkan busur itu kembali ke Avery, mereka sudah akan melangkah. Tapi langkah mereka dihadang oleh seseorang yang memiliki jubah besar dan jelas memiliki kewibaan yang tidak didapatkan dengan sembarangan. Berhadapan dengannya, kau hanya ingin memberikan kepala menunduk hormatmu.

Dan Avery segera melakukannya. "Yang Mulia," sapanya dengan kepala menunduk.

Lavella sendiri bersedekap dan menatap ke arah berbeda. Dia tidak bisa menatap Tyrone dan memberitahu pria itu betapa rindu membuncah di perasaannya. Dia ingat bagaimana Tyrone tidak menginginkan obat penawarnya. Dia ingat ciuman terakhir yang diberikan Tyrone padanya. Ciuman itu seolah menempel dengan erat dan tidak bisa meninggalkan jejak di bibirnya.

"Kau pasti adalah Putri Lavella Capeland," ucap Tyrone memberikan suaranya.

Lavella yang mendengarnya tidak yakin Tyrone mengenalnya. Apa pria ini sungguh mengenalnya? Mengingat Lavella benar-benar tidak pernah menginjak istana. Gelar putri juga diberikan kaisar karena jasa ayahnya. Dan ayahnya tidak pernah memaksanya pergi ke istana. Lavella juga tidak menginginkannya. Itu makanya dia yakin Tyrone tidak mengenalnya.

Itulah yang membuat sikap Tyrone di kehidupan sebelumnya begitu dingin dan menusuk perasaan. Tapi dengan pria itu berdiri di depannya sekarang dan menyapa, Lavella sepertinya tidak lagi begitu mengenal putra mahkota ini.

Lavella tetap dengan sopan santunnya. Dia meraih ujung gaunnya dan segera membungkukkan tubuhnya sedikit. "Hormat saya, Yang Mulia."

Tyrone menatap dalam gadis itu, dalam pandangan yang tidak terbaca. "Senang bertemu denganmu, Putri Lavella. Dan apa yang sedang kau lakukan di gang sempit ini dengan pengawalmu?"

Lavella menatap Avery yang masih menunduk tidak berani mengangkat wajahnya. Apa Tyrone berpikir Lavella memiliki hubungan khusus dengan pengawalnya ini? Hatinya ingin membantah tapi otaknya berpikir lebih dulu. Karena jika Tyrone benar-benar curiga pada hubungannya dan Avery, itu bagus. Itu akan membuat Tyrone fokus pada tahtanya dan Lavella akan fokus pada melindungi ayahnya dan orang-orang mereka.

"Ada beberapa hal pribadi yang tidak bisa aku katakan, Yang Mulia. Mohon anda tidak memaksa kami menjawabnya," ujar Lavella dengan suara selembut kapas.

"Aku pikir kau sedang menyembunyikan kebaikanmu, Putri Lavella," timpal Tyrone dalam senyuman lugasnya.

"Apa maksud anda, Yang Mulia?" Lavella menatap. Tidak terlalu yakin.

Tyrone memberikan gerakan dengan dagunya ke arah busur yang ada di punggung Avery. "Sepertinya kau melesatkan anak panahmu ke tempat yang tepat, Putri Lavella."

Lavella sudah akan mengatakan Tyrone salah. Tapi sepertinya Avery memilih waktu yang salah untuk bersikap tegas pada suaranya sendiri. Karena Avery mengambil kendali pada suara yang membungkam Lavella.

"Tuan putri kami hanya coba membantu, Yang Mulia. Mohon anda jangan menyalahkan."

Lavella yang mendengarnya hampir memukul bagian belakang kepala Avery tapi gadis itu menahan diri. Tidak mau Tyrone mengendus keanehannya. Karena sudah cukup aneh Tyrone menyapa dia lebih dulu. Ke mana pria dingin dan tidak berperasaan itu?

"Tentu aku tidak akan menyalahkan tuan putri yang sudah membantuku. Aku malah akan mengatakan terima kasih padanya. Mungkin makan siang bersama akan membuat aku terlihat tidak terlalu angkuh. Mengingat aku tahu tempat makan yang enak di sekitar sini. Kalian akan menyukainyinya."

Avery sudah akan menimpali, dia jelas tidak dapat menolak ajakan itu. Lavella tahu persis apa yang akan menjadi jawaban Avery, itu membuat dia tidak mau lagi diserobot dalam jawaban.

"Kami memiliki sesuatu yang harus dilakukan, Yang Mulia. Kami tidak akan mengganggu waktu anda. Permisi." Dan Lavella meraih lengan baju Avery kemudian menariknya pergi. Bahkan Avery yang akan memberikan bungkukan hormatnya tidak bisa melakukannya.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa ya
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Rebirt The Queen (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang