Malam itu, hutan dipenuhi oleh kegelapan yang pekat, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang pucat. Suasana begitu tenang, seakan seluruh alam tengah menahan napas. Angin malam berdesir lembut, menggerakkan dedaunan dan menciptakan suara lirih yang seolah berbisik di telinga.
Aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk memenuhi udara, mengingatkan kita pada siklus kehidupan yang terus berlangsung dalam malam yang sunyi. Tiada kilatan petir yang menerangi malam, hanya keheningan yang menyelimuti setiap sudutnya.
Saat Aldric bergegas kembali ke Ethereal Monarchy dengan perasaan campur aduk. Ia merasa marah dan kecewa setelah pertemuannya dengan gadis yang begitu mirip dengan Luna, namun ia tidak mengenalinya. Gagalnya misi untuk mengungkap penghianat keparat Ethereal Monarchy menambah beban di pundaknya. Namun, dia tidak tahu bahwa semua yang terjadi telah diamati dengan cermat oleh Raja Malaka.
Seringai licik tercetak di bibir Malaka, ia menyesap teh dalam gelasnya, lalu menatap kearah bola kristal yang menyala. Malaka adalah penguasa yang licik dan cerdik. Dia tahu bahwa kesalahpahaman antara Aldric dan penyihir muda itu dapat dimanfaatkan untuk strategi melemahkan Ethereal Monarchy.
Malaka memanggil salah-satu penasihatnya dengan senyum licik yang masih tercetak di wajah kasarnya. "Kita memiliki kesempatan emas di sini. Aldric tidak mengetahui, bahwasanya penyihir muda itu bukanlah orang yang dia kasihi. Kita akan memanfaatkan kebingungan dan rasa kekecewaan yang ia alami untuk menghancurkan para prajurit Ethereal Monarchy."
Penasihat itu mengangguk setuju. "Bagaimana rencananya, Yang Mulia?"
Malaka melangkah melihat peta dan sketsa strategi yang terletak dimeja besar. "Kita akan mengirimkan penyihir muda itu dengan pesan yang akan semakin memecah belah mereka. Dia akan membawa kabar bahwa Luna telah berkhianat, dan pengkhianat yang ia curiga bukanlah dari kastelnya sendiri, melainkan sang pemilik hati."
Di balik dinding ruangan, gadis dengan rambut terurai panjang sebahu mendengar dengan seksama. Ia memikirkan strategi untuk menggagalkan misi Malaka tanpa harus mengotori tangannya.
Keesokan harinya, penyihir muda itu, ia masih dibuat bingung akan pertemuannya dengan Aldric. Saat sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba ia dipanggil oleh Raja Malaka. "Sera, siapa nama penyihir muda ini?" tanya Malaka pada Sera yang berada di sampingnya.
Sera menatap penyihir muda itu dengan mata tajamnya. "Aku... aku tidak ingat siapa namaku," jawab penyihir muda itu.
"Ah tidak penting, yang terpenting sekarang adalah kau akan pergi ke Ethereal Monarchy dengan pesan ini. Dengarkan baik-baik! Katakan kepada mereka bahwa Luna telah memilih berpihak pada kita. Katakan dengan lantang, terutama pada Aldric."
Manik biru itu bertemu dengan tatapan tajam Sera, dibalik tudung jubah hitamnya. Ia menyeringai dan mengangguk untuk menyetujui ucapan Raja Malaka. Dengan membawa surat bersegel resmi dari Nerosia, dia berangkat menuju Ethereal Monarchy.
"Yang Mulia, tongkat sihir saya hilang. Jadi, bisakah saya pergi bersama Nona Sera? Bagaimana jika saya dihadang oleh hewan buas tanpa menghalaunya dengan sihir? Pesan yang ingin disampaikan juga tidak akan pernah sampai kepada Aldric," ucap penyihir muda.
Sera mengangguk setuju, lalu berkata, "Betul, Yang Mulia. Sebaiknya saya juga ikut, bukan untuk menyampaikan pesan itu melainkan ikut mengantarnya sampai perbatasan utara."
Raja Malaka menatap dengan lekat membaca semua gerak-gerik yang membuatnya curiga juga waspada kepada penyihir muda juga Sera. Keduanya mencoba meyakinkan Raja Malaka bahwasanya mereka sama-sama membutuhkan. Raja Malaka menghela nafas panjang, kembali ditatapnya dua insan itu, anggukan yang mereka nantikan akhirnya mereka dapatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silkara
FantasyDi persimpangan takdir antara kekaisaran dan kerajaan yang berperang, Luna Everglen, seorang penyihir muda yang skeptis, dan Aldric Shadowheart, ksatria yang bertarung dengan pedang keberanian, menemukan persahabatan yang tak terduga. Di bawah bayan...