HALAMAN 9

5 3 0
                                    

Memasuki rumah tanpa permisi. Fana berjalan bergegas menuju kamarnya. Bahkan dia mengabaikan seorang ibu yang tengah tidur di sofa setelah bermalam menunggu dirinya pulang ke rumah.

"Fana, kamu udah pulang. Kemana aja?" tanya Rachel ketika matanya melihat sekelibat Fana yang tengah tegas melangkah ke kamarnya. Dan tanpa menoleh sedikitpun, Fana terus berjalan mengabaikan pertanyaan dari Rachel.

Mendapati anaknya berperilaku seperti itu. Dia pun berusaha membangkitkan dirinya dari tempat duduk empuk tersebut. Kemudian kakinya dia gunakan untuk berjalan menyusuli anak pertamanya, Fana.

Berdiri diambang pintu. Kedua mata milik Rachel melihat anaknya tengah merapikan pakaian-pakaian untuk dimasukkan ke dalam koper yang ada di atas ranjang tidurnya. Lantas, dia pun bertanya, "Kamu mau ngapain, Fan?" Perlahan mendekati Fana.

Namun, sebelum sampai pada Fana. Dia dihentikan begitu saja oleh todongan jari telunjuk dari anaknya itu. "Jangan deketin gue!" tegas Fana pada Rachel.

Panik, kini itulah satu kata yang ada di dalam diri Rachel sekarang. Bagaimana tidak? Seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya semalam, tiba-tiba sang anak pulang dengan perilaku yang seperti demikian. Antara panik dan bingung menjadi satu.

"Maksud kamu apa, Fan, ngomong gitu? Ini kenapa kamu masukin baju kamu ke koper? Kamu mau pindah? Terus mamah sama Daffa gimana? Kamu mau ninggalin kita berdua?" Begitu banyak pertanyaan yang keluar dari bibir Rachel pada orang yang masih dia sebut sebagai anaknya.

Fana menangis. Emosinya datang kembali hampir sama seperti emosi dia pada Rara tadi. "Bertahun-tahun gue tinggal sama cewek perek kayak lo! Yang gak peduli gimana gue, yang hidupnya cuma mentingin diri sendiri." Mulutnya begitu lancar menyebutkan bahwa perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya adalah perempuan murahan.

"Kok kamu ngomong gitu, Fan? Mamah serendah itu dimana kamu? Tega kamu, Fan. Mamah ngebesarin kamu sendirian disaat papah kamu pergi ninggalin kita demi cewek lain." Kini, Rachel ikut mengeluarkan isi hatinya.

Fana tertawa. "Tega? Lo bilang tega?! Lebih tegaan mana disaat adek gue minta susu, sedangkan lo pergi keluar sama cowok lain dan ninggalin gue gitu aja. Lebih tega mana, disaat gue minta ditemenin tidur karna gue takut petir tapi lo lebih milih pesta-pesta sama temen-temen brengsek lo di sini!" Dia mulai mengungkit masa lalu.

Mendengar hal itu, jujur saja Rachel pun merasa bersalah atas apa yang sudah dia lakukan pada anak-anaknya. Tetapi, dia melakukan itu karena akibat dari perceraian antara dia dengan suaminya dulu. "Iya, mamah akui kalau mamah salah waktu itu. Tapi, itu semua 'kan karna papah kamu yang pergi ninggalin mamah. Kamu benar, mamah memang tega waktu itu. Tapi, mamah sayang sama kalian," jelas Rachel yang sepertinya tidak akan membuat pikiran Fana berubah untuk pergi dari rumah.

"Sayang? Lo bilang sayang? Gak perlu bawa-bawa papah kalau emang watak lo kayak gitu, dasar pelacur!" Sekali lagi, dengan sangat lancang Fana berucap sesuai atas apa yang terjadi dari sudut pandang dia pada ibunya.

Rachel tidak terima, dan dengan spontan dia menampar wajah Fana. "Berani kamu bicara gitu sama mamah. Kalau bukan karna mamah, gak akan bisa kamu segede ini sekarang. Coba liat papah kamu, apa mau dia ngurusin anaknya? NGGAK! Dia gak pernah sedikitpun ngasih uang ke mamah setelah dia pergi sama cewek brengsek itu," ungkap Rachel.

"Mamah berjuang sendirian, mamah kebingungan harus kayak gimana setelah papah kamu ninggalin kita. Akhirnya mamah lampiasin kebingungan mamah buat ketemu sama temen-temen mamah. Iya tau, saat itu mamah emang gak bener, mamah kacau banget. Tapi kamu liat kan? Setelah itu mamah cari kerjaan buat bahagiain kalian. Mamah kerja supaya kalian bisa makan dan sekolah," lanjutnya.

"Apa ini karna mamah nyuruh kamu nyari kerjaan yang lebih lagi gajinya? Iya? Denger Fan, mamah udah tau gimana rasanya kerja. Berangkat pagi, pulang malam, tapi gaji gak mencukupi buat kebutuhan tuh rasanya capek. Mamah juga bilang ke kamu baik-baik. Karna apa? Karna mamah tau gimana capeknya jadi kamu."

"Mamah udah berkali-kali nyoba buat ngelamar dibeberapa tempat, tapi hasilnya mamah ditolak. Karna umur mamah yang udah gak bisa memenuhi ketentuan mereka. Fan, mamah pengen banget bantu kamu. Sebagian dikit uang dari kamu, mamah tabungin buat bikin usaha. Seenggaknya kalau mamah gak bisa kerja, tapi mamah punya usaha sendiri buat bantu kamu. Itu, Fan, yang mamah mau," ungkapnya mengeluarkan isi hati agar kesalah pahaman tidak terjadi.

Namun, rupanya hal itu tidak membuahkan hasil. Fana yang keras kepala pun bersikeras untuk pergi keluar ke meninggalkan rumah tersebut. "Apapun itu alasannya, mamah gak pernah menjadi mamah yang baik buat Fana. Terima kasih karna udah mau berjuang ngurus Fana. Tapi maaf, gue harus pergi." Perempuan anak pertama itu melangkahkan kakinya. Tetapi, kejadian tersebut dicegah oleh ibunya.

"Gak bisa, kamu gak boleh keluar dari rumah. Mamah yakin, kamu gak akan setega ini. Maafin mamah, Fan, maafin mamah. Mamah ngaku salah. Mamah minta maaf. Mamah akan jadi ibu yang baik buat kalian. Tolong maafin mamah, jangan tinggalin mamah." Rachel memohon padanya dengan memegang kaki Fana.

Yang dipegang kakinya pun berusaha untuk melepas genggaman tersebut. "Lepasin! Stop! Gue udah muak!" teriak Fana dengan bangkar. Dia kencang dia menarik kakinya sendiri hingga genggaman erat dari seorang ibu pun terlepas. Dengan tergesa dia berjalan.

"FANA!" teriak Rachel ketika kedua matanya yang mengaliri air itu menatap dengan hati tersayat melihat anaknya pergi menjauh dari dia. Tubuh yang lemah tidak dapat untuk mengejar. Kini, hanya ada luka sakit dan keputusasaan yang ada dalam dirinya.

Namun rupa-rupanya, seorang lelaki bernama Daffa dari kejauhan sudah menyaksikan kakak dengan ibunya bertengkar. Dia sendiri kebingungan harus bagaimana. Apakah dia harus mencegah kakaknya untuk pergi, atau dia harus menghampiri ibunya untuk ditenangkan. Tetapi, kaki yang dia miliki memilih untuk berlari kembali ke kamarnya dengan air mata yang masih mengalir di pipinya.

"Setiap orang berhak memiliki kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik."
ON AIR 1

___________________

#BERSAMBUNG
#ONAIR1

15 Juli 2024, Polin.

ON AIR 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang