16 || Makan Malam

55 5 5
                                    

Pasangan adalah dua insan yang bersatu dan melengkapi kekurangan satu sama lain

🌹

"Lebih cepat, lebih bagus," kata Darren. Pria itu meletakkan gelas tangkai berisi kopinya di atas meja. Dia menatap calon menantunya. "Saya setuju, Angkasa bersama Bulan."

Nichole mengangguk. Mengulum senyuman puasnya. Dia pun setuju, putrinya dijaga oleh laki-laki baik seperti Angkasa. "Gue juga setuju kok."

Bulan menggerakkan manik matanya ke arah Angkasa. Dari tatapannya dia menolak, walau Angkasa kini sedang tersenyum kecil di sebelahnya.

Bulan memilih untuk mengulas senyum manisnya, terlihat sedikit canggung. Namun Darren menyukai sifat pemalunya.

Angkasa semakin menujukkan senyumnya pada Bulan. Tak malu-malu, ia sengaja melirik gadis itu lalu tersenyum padanya. Hal itu membuat bola mata Bulan merotasi. "Kesambet apaan sih lo? Jin mana yang rasukin lo, Sa?"

Helaan nafas pelan lolos dari bibirnya. Angkasa mendekatkan bibirnya ke telinga Bulan, kemudian berbisik. "Kesambet cinta."

"Dih, dasar orang gil--"

"Bulan."

"--iya Om?" Posisi duduknya berubah menjadi lebih tegap dan cantik. Bibirnya melengkung ke atas, membentuk senyuman semanis gulali kapas. "Ada apa?" Nadanya sangat lembut.

"Kamu mau, 'kan?" Pertanyaan yang terlontar lebih dari lima kali, sepertinya. Namun Bulan tak boleh menggerutu, cukup hatinya saja yang berisik, mulutnya jangan.

Gadis itu ragu-ragu menjawab. Dia memalingkan tatapannya, memudarkan senyumannya seakan benar-benar ragu. "Emm, gimana ya, Om? Bulan masih muda, Angkasa juga sama, seumuran sama Bulan. Kami masih berada di masa labil-labilnya, ya, kayak anak SMA lainnya."

Darren, dan dua pasang mata lainnya menunggu kelanjutan Bulan. "Saya juga masih sekolah. Agak, gimana ya, menikah saat sekolah."

"Om ngerti kok, maksud kamu." Bulan lantas tersenyum. Dikiranya Darren akan mengubah keputusan bulatnya. "Tapi, maaf ya, kondisi kamu yang sekarang, memang sangat membutuhkan kamu untuk segera menikah dengan Angkasa."

Gadis itu membuang nafas beratnya. Harapannya untuk bersenang-senang dimasa muda, 100% musnah hanya karena perjodohan.

Darren melanjutkan. "Angkasa itu tanggung jawab kok. Kamu tau kan, dia wakil geng motor? Dia memiliki tanggung jawab besar atas geng motornya. Apalagi kamu cuma seorang, tentu Angkasa mampu."

"Tapi Om--"

"Untuk biaya kehidupan kamu, santai. Angkasa punya black card sendiri, dan Om bisa memberikan kamu black card juga kalau kamu mau."

Bulan menggeleng. "Bukan itu Om."

"Lalu apa?"

"Bulan nggak bisa masak." Bulan harap Darren akan mengubah keputusannya. Namun Darren justru tersenyum lagi dan lagi.

"Angkasa bisa masak." Tatapan pria itu tertuju pada anaknya. "Iya kan, Sa?"

"Iya dong. Gue siap jadi chef lo, pagi siang maupun malam. Mau makanan apa, Tuan Putri?" ucapnya manis, terdengar sangat menggoda kaum hawa.

Tapi tetap saja, dia merasa tidak enak. Bulan memilin jemarinya karena grogi. "Gue nggak bisa ngurus anak, Sa."

"Gue bantu."

"Gue nggak bisa bersihin rumah, Sa."

"Gue ajarin."

"Gue suka foya-foya."

ZEVANGKA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang