Mau nanya, dalam bayangan kalian Qia itu siapa didunia nyata? Aku Zeyu atau Shuyang hehe
Swastamita menyambut, mengucapkan selamat tinggal pada sang surya nun jauh di sana.
Hari berganti gelap, pula dengan situasi.
Guanlin berjalan sendirian disepanjang lorong, berjalan sembari terus memohon dalam hati agar anak bungsunya tidak apa-apa.
Ceklek
Pintu itu ia buka, menampilkan kedua orang tuanya dan Qia yang dengan setia duduk menunggu kesadaran sang adik.
"Bagaimana hasilnya" Tanya Tuan Lai.
"Sada akan menjalani pemeriksaan besok" Jawab Guanlin singkat, menghampiri kedua anaknya dan memangku Qia.
Pandangan itu turun, menggenggam tangan kecil Sada yang bebas dari infus.
Saat melihat mata itu tertutup, ingatannya terus saja melalang buana ke masa lalu, tepat pada masa Ibu dari anak-anaknya tengah terbaring koma.
Ia takut, takut jika sampai anaknya mengalami sesuatu.
"Bisa Ibu ceritakan semua? Bukan aku menyalahkan Ibu tapi aku hanya ingin tahu" Ujar Guanlin meminta penjelasan, sebab Sada tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Maafkan Ibu, jadi...
"Ayo"
Dengan cepat Qia mengambil tangan adiknya, menariknya untuk berlari bersama.
Mereka hanya berdua, karena kakek dan nenek mereka tengah sibuk didapur.
"Qia jangan ajak adikmu berlari!" Peringat Nyonya Lai yang baru saja datang, hendak menghampiri dua anak Adam tersebut yang kini tengah asik berlarian kesana kemari.
Nyonya Lai melangkah semakin cepat, hendak membuat kedua cucunya itu agar berhenti berlari.
"Jangan berlari"
Keduanya tak mendengar, masih asyik terus berlari kesana kemari membuat neneknya kalang kabut.
"Jangan berla-"
Bruk
"Sada!"
Qia berhenti, berlutut kemudian memeluk adiknya. Sada terjatuh, namun tak seperti biasanya, adiknya itu tidak langsung bangkit dan itulah yang membuatnya panik. Terlebih saat suhu dingin dapat ia rasakan dari kulit sang adik.
"Sada... Bangun sayang bangun!"
Nyonya Lai datang, mengambil alih tubuh mungil Sada yang tampak semakin pucat.
Pipi itu ditepuk, berusaha mendapatkan respon namun nihil. Hanya ada suara Qia yang mulai menangis, dirinya juga panik.
"Bangun sayang bangun... Sada!"
Manik itu terus berair, berusaha mengembalikan kesadaran sang cucu yang tak kunjung memberikan respon.
"LAI!!"
Tuan Lai keluar, menatap istrinya yang terlihat menangis pula dengan cucunya dari kejauhan. Dengan segera Tuan Lai bergegas menghampiri, ada apa ini? Kenapa semuanya menangis? Dan ada apa dengan Sada?
"Ada apa? Sada kenapa?" Tanya Tuan Lai, mengambil alih Sada dan melakukan hal yang sama seperti yang Nyonya Lai lakukan.
"Sada? Sada? Tubuhnya dingin... Kita kerumah sakit sekarang" Ujar Tuan Lai kemudian segera beranjak pergi dengan Sada pada gendongannya, juga dengan Nyonya Lai yang langsung menggendong cucu pertamanya.
"Maafkan Ibu tidak bisa menjaga mereka"
"Tidak"
Semua menoleh, menatap Qia yang kini hendak berbicara.
"Semua salah Qia, maaf Ayah maaf, aku tidak mau mendengar perkataan Nenek tadi jadi aku yang salah"
Guanlin tersenyum, menyugar surai si sulung hangat dan menggeleng.
"Tak apa"
"Tapi-"
"Jangan diulangi, dengarkan apa yang nenek ucapkan. Sekarang tahukan akibatnya jika tidak mendengar?"
Qia mengangguk, menghapus air matanya yang sedikit keluar. Bocah itu rasanya ingin menangis lagi, menyesali apa yang telah ia lakukan.
"Ayah, Ibu, bisa bawa pulang Qia? Akan ku jaga Sada sendirian saja"
Tuan Lai mengangguk, beranjak kemudian mengambil Qia untuk masuk kedalam dekapannya.
"Apa aku boleh kesini besok?" Tanya Qia lirih, sepertinya terlalu lelah menangis.
Guanlin mengangguk, mengusap sedikit air mata yang tersisa pada wajah si sulung.
"Boleh. Jadi malam ini dengan kakek nenek dulu, besok baru kemari"
Qia mengangguk, memeluk leher kakeknya yang berjalan keluar ruangan.
"Maafkan Ibu nak tidak bisa menjaga mereka" Pinta Nyonya Lai merasa bersalah dengan semuanya.
"Tak apa Bu ini bukan salah Ibu, sekarang Ibu pulang saja istirahat"
Nyonya Lai sedikit tersenyum. Menghampiri Sada, mengecup dari anak kecil itu kemudian pergi.
Seperginya mereka, ruangan berubah menjadi hampa. Sada yang belum juga sadarkan diri dan Guanlin yang sibuk menatap wajah dari anaknya itu.
Benar-benar mirip.
Mulai dari mata, rambut, hidung, semuanya mirip. Tapi ia harap, nasibnya tidak sama.
Ya, semoga.
Beberapa hari berlalu.
Manik itu menelisik, membaca setiap kata yang tercetak begitu jelas diatas kertas. Sesekali ia mengulang beberapa kata, meremat ujung kertas menahan sesuatu dalam dirinya.
Disepanjang lorong tungkainya hanya dapat melangkah lunglai, merasa sesak namun berusaha untuk kuat.
Ceklek
Pintu itu ia buka, mengundang tatap dari enam orang didalam ruangan itu. Ada Jaemin juga Ayah di sana.
"Bagaimana?" Tanya Tuan Lai.
Guanlin tak menjawab, memilih memberikan beberapa lembar kertas itu kemudian menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain.
Jaemin melirik Guanlin sebentar, sebelum akhirnya menghampiri tiga orang dewasa di sana.
Tatapan Guanlin aneh, terkesan kosong tanpa kekuatan. Hampa.
"Ayah"
Senyum tercipta, mengelus lembut surai si bungsu yang tengah asyik bermain dengan kakaknya walaupun diatas bangsal.
"Sudah makan?"
Sada mengangguk, menunjuk sebuah piring yang sudah kosong diatas nakas.
"Kapan adik bisa pulang?"
Guanlin menoleh, menatap wajah campuran antara dia dan istrinya. Sayangnya telah tiada.
"Beberapa hari lagi. Tapi janji setelah ini jangan pernah berlarian, turuti apa yang diperintahkan, mengerti?"
Kedua bocah kembar itu mengangguk, menatap sang Ayah yang kemudian tersenyum mengusap surai mereka.
"Jaga adikmu ya? Karena Ayah tidak menjamin bisa menjaga adikmu sepanjang waktu" Pesan Guanlin, Qia mengangguk.
"Iya Ayah"
Ia harap, yang ia ucapkan kini bisa Qia ingat hingga nanti nanti. Dirinya berharap Qia bisa menjaga adiknya saat peran Ayah darinya tiada dibumi.
TBC
Plis deh ada baca komenan kalian mood banget. Makanya komen ya gaes karena itu bikin aku suka ngakak sendiri sampai dikira gila.
Jangan lupa juga vote, karena aku semakin cepet up kalau vote banyak. Karena vote adalah cemilan ku! Canda.
Love you all...
See you.
Tertanda :
Sabtu, 6 Juli 2024
20.12
KAMU SEDANG MEMBACA
Segalanya || GuanRen 2
Fanfiction"Akan ku rawat mereka dengan hati yang tertutup rapat dan habis pada dirimu. Percaya itu" "Jadi... Selama ini Ayah?" "Tidak Nak bukan begitu! Ayah bisa jelaskan padamu" "Ayah tak menginginkan diriku begitu?" "Sudahlah, semuanya telah berlalu" "Semua...