HALAMAN 1

10 4 0
                                    

"Mengundang berarti menerima."
ON AIR 1

Malam dipenuhi dengan hujan yang begitu lebat dan tidak henti-hentinya petir menggelegar kencang memburu langit dengan gemanya. Para makhluk di dunia pun kini nampaknya telah tertidur lelap meski sebagian dari mereka merasakan takut yang begitu dahsyat.

Iya, setiap manusia memiliki ketakutannya masing-masing. Ada yang takut hujan, takut petir, atau bahkan ada juga yang takut badai. Meski memang sebagian dari mereka tidak merasakan ketakutan tersebut. Entah apa sebabnya, tapi sepertinya yang memiliki sifat itu adalah orang yang cukup berani. Bagaimana tidak? Badai pun tidak ditakuti. Antara berani dan tidak memiliki naluri, mungkin.

Saat ini, Fana tengah tertidur yang nampaknya dia tidak mendengar suara gemuruh apapun dari luar rumah. Padahal, kamar yang dia tempati memiliki jendela kaca. Seharusnya, suara gemuruh petir membangunkannya. Mungkin, akibat kelelahan dalam bekerja seharian sehingga membuat dia tertidur lelap layaknya seorang mayat.

Ketukan pintu tiba-tiba terdengar dari luar kamarnya. Awal yang pelan, namun lama kelamaan ketukan tersebut semakin kencang. Suaranya ketukan tersebut seperti seseorang yang tengah menagih hutang. Kencang, berburu-buru dan menggebu. Akan tetapi, tentu saja hal itu tidak membangunkan Fana yang tengah merajut cerita di alam bawah sadarnya.

"FANA!!"

Satu teriakan memanggil namanya begitu menggelegar dibarengi dengan jendela kamar yang tiba-tiba saja terbuka, lalu disahut dengan terpaan angin yang sangat riuh. Seketika, Fana pun terbangun.

Kedua matanya membuka dengan lebar. Napasnya secara cepat memompa. Tubuhnya duduk dengan tegap dibarengi dengan kucuran air keringat yang keluar. Dia terkejut. Kedua bola matanya pun perlahan melihat sekeliling kamar yang ternyata nampak sekali tidak ada perubahan atau kerusakan sedikit pun. Bahkan, jendela yang tadi terlihat terbuka, kini tidak ada jejak terbukanya jendela tersebut.

"Anjing! Mimpi apaan gue tadi? Bangsat!" umpatnya. Kemudian tangannya meraih ponsel yang ada di sampingnya. Melihat sudah jam berapa sekarang. Rupa-rupanya, jam di ponsel tersebut menunjukan pukul delapan pagi.

Fana berdecak, "Sialan! Gue telat lagi." Kakinya bergegas turun dari ranjang menuju kamar mandi. Lalu bersiap-siap untuk pergi ke tempat kerja seperti biasa yang dia lakukan setiap harinya.

Setelah selesai mempersiapkan diri, dia pun berjalan menuju ruang tamu. Di sana nampak seorang ibu dan adik lelaki yang tengah makan bersama di meja makan. "Telat lagi, Fan?" tanya santai perempuan bernama Rachel.

Tanpa membalas sedikit pun, Fana berjalan ke arah rak sepatu yang berada dekat dengan pintu rumah. "Kalau bisa, cari kerjaan yang lebih gede gajinya. Daripada kamu harus kerja telat kayak gini terus karna jam kerja kamu yang gak teratur. Ujung-ujungnya apa? Gaji kamu kena potong juga, 'kan?" kata Rachel pada anaknya yang tengah memakai sepatu.

Mendengar hal tersebut, Fana sedikit membantah. "Kalau gak ngerasain yang namanya kerja, mending diem aja. Di rumah tinggal terima uang, tinggal ngurus aja. Gak usah ikut campur," jawab perempuan berambut pendek itu dengan ketus pada ibu kandungnya sendiri.

Rachel menghentikan makannya. "Mamah cuma ngasih saran. Kamu gak perlu ngerasa paling berjasa, Fan. Mamah di sini juga ngurus kalian pake tenaga. Ngurus keuangan yang kamu kasih seadanya itu juga pake otak. Harus mikir gimana caranya biar cukup buat bertahan hidup di kota yang makin lama makin gila ini," jelasnya membela diri.

Nampaknya Fana mulai merasa kesal dengan apa yang ibunya ucapkan. "Mamah yang cuma ngurus aja udah ngerasa kayak gitu. Apalagi aku mah?! Aku harus kerja pagi pulang malam demi kalian. Bahkan di rumah ini aku jarang makan. Biaya sekolahnya Daffa siapa yang bayarin? Aku!. Listrik, air, makanan yang kalian makan, siapa yang bayar? Aku!. Jadi tolong, cukup syukuri apa yang aku kasih ke mamah. Gak perlu ikut campur apa aku harus pindah kerja atau gak. Masalah telat, biar aku yang hadapi." Nada bicaranya mulai meninggi.

Melihat anaknya bersikap tidak sopan pada dirinya. Rachel pun tidak mau kalah untuk beradu mulut dengan anak sendiri. "Kok kamu marah? Mamah, 'kan cuma kasih saran ke kamu. Lagian, apa yang mamah bilang gak ada salahnya, 'kan? Emang bener, 'kan gaji kamu dipotong karna sering telat kayak gini?. Inget, yang kena imbasnya bukan ke kamu doang, tapi ke kami juga. Iya, mamah tau yang bayar sekolahnya Daffa itu kamu. Tapi kamu lupa, 'kan? Daffa udah lima bulan gak bayar SPP. Mau taruh dimana muka mamah? Kasian Daffa selalu ditagih sama gurunya buat bayar SPP. Sedangkan kamu? Apa? Ngerasa paling berguna, 'kan? Iya?"

Suasana di jam setengah sembilan pagi ini rupanya sudah memanas melebih panasnya matahari di luar. "Kemana duit yang selalu aku kasih tiap bulan ke mamah? Bukannya itu buat bayar semuanya di sini? Kurang? Emang berapa biaya SPP-nya Daffa? HAH?!" sentak Fana pada ibunya sendiri.

"Oh gitu cara kamu bicara sama mamah? Udah mulai berani? MAMAH KIRIM KAMU KE PAPAH KAMU!" murka seorang ibu pada anaknya.

Fana tertawa kesal. Dia nampak benci pada mamahnya sendiri. "Baru sekarang? Kenapa gak dari dulu aja? Apa? Karna takut sendirian, ya? Kasian, janda!" Dengan berani, Fana berkata demikian pada Rachel.

Lantas, dengan cepat satu tamparan yang kencang begitu tepat mendarat pada pipinya Fana. "Mamah gak pernah nyesel ngelahirin kamu. Tapi mamah nyesel kamu jadi kayak gini. Entah apa salah mamah, sampe mamah dapet perlakuan yang tidak menyenangkan seperti ini dari anak mamah sendiri." Wajahnya nampak sekali kekecawaan yang mendalam. Perlahan, dia menjauh dari anaknya yang masih berada di dekat pintu.

Fana menangis bercampur rasa kesal. "Mamah nyesel? Iya? Asal mamah tau. GUE GAK PERNAH MINTA DILAHIRIN!" Sebuah kalimat yang seharusnya tidak boleh dia ucapkan.

Seketika, Rachel mengusirnya. "Pergi keluar! Sekarang!" Tangannya menunjuk dengan tegas ke arah pintu. Dan benar saja, Fana pun dengan cepat meninggalkan mereka berdua. Membuka pintu secara kasar dan kemudian menutupnya dengan kencang. Gebrakan yang membuat Daffa ketakutan.

Iya, anak berusia sembilan tahun itu harus menyaksikan ketidak harmonisan antara kakak dan ibunya. Ketika mereka berdua tengah bertengkar, dia hanya melihatnya sedikit dengan mata setengah tertutup dan tangan yang menutupi telinganya dengan penuh rasa takut.

Dia tidak pernah melihat kakak dan ibunya bercengkrama layaknya anak dengan orang tua yang dia temui di sekolahnya. Bahkan, sejak kecil, Daffa sama sekali tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Sebab itulah, dia tumbuh dengan jiwa yang penakut dan pemurung.

___________________

#BERSAMBUNG
#ONAIR1

1 Juli 2024, Polin.

ON AIR 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang