16

178 29 1
                                    

Lavella tersenyum tapi itu tidak sampai ke matanya. Karena jelas perkataannya adalah omong kosong belaka.

Ayahnya memberikan anggukan lembut ke arah putrinya dan segera mempersilakan Tyrone untuk masuk ke rumah mereka yang ada di halaman tengah. Armagedon mempersiapkan kamar yang paling besar dan mewah di tempat itu sebagai kamar Tyrone dan mereka melakukan perbincangan serius soal kementerian dan jajarannya.

Lavella sendiri tidak ikut melangkah. Dia masih berdiri diambang ruang tamunya. Masih mempertanyakan apakah Tyrone benar-benar datang ke rumah ini untuk menginap atau pria itu memiliki alasan lain? Mungkinkah Tyrone sendiri pelaku penjebakan ayahnya? Lavella tidak ingin berprasangka buruk pada pria itu, mengingat kalau dia juga mengenal Tyrone dalam beberapa tahun dan yakin pria itu bukan seseorang yang akan melakukn perbuatan semacam itu. Tapi Lavella juga tidak dapat meyakinkan diri, apakah benar yang dia kenal adalah diri Tyrone sendiri?

Tidak mau memusingkannya, Lavella bergerak berbalik dan melangkah pergi dengan langkah pasti. Mora mengejarnya yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, melihat Lavella yang dipenuhi dengan beribu pikiran yang Mora sendiri tidak mengerti bermuara dari mana keanean tuan putrinya tersebut.

"Tuan Putri, kita tidak menunggu sampai putra mahkota benar-benar masuk ke kamarnya baru meninggalkannya?"

"Mengapa harus?" tanya Lavella masih terus melangkah. Tujuannya ruang belakang.

"Ayah anda akan marah besar kalau tahu putrinya meninggalkan begitu saja tamu istimewa. Dia adalah putra mahkota, Tuan Putri."

Lavella menggaruk pelipisnya dan langkahnya tidak berhenti sama sekali. "Ada hal yang lebih penting yang harus aku lakukan."

Mora sudah akan menahan tapi Lavella mempercepat langkahnya dan segera sampai ke halaman belakang di mana Mora juga jadi berada di sana. Dia menatap Lavella yang sudah berhenti dan seperti biasa tengah merenung di tengah taman rumput yang ditata dengan apik itu. "Apa sebenarnya yang anda lakukan sepanjang waktu di sini? Apa yang ingin anda temukan?"

Lavella mendesah. "Menurutmu, apakah ada ruang rahasia di rumah ayah yang tidak aku ketahui?" Lavella coba memastikan.

"Tentu saja tidak ada. Kenapa tuan harus memiliki ruang rahasia. Tuan tidak menyimpan rahasia apa pun."

"Lalu mengapa aku sudah melihat seluruh rumah masih tidak menemukan apa yang aku cari? Aku sudah melihat semuanya dan hasilnya nihil."

"Katakan yang anda cari. Saya akan membantu anda menemukannya. Bukankah mencari bersama lebih baik dari pada mencarinya sendiri?"

Lavella yang mendengarnya membenarkannya. Tapi ... "Aku tidak tahu apa yang aku cari," jujur gadis itu.

"Apa?" Mora benar-benar berpikir kalau tuan putrinya mungkin memang kehilangan kewarasannya. Bagaimana mungkin dia tidak tahu apa yang dicarinya? Lalu kenapa dia mencarinya kalau dia tidak tahu ... Mora ingin berteriak.

"Itu harusnya sesuatu yang kecil. Bisa berupa gulungan atau sejenisnya. Sebuah peta, entahlah. Intinya ada di dinding. Di dinding yang bisa dibuat sebagai tempat persembunyian."

Mora mendesah. Dia hampir hilang kesabaran dan mungkin meminta bantuan Avery untuk membawa tuan putrinya pergi. Tapi dia membuat kesabaran tipisnya masih bisa dipertahankan. "Makam batu akan menjadi jawabannya. Di sana memiliki dinding batu yang kadang batunya bisa dicabut dan akan ada ruang di dalamnya. Tapi hanya beberapa batu. Yang lainnya jelas terpasang dengan rapat."

Lavella melebarkan matanya. Dia mendekat ke arah Mora mengangkat kedua tangannya. Mora yang didekati dengan agak terburu-buru seperti itu segera menutup mata. Tapi saat merasakan Lavella yang menempelkan kedua tangannya di wajahnya, Mora membuka mata dengan bingung.

"Kau memang pelayan terbaik, Mora," puji Lavella dengan kuat menekan tangannya di pipi Mora. Dia kemudian berbalik dan melangkah pergi setelah melepaskan Mora, dia tidak mengatakan apa pun lagi.

Mora tidak akan melepaskannya. Dia mengejar dan berjalan bersama dengan Lavella. "Anda akan pergi ke makam batu?"

"Ya. Di sana pasti jawabannya."

"Saya akan membantu anda. Entah apa yang ingin anda temukan tapi sepertinya melihat anda menemukannya akan membuat saya lebih baik."

Lavella tadinya mau menolak. Dia tikak mau melibatkan siapa pun. Ini adalah masalah hidupnya di kehidupan masa depan. Dia ingin menyelesaikannya sendiri. Tapi dia juga tahu kalau dia membutuhkan Mora, Setidaknya ada seseorang yang berdiri di sisinya, itu lebih baik dari pada sendirian. Dan juga dia membutuhkan nasihat Mora, mengingat Mora mengingatkannya pada makam batu yang dia sendiri melupakannya.

Mereka melangkah cukup lama sampai menemukan jalan setapak yang dipenuhi dengan bebatuan kecil. Mora sampai memegang tangan Lavella takut gadis itu jatuh oleh kerikil. Lavella merasa itu berlebihan tapi dia tidak mengatakan apa pun. Mora memang selalu menjadi pelayan dan sosok kakak yang hebat.

Sampai di pintu masuk makam batu, Lavella meringis. Karena bahkan di siang hari tempat itu masih saja gelap dan terasa menyeramkan. Dia jadi memegang lengan Mora dengan kencang.

Begitu melangkah melalui lorong. Mora segera menyalakan obor di setiap dinding batu yang tertancap benda panjang itu. Itu membuat tempat itu tidak lagi menyeramkam dan cahaya merah dari obor malah memberikan perasaan damai yang menyenangkan.

Lavella tidak lagi berpegangan pada Mora. Dia melangkah sendiri dengan langkah pasti. Menatap ke segala arah dan menunggu sampai dia menemukan makam ibunya yang memang diletakkan di paling ujung lorong. Lavella bukannya melupakan tempat ini, dia hanya tidak mau mengingatnya. Karena di sini ibunya berada dan itu menjadi kenangan yang tidak menyenangkan. Ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang dulu kau jadikan sandaran? Itu bukan kenangan yang indah.

Lavella bahkan sempat beberapa kali menyalahkan ibunya karena lebih dulu dan tidak mengajaknya. Sampai Lavella dewasa dan mengerti, mengapa ibunya harus pergi.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Rebirt The Queen (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang