HALAMAN 19

4 2 0
                                    

Berjalan dengan perasaan ragu dan takut, tibalah dia di dalam kamar mandi. Perlahan baju yang dikenakan dia buka dan kemudian dia taruh ke tempat dimana baju kotor berada. Dia masih berusaha untuk menenangkan dirinya. Perlahan tangan kanannya memutar sebuah keran shower. Air hangat yang dia dapatkan sekarang sedang menghujaninya dengan santai yang itu menimbulkan sebuah ketenangan untuknya.

Perlahan, perasaan panik dan takutnya mereda. Dia sangat menikmati jatuhan air ke tubuhnya itu. Mata yang terpejam dan napas yang sangat rileks. Memang benar, air hangat dalam menenangkan tubuh yang sedang tegang.

Air hangat tersebut terus membasahinya. Namun perlahan, air itu berubah warna menjadi merah pekat. Warna yang sama seperti apa yang Fana lihat tadi. Meski begitu, Fana belum juga sadar bahwa air yang mengguyurinya sekarang telah berubah warna, sebab hangatnya air tersebut masih sama.

Sampai akhirnya, dia membuka pejaman matanya. Perlahan dia melihat ke tangan yang tengah diguyuri air merah tersebut. Napasnya santainya kini kembali menggebu-gebu. Perasaan takut yang telah hilang tadi, kini datang kembali. Seketika, Fana pun berteriak dengan kencang.

Dia berniat untuk membilas dirinya dengan air bening yang ada di kolam kamar mandi sebelum keluar. Akan tetapi, air yang ada di kolam tersebut rupanya juga telah berubah warna menjadi merah pekat seperti air shower sekarang.

Fana beneran merasa takut. "Apa ini? Apa ini? Kenapa gini? APA INI?!" Pertanyaan tersebut terus keluar dari mulutnya. Sampai seketika, dia terjatuh dan tidak sadarkan diri begitu saja.

Detik demi detik berlalu, menit demi menit pun berlalu. Kini, Fana terbangun dari pingsannya. Dirinya mendapati sudah ada di ranjang milik Rara dengan keadaan tubuh yang hanya terlindungi selimut. Matanya perlahan melihat sekeliling, dia mencari dimana sahabatnya berada sekarang.

Selagi dia mencari, tidak sengaja dirinya menemukan sebuah kertas yang bertulis, "Fan, gue udah berangkat kerja. Gue udah minta izin buat lo gak kerja hari ini. Sekarang lo istirahat. See u malam nanti." Tulisan tersebut ditulis oleh Rara.

Tubuh Fana kini terasa lemas. Dia tidak mengerti dengan apa yang terjadi padanya. Namun, entah bagaimana, pikiran yang dia miliki itu tiba-tiba saja teringat akan sang ibu. Dia merasa bahwa sekarang waktunya bertemu ibunya.

"Duh! Kenapa sih gue mikirin dia? Biarin aja dia mati. Kalau perlu dia mati di depan gue," keluh Fana dengan ketus ketika pikirannya tidak berhenti tentang ibunya.

Dia sama sekali tidak ingin menggubris pikiran tersebut. Tetapi, semakin dia menolak, pikiran itu justru semakin lekat. Kini, bukan hanya dipikiran saja, tetapi perasaannya pun juga berkata bahwa hari ini dia harus menjumpai ibunya.

Perasaan yang dia miliki semakin kacau. Seakan-akan sedang ada yang mempermainkannya. Mulai dari rasa takut, panik, kesal, sebal, bingung, dan perasaan buruk lainnya. Akibat rasa pikiran itu yang terus menyerbunya, dengan terpaksa dia pergi kembali pulang ke rumah.

Dia pergi dari rumah Rara menuju rumah asalnya menggunakan jasa ojek online. Hingga akhirnya, dia pun sampai ditujuan tersebut. Ada perasaan ragu untuk membuka pintu rumah itu, sebab sudah hampir dua minggu dirinya tidak kembali pulang. Kini, untuk pertama kalinya dia datang kembali.

Dengan perasaan cemas, dia pun membuka pintu tersebut. Perlahan kakinya berjalan memasuki rumah yang setengah bulan tidak dia jumpai. Netranya melihat sekitar ruang tamu yang nampak sepi ini. Perlahan langkahnya terus berjalan menuju kamar dimana Daffa berada. Akan tetapi, baru saja dia hendak melangkah ke kamar adiknya, tiba-tiba ibu dan adiknya itu datang dari arah belakang rumah.

"Mamah, mamah jangan lakuin ini, mamah gak boleh lakuin ini," ucap Daffa mengikuti ibunya yang tengah membawa kursi dan juga tali tambang.

Fana sedikit terkejut melihat apa yang terjadi sekarang. Dia kembali dibuat bingung oleh situasi yang dia hadapi. "Mamah harus mati! Mamah gak boleh hidup!" tegas Rachel pada dirinya sendiri seraya menaiki kursi tersebut dan kemudian mengaitkan ikatan tali tambang pada kayu yang melintang di bawah atap rumah.

"Mamah, jangan lakuin itu. Kalau mamah mati siapa yang jagain Daffa?" tanya Daffa dengan air mata yang terus mengalir.

Rachel tersenyum, "Sayang, ikut mamah mati juga yuk. Biar kamu gak sendirian. Biar kamu gak kesepian. Ambil tali di gudang ya, kita gantung diri sama-sama. Karna ini yang dia mau," ajak Rachel pada anak keduanya dan seketika dia menunjuk ke arah dimana Fana berada dengan tatapan yang begitu tajam.

Fana yang ditatap begitu pun merasa takut sekaligus bingung. Dirinya menjadi tidak bisa bergerak. Semua tubuhnya terasa lemas dan sulit berpikir harus bagaimana dia lakukan sekarang.

"Mamah, aku boleh minta saran gak? Gimana kalau kita matinya jangan gantung diri. Tapi, kita potong leher kita pake gergaji mesin," usul Daffa menimpali apa yang tadi ibunya ucapkan.

Percakapan mereka semakin gila, seakan-akan kematian adalah hal yang sepele bagi mereka. Fana yang mendengar percakapan tersebut pun semakin terasa lemas tubuhnya. Dia tidak sanggup untuk berdiri lagi, sampai akhirnya kaki yang lemah pun kini terduduk diam menatap kedua orang yang dulu dia anggap keluarga itu berbicara kematian.

"Gak perlu sayang. Dia mau liat kita tersiksa. Kalau pake gergaji mesin jadi cepet matinya. Udah, sekarang kamu nurut apa kata mamah, ya. Ambil tali, ambil kursi, kita gantung diri sama-sama di depan dia," jelas perempuan tersebut dengan lembut dan tenang. Lantas, adiknya pun menuruti apa yang dikatakan oleh ibunya.

Kini, mereka tengah menyiapkan kematian mereka sendiri. Dua tali telah terikat dengan kencang. Dan kemudian, perlahan mereka memasukkan kepalanya ke dalam tali yang telah terbentuk lingkaran. Tempat dimana mereka akan merasakan kesakitan.

Mata Fana tidak sanggup untuk melihatnya, tetapi dia tidak bisa memalingkan tatapan tersebut. Dia berusaha untuk membangkitkan tubuhnya, tetapi tetap saja tidak bisa. Mulut yang dia miliki ingin sekali berteriak, tetapi mulut itu seakan-akan ada yang menahannya. Yang dia lakukan sekarang hanyalah menatap kejadian mengerikan yang dia inginkan. Dibarengi dengan air mata yang perlahan mengaliri wajahnya.

"Dadah Fana, selamat tinggal. Semoga bahagia tanpa adanya kami di hidup kamu. Kami tunggu kamu di kehidupan selanjutnya." Kata-kata yang Rachel ucapkan barusan menjadi kalimat terakhir untuk dirinya. Sebab, kini dia tengah menggantung dengan tali yang terikat.

"Dadah kakak, aku ikut mamah, ya. Maaf karna aku ngerepotin kakak. Seharusnya emang aku gak ada, biar uang kakak gak abis terus buat biayain sekolah aku. Semoga bahagia, ya. " Kini, adiknya pun melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan ibunya.

Kedua netra yang terus mengaliri air mata itu melihat dengan jelas bagaimana proses kematian dari ibu dan adiknya. Suara napas yang hampir habis terdengar begitu pekat di telinga Fana. Wajah yang menjelaskan seberapa tersiksanya rasa sakit itu akibat lilitan tali di lehernya, nampak jelas dengan lantang di matanya. Tubuh yang sedikit bergerak-gerak akibat rasa sakit itu perlahan terhenti. Dan sampailah dimana keduanya kini telah mati tepat di hadapan Fana Laksajaya.

"MAMAH! DAFFA! JANGAN PERGI! AKU SAYANG KALIAN!" Teriakan bangkar tiba-tiba saja terlepas dari mulutnya yang tadi sempat tertahan.

Tangisan yang sendu dan memburu terus dia lakukan sebagai bukti atas sebuah penyesalan yang telah dia lakukan. Dia terus menangis, memohon agar mereka tidak membunuh diri. Tetapi, semuanya telah terjadi sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Perasaan kesal dan marah kini hinggap di hatinya. Begitu besar rasa penyesalan yang dia dapatkan. Sangat besar. Terlebih ketika dia hanya bisa melihat mereka kesakitan tanpa membantunya sedikitpun. Hal itu yang membikin Fana semakin sakit, takut, menyesal dan semacamnya. Namun kini, semuanya telah terlambat untuk mengakui penyesalan tersebut. Sebab, keduanya telah tiada.

"Penyesalan datangnya di akhir."
ON AIR 1

___________________

#BERSAMBUNG
#ONAIR1

25 Juli 2024, Polin.

ON AIR 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang