04 || Mereka yang Datang Tiba-Tiba

94 6 8
                                    

Amanah itu dilaksanakan, kepercayaan itu dijaga, dan jangan menyia-nyiakan kepercayaan selagi ada orang yang masih memberikan kepercayaan.

🌹

Kelas semakin lama semakin ribut. Zaki benar-benar tak mengacuhkan perintah dan amanah yang Bu Citra berikan, Angkasa yang melihat laki-laki itu asyik tertawa besar-besar hanya menggelengkan kepalanya heran.

Setelah melihat suasana kelas yang amat sangat berisik itu, Angkasa pun menolehkan kepalanya ke arah Bulan yang kini sedang asyik melihat ponselnya. "Jangan deket-deket nontonnya Bulan, nanti matanya sakit," peringatnya perhatian.

Bulan berdecak sebal. Suara Angkasa sangat mengganggu konsentrasinya. "Iya-iya." Dia tetap menjauhkan sedikit layar ponsel dari wajahnya.

"Lo disini ada ikut organisasi apa, Bulan?" Angkasa mencoba untuk mencari topik, sembari menumpu dagu dengan telapak tangannya dan menatap mata Bulan lekat.

Netra coklat gelap laki-laki itu sejenak bertemu dengan netra hitam Bulan, namun gadis itu memilih untuk mengalihkan tatapannya. "Dulu gue OSIS pas kelas sepuluh, tapi gue keluar. Cape anjir."

"Apa yang lo dapat di dalam organisasi itu?"

"Kebersamaan, kekompakan dan kecurangan." Jawaban Bulan mengundang pertanyaan baru bagi Angkasa.

"Curang?"

Karena Angkasa banyak bertanya, Bulan menjadi sebal. Dia menyimpan ponselnya dan menatap Angkasa jengah. Dari tadi gadis itu berbicara sambil menatap ponselnya. "Gini ya, Asa. Gue jelasin."

"Yang namanya orang dalam, itu dilindungi. Setiap ada orang yang memiliki kerabat atau kenalan orang dalam, pasti dia akan aman aja. Contohnya, pacar dari ketua OSIS."

Bulan melanjutkan. "Dia kadang terlambat, tapi cowoknya bebasin. Trus kalau ada kesalahan, hukuman untuk dia lebih ringan. Tau nggak kenapa?"

"Orang dalam lagi?" Bulan menjentikkan jarinya, setuju.

"Itu lo tau. Ketos yang dulu, Alfin, anaknya pemilik yayasan sekolah ini. Dan pacarnya, Sera, keponakan dari kepala sekolah."

Barulah Angkasa mengerti, ternyata di sekolah internasional yang terkenal dengan kepintaran siswanya ini juga masih menggunakan sistem orang dalam, dan dibiarkan begitu saja. "Memang, gak ada yang protes?"

"Ada. Satu sirkel gitu, terdiri dari empat cewek. Tapi empat-empatnya di skors sama kepsek selama satu bulan. Sejak saat itu, sistem orang dalam dibiarin aja, soalnya gak ada yang mau diskors lagi." Kedua bola mata Angkasa sedikit melebar karena kaget. Bahkan kepala sekolah yang harusnya menegakkan keadilan dan memimpin dengan bijaksana, malah menjadi orang yang mempertahankan ketidakadilan itu.

Angkasa menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Sekarang kepala sekolahnya masih?"

Bulan menggeleng. "Enggak. Tiga bulan yang lalu udah ganti, soalnya meninggal karena stroke."

"Innalilahi wa innailaihi roji'un. Semoga dosanya diampuni dan amalnya diterima."

"Semoga aja."

Perbincangan mereka berhenti sampai disitu. Tapi Angkasa tidak ingin memutuskan komunikasi, ia mencari topik lagi. "Lo tau nggak, gue dulu jadi apa di SMA Bhayangkara?"

"Nggak lah. Lo kan nggak pernah cerita."

"Gue dulu jadi ketua basket, temen gue ketua OSIS. Banyak yang ngagumin gue dan temen gue. Tapi gue buat lo, Bulan."

Bola mata Bulan merotasi malas. "Perjodohan."

"Gue juga wakil ketua geng motor, namanya Ksatria. Jujur, nama geng motor gue agak aneh, tapi ada maknanya."

ZEVANGKA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang