17

185 31 1
                                    

Lavella sudah mengetuk semua dinding di lorong itu, coba menemukan apa yang dicarinya. Dia tidak menemukan apa pun, malah Mora yang kerap menemukan batu yang memang bisa dilepaskan. Tapi di dalamnya tidak ada apa pun. Hanya kosong.

Itu membuat Lavella hampir mencapai puncak keputusasaannya. Tapi Mora tiba-tiba berseru karena dia menemukan sesuatu. Saat mereka mengeceknya, mereka malah menemukan sebuah kain yang tampaknya sudah sangat usang. Kain itu seperti sapu tangan dengan beberapa percikan darah. Tampak disimpan degan rapat dan bukannya dibuang begitu saja ke sana. jelas disembunyikan.

"Bukankah ini kain dari negeri Mudville?"

"Negeri Mudville? Negeri yang mengasingkan diri karena terkenal dengan racunnya? Negeri yang tidak lagi berdimplomat dengan negeri lain dan hidup sendiri?"

Mora mengangguk. "Coraknya sama dan tampaknya kainnya sudah lama. Siapa pun yang menyembunyikannya, sepertinya ingin menyembunyikan kebenaran kalau salah satu orang Mudville pernah ada di sini. Karena anda tahu sendiri, jika ada yang ketahuan berhubungan dengan salah satu orang di negeri ini, dia akan dihukum penggal."

Lavella menatap kain yang ada di tangannya dengan banyak pikiran yang berseliweran.

"Butuh bantuan?"

Kedua perempuan itu menatap ke arah suara. Lavella terpana menemukan Tyrone yang berdiri tidak jauh dari obor yang menyala terang. Merefleksikan dirinya dengan begitu nyata bersama nyala api yang seolah memberikan pendar pada cahayanya sendiri. Pria itu selalu memiliki aura yang sanggup membuat siapa pun menjauh darinya. Bukan sekedar karena takut melainkan juga hormat. Kaisar sekarang bahkan terkalahkan oleh putra tunggalnya itu.

Mora yang melihat siapa yang berdiri di hadapan mereka segera gemetar. Lututnya melemas saat coba memberikan salam hormatnya. Bahkan suara bergetar saat bicara. "Salam saya, Put—ra Mahk—ota."

Lavella yang mendengar suara itu menatap Mora dengan agak meringis. Tidak mau Tyrone memberikan kemarahan pada pelayannya yang terbata, dia segera berdiri di depan Mora. Menghalangi pandangan Tyrone dari wanita itu. Kini seluruh objek pandang sang putra mahkota terarah pada Lavella. Dan gadis itu menatap dengan keras kepala, tidak tunduk pun tidak memiliki hormat pada pandangan tersebut.

"Apa yang kau lakukan di makam keluargaku, Yang Mulia?"

Tyrone memberikan seringaian. Dia menemukan gadisnya.

Lavella sendiri sudah berani menghadapi keberaniannya menatap pada Tyrone. Kemungkinan pria itu juga datang dari masa depan sangat besar dan Tyrone tidak menyembunyikannya. Karena kalau tidak, maka dia tidak akan menemukan Tyrone yang sekarang. Jika pria itu tidak berasal dari masa depan, sudah pasti dia tidak akan memberikan pandangan hangat seperti itu. Karena kedinginan Tyrone bahkan bisa membuat musim dingin datang menghampiri negeri. Tidak ada yang berani mendekatinya. Di kehidupan yang lalu, Lavella hanya sedikit bodoh hingga mengejar pria itu tanpa peduli. Meski pada akhirnya dia mendapatkan Tyrone, tapi dia juga mengetahui kalau terlalu banyak hal yang harus dia korbankan untuk bisa bersamanya.

"Aku hanya coba membantu, Putri Lavella. Jangan memandang aku dengan tidak senang begitu."

Lavella hampir memberikan dengusan. Hampir. Kalau saja dia tidak ingat ada Mora di sisinya. Dia tidak mau dipertanyakan kenapa memperlakukan putra mahkota seperti itu. Dia tidak mau harus memberikan kebohongan.

Tyrone mengatakan sendiri pada Avery soal memberikan kompres dingin di tangan Lavella karena busur yang sudah dia pakai jelas menyakiti tangannya. Pria itu tahu sesuatu yang hanya Tyrone dari masa depan yang bisa tahu. Jadi Lavella sangat yakin kalau dia melakukan perjalanan waktu tidak sendiri.

"Tidak ada yang membutuhkan bantuanmu di sini, Yang Mulia. Kau bisa pergi." Lavella sudah akan berbalik dan mengabaikan. Pria itu bisa pergi ke mana pun dan Lavella tidak akan peduli.

"Mungkin kau akan berubah pikiran jika aku mengatakan siapa pemilik sapu tangan yang ada dalam genggamanmu itu, Tuan Putri."

Lavella yang mendengarnya segera menatap sapu tangan tersebut. Dia meremasnya.

"Kau harusnya ingat apa yang aku katakan terakhir saat kau berada dalam pelukanku, Lavella."

Lavella terhenyak, Tyrone sungguh mengatakannya. Mereka benar-benar datang bersama dari masa depan. Itu membuat perasaan Lavella bercampur-aduk.

"Aku mengatakan kalau aku tidak akan menutupi apa pun darimu jika kita memiliki kehidupan lain. Aku mengatakan padamu akan memberikan kejujuran padamu. Jadi aku mengatakannya sekarang, sapu tangan itu, aku tahu siapa pemiliknya."

Lavella berbalik akhirnya, menyerah pada kata tidak ingin memulai hubungan lagi dengan Tyrone. Karena pada akhirnya dia sendiri tahu, tanpa bantuan Tyrone, dia tidak akan menemukan apa pun. Beberapa tahun memang cukup lama untuk melakukannya sendiri. Tapi kalau sampai dia tidak menemukan jawabannya juga, maka dia sama saja melakukan segalanya dengan salah. Jika Tyrone sungguh mau memberikan jawaban kenapa membantai orang-orangnya, maka seharusnya Lavella akan dapat memberikan keputusannya juga, apakah harus memaafkan atau tidak.

Menghukum orang lain tanpa kau memberikannya kesempatan memberikan pembelaan diri, itu adalah cara yang begitu salah. Dia menyalahkan Tyrone atas sikapnya jadi dia harusnya juga tidak bersikap demikian.

Lavella mendesah. "Kita bicara di luar," ujar gadis itu akhirnya. Dia melangkah pergi meninggalkan. Tidak perlu menatap apakah Tyrone mengikutinya atau tidak. Karena bahkan meski matanya tidak menatap pria itu, hatinya selalu tahu di mana pria itu berada. Dan sekarang dia dapat merasakan Tyrone yang sedang berjalan di belakangnya.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Rebirt The Queen (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang