07 || Tanggung Jawab

85 6 6
                                    

Wanita itu bagaikan warna putih yang harus dijaga kebersihannya. Seharusnya wanita itu dilindungi, bukan disakiti.

🌹

"KALIAN!! MAU KEMANA HAH?!!" Mereka terperanjat ketika suara yang cempreng itu menggelegar. Sebelum menolehkan kepalanya, mereka kompak menghela nafas secara perlahan.

"Ada apa, Ibu manis?" goda Ren.

"Mau kemana kalian?! Kenapa bubar dari barisan?" Bu Dewi berkacak pinggang dengan dagunya yang sedikit dinaikkan. Matanya melotot tajam.

Ken menjawab. "Temen kami pingsan, Bu. Kami niatnya mau nyusul, boleh 'kan?"

Bu Dewi semakin memelototkan matanya. Wanita itu mendengus sebal, emosinya semakin memuncak. "Nggak, nggak! Temen kamu itu urusan belakang. Sekarang, BALIK KE KELAS!!"

Mereka melangkahkan kakinya santai menuju kelas, sambil sedikit mengoceh dan bercandaan tawa. Seolah hukuman tadi tidak terjadi pada mereka.

Langkah dan wajah mereka yang santai membuat Bu Dewi naik pitam. "Jangan santai-santai!! CEPAT LARI!!"

🌹🌹🌹

Di ruangan yang sunyi dan sepi, berbau khas obat-obatan yang lumayan menyengat, Bulan terbaring di atas brankar sambil menutup kedua matanya. UKS benar-benar sepi, atmosfernya benar-benar dingin, tanpa ada suara sedikitpun.

Beberapa menit yang lalu dokter telah mengecek keadaan Bulan, katanya Bulan hanya kelelahan karena tidak tahan jika terlalu lama berdiri di bawah sinar matahari. Terlebih lagi matahari hampir diposisi sudut 90°.

Di samping brankar, Angkasa duduk di kursi sambil menatap lekat wajah Bulan. Wajah itu selalu membuatnya terpesona, dan memikat hatinya. Meskipun, Angkasa tak mengerti, apa perasaannya untuk Bulan saat ini.

Perasaan Angkasa sebenarnya masih abu-abu, antara suka atau tidak. Terkadang sifat lucu Bulan dan cerewetnya selalu membuat Angkasa terpikat, dan mengingatkannya dengan seseorang di masa putih biru.

Tapi di satu waktu, perasaan suka itu bisa saja mendadak hilang, saat Angkasa mengingat bahwa hubungan mereka hanya sebatas perjodohan. Akan tetapi, bagaimana pun perasaan yang Angkasa miliki, Angkasa akan tetap menjaga Bulan, sesuai dengan janjinya kepada Nichole beberapa waktu lalu.

Jemari Angkasa mengelus puncak kepala Bulan dengan lembut, membelainya penuh sayang. Tanggung jawab yang Nichole berikan untuknya tidak sebentar, melainkan seumur hidupnya.

"Bulan, sadar. Kata dokter lo gak apa-apa, cuma kecapekan. Maafin gue ya? Gue egois. Padahal kalau gue nggak bilang ke Bu Dewi, lo gak akan terbaring disini."

"Tugas gue buat jaga lo, Bulan. Izinkan gue untuk terus berada di dekat lo, untuk memastikan perempuan gue baik-baik saja." Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis yang membuat ketampanannya semakin terpancar.

Jemarinya berpindah ke pipi Bulan. Dibelainya pipi mulus yang sedikit tembam itu dengan lembut, netra coklat gelap itu tak sengaja melirik bibir merah muda milik gadis itu. Ada sedikit rasa nafsu yang terlintas, karena dia memang laki-laki tulen.

Tapi secepatnya Angkasa menepis pikiran negatifnya untuk menyentuh Bulan secara berlebihan. Dia menggelengkan kepalanya. "Astaghfirullah, negatif banget pikiran gue."

"Kalau gue bisa tergoda, laki-laki lain harusnya bisa. Makanya gue mau menjaga lo dari laki-laki jahat di luar sana, jika seandainya mereka ingin menyentuh lo. Meskipun, gue juga kemungkinan khilaf, tapi gue janji, gue tidak akan melewati batas gue."

"Tapi kalau cium pipi lo, nggak papa, 'kan?"

"Enghh ...." Bulan menggeliat pelan. Perlahan kedua matanya terbuka dan mengerjap beberapa kali. Objek yang pertama gadis itu lihat adalah Angkasa yang meletakkan tangan di pipinya. "Sa?"

ZEVANGKA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang