30 || Teror Yang Rumit

35 6 3
                                    

"Orang jahat tidak ada yang tau. Semua orang bisa mengelabui hanya sekedar berkata-kata. Beberapa orang langsung percaya tanpa berfikir bahwa kebohongan itu bisa mengelabui dan memperdaya dirinya sendiri."

-Kenandra Axeo Reamond

🌹

Drrtt drrttt....

Awalnya Bulan merasa lega karena dapat merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan nyaman, tanpa merasa terganggu sedikitpun. Namun belum sempat wanita itu menjatuhkan tubuhnya, ponsel yang baru saja diletakkan di atas nakas berbunyi.

Hal itu membuat Bulan berdecak, lalu dengan terpaksa mengambil ponselnya. "Langit?" Keningnya mengerut heran, saat membaca nama kontak kakaknya yang tertera di layar.

"Pasti ada sesuatu." Tanpa mengulur waktu, Bulan mengangkatnya. "Assalamu'alaikum, Bang. Tumben nelpon, ada apa?"

Terdengar suara decakan dari seberang sana. "Wa'alaikumussalam. Bukain pintu kek, buat gue. Cape gue ngetok, kaga ada yang buka. Nggak suami nggak istri sama aja. Sama-sama budeg," protes Langit yang berujung mengomel.

"Eh, serius lo ngetok pintu rumah? Gue nggak denger, gue di atas soalnya." Bulan semakin mengulur waktu.

"Nggak peduli gue. Cepet bukain pintu. Dingin jir, disini."

"Iya-iya." Bulan mematikan sambungan telepon itu, bergegas menuju lantai satu dan membukakan pintu untuk Langit--kakak tercintanya.

Setelah daun pintu dibuka, Bulan yang berdiri di ambang pintu sengaja Langit tabrak membuat tubuh wanita itu sedikit terhuyung. Dia memutar bola matanya. Masuk rumah orang tanpa adab.

"Masuk rumah orang, nggak ada salam. Nggak ada etikanya lo," kesal wanita itu, lalu menutup pintu. Udara di luar memang lumayan dingin, sebab hujan sedang membasahi bumi dengan tangisnya. Itu sebabnya Langit dengan segera menyelonong masuk ke rumah Angkasa.

"Ya maap. Coba aja lo keluar, trus berdiri di teras dengan udara yang dingin. Siapa yang nggak menggigil?"

Bulan menyengir. "Hehe, maap lah ya. Nggak denger suara ketokan lo tadi." Wanita itu mengambil duduk di sofa, tepat di depan Langit.

"Angkasa mana? Tumben lo sendirian?"

Detik yang sama, wujud laki-laki bertubuh tinggi yang memakai baju tidur berwarna marun muncul di ruang tamu. Sebelum berjalan menghampiri Langit, Angkasa meletakkan sebuah foto yang dibawa dari gudang ke dalam sebuah lemari kaca di ruang tamu itu. Kemudian Angkasa menghampiri Langit, melakukan tos bersama. "Hai, Bro. Udah lama nggak ketemu." Angkasa mendaratkan bokongnya di sebelah Bulan.

"Gue kan calon CEO sukses Internasional, wajar dong kalo sibuk." Langit dan Angkasa sangat cocok apabila berbincang. Sama-sama kepedean dan suka memuji diri sendiri.

"Asek, bos kita." Keduanya kompak tertawa bersama. Sedangkan Bulan tidak mengerti di mana letak lucunya. Dia menggaruk kepalanya.

"Entah apa yang lucu," katanya. "Oh iya, Lang. Ada perlu apa lo kesini?"

"Gue mau pamit sama kalian berdua," jawab Langit santai dengan kaki kanan yang ditekuk di atas kaki kiri yang menjadi tumpuannya.

"Pamit buat apa? Lo mau ke mana?" Angkasa berusaha tenang. Dia harus tahu apa alasannya. Tidak seperti Bulan yang sudah membendung air mata.

"Setelah Papa, lo juga mau pergi, Bang...?"

"Denger dulu penjelasan gue." Sambil menunggu Langit menjelaskan, Angkasa merangkul lalu mengelus pundak Bulan. Berusaha menenangkan perempuannya.

ZEVANGKA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang