12 || Kesan Pertama

45 6 1
                                    

Kesan pertama itu penting. Kesan pertama adalah saat yang menentukan kita di kedepan harinya, apakah kita akan membencinya atau menyukainya.

-Angkasa Dion P

🌹

"Papa maafin Bulan...." Bulan menangis terisak. Air matanya terus menetes di bahu sang ayah sambil terus memohon maaf atas kesalahannya.

Laki-laki paruh baya itu tentu kecewa dengan putrinya yang berbohong. Namun tak tega juga, tetesan air mata yang turun dari pelupuk mata Bulan adalah yang paling tidak ingin dia lihat.

Tangan kekar yang selalu memberikan hangatnya pelukan, mengusap punggung Bulan yang bergetar. Dia berbicara disela tangisan putrinya. "Jangan diulangin lagi ya, anak Papa. Papa nggak suka, kalau kamu bohong. Jujur aja lain kali, Papa nggak akan marah kok."

Isak tangis gadis itu masih terdengar kencang, menumpahkan air mata yang terkumpul akibat rasa bersalahnya. Nichole memang tidak marah. Tapi tatapan laki-laki itu, semulanya berbeda.

"Angkasa juga nggak papa kok, Om. Angkasa nggak masalah kalau Bulan nggak minta izin sama Angkasa. Yang penting, Bulan udah minta izin sama Om, Angkasa udah lega," tutur Angkasa yang berdiri tak jauh dari Nichole dan Bulan.

"Kenapa Bulan harus minta izin sama Angkasa...?" tanya Bulan. "Angkasa bukan siapa-siapa aku."

"Angkasa itu calon kamu, Bulan. Kamu harus minta izin sama Angkasa. Namanya juga, Angkasa sayang sama Bulan, makanya Angkasa khawatir," jawab Nichole lalu menangkup pipi putrinya. "Tapi Papa nggak suka, kalau kamu bohong dan bilang kalau kamu udah minta izin dengan Angkasa. Padahal, kamu belum melakukannya."

"Jangan bohong lagi ya, putri Papa. Janji jangan bohong lagi?" Nichole mengangkat jari kelingkingnya, menyuruh Bulan menepati janjinya.

"Iya, janji." Setelah itu, Nichole menghapus air mata yang masih membentuk sungai di pipi gadis itu, lalu mengecup sekali puncak kepalanya. "Udah ya, jangan nangis lagi."

"Papa nggak marah lagi kok." Bulan lantas tersenyum. "Kalau gitu, Papa naik ke atas ya? Kamu sama Angkasa dulu."

Nichole melangkahkan kakinya ke lantai dua, meninggalkan Angkasa dan Bulan yang berada di ruang tamu dengan semilir angin yang menemani.

Suasana menjadi canggung. Wajah datar Angkasa membuat angin semakin menusuk hingga ke tulang. Sadar, kalau Bulan tak berani menatapnya, laki-laki itu mengubah tatapannya menjadi teduh kembali.

Dia mengambil duduk di sebelah Bulan. Perlahan tangannya meraih tangan lentik Bulan, niatnya hanya ingin menggenggam. Namun sayangnya Bulan menarik cepat tangannya itu. "Nggak usah pegang-pegang, Sa. Kalau mau marahin gue ya marahin aja," katanya ketus.

"Siapa yang mau marahin lo?" Bulan menoleh ke samping. Dia mengedikkan bahunya. "Lo udah besar, Bulan. Udah mengerti, mana yang baik dan yang buruk. Nggak bisa dimarahin kayak anak kecil lagi. Cukup ditegur, lo pasti langsung ngerti."

"Jangan ulangin lagi ya? Memang kenapa lo nggak mau minta izin sama gue? Menurut lo, respon gue gimana?"

Bulan memalingkan wajahnya, lalu mencebikkan bibirnya. Gadis itu menjawab. "Ntar lo ngekang gue, alasannya karena khawatir. Gue bosan di rumah, Sa."

Bulan berhasil membuat kekehan Angkasa pecah. Deretan gigi putih nan rapi itu terlihat dengan sempurna, membuat ketampanannya semakin terpancar. "Gini ya, Bulan."

Laki-laki itu mulai menjelaskan. "Gue juga anak muda. Umur kita sama, cuma beda beberapa bulan doang. Gue juga sama kayak lo. Bosenan di rumah, pinginnya main sama temen-temen, menghibur diri."

ZEVANGKA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang