Berjalan melewati lorong yang cukup dingin untuk menemui seseorang yang ingin mereka temui. Berkat perempuan tersebut, kedua insan bersahabat itu akhirnya bertemu dengan sang pemilik studio radio ini.
Pintu dibuka. Terlihat seorang perempuan tua yang tengah duduk santai di kursi kerjanya. "Silakan duduk, Rara dan Fana," titahnya dengan menunjuk masing-masing dari mereka.
Mendengar perintah tersebut, mereka pun duduk di kursi yang sudah disediakan. Tepat di depan perempuan itu. "Perkenalkan, saya Amo Roepolin. Biasanya di sini mereka memanggil saya dengan sebutan Oma." Perempuan tersebut memperkenalkan dirinya seraya memainkan kedua tangannya di meja yang berada diantara mereka bertiga.
"Baik, saya mau kalian mempernalkan diri. Mulai dari nama, tanggal lahir, tempat tinggal kalian dan keinginan yang kalian inginkan sekarang," lanjut Amo Roepolin.
Mendengar hal itu, tanpa berlama-lama. Rara pun mulai memainkan bibirnya untuk bicara. "Saya Raralila, kelahiran sembilan delapan, tanggal sepuluh mei. Saya tinggal di Jakarta Selatan, yang jaraknya tidak cukup jauh dari sini. Untuk sekarang, saya hanya menginginkan untuk diterima di tempat ini," jelas Rara. Ucapan terakhirnya cukup bagus. Sebab mungkin itu menjadi pacuan agar Oma bisa menerimanya di sini.
Amo tersenyum. Kemudian tangannya mengisyaratkan bahwa sekarang giliran Fana yang memperkenalkan dirinya. "Baik, saya Fana Laksajaya. Kelahiran sembilan tujuh, bulan delapan tanggal lima. Saya memiliki kengininan untuk–" Fana tiba-tiba memotong ucapannya.
Raut wajah Fana berubah. Dia tengah memikirkan apa yang dia inginkan selama ini. Benar, dia hampir mengatakan bahwa dia menginginkan ibunya untuk tiada dalam hidupnya. Tetapi, jika dia berkata demikian, mungkin saja Amo akan menganggap dia orang yang durhaka. Bisa-bisa, dia tidak diterima di tempat tersebut.
Rara yang melihat wajah Fana membingung. Dia pun menyenggol pelan bahu Fana dengan bahunya. Seketika, Fana pun meneruskan ucapannya, "Keinginan saya sama seperti apa yang Rara ucapkan ke ibu," katanya dengan spontan.
Amo melipat kedua tangannya setelah mendengar ucapan yang sempat terhenti. "Baik, kalau begitu, mulai besok kalian bisa kerja di sini. Untuk gaji, bisa kita bicarakan?" tanyanya.
Wajah Rara nampak sumringah usai telinganya mendengar kalimat tersebut. Lagipula, siapa yang tidak senang jika ditanyakan soal perjanjian gaji? Apalagi kalau persetujuan gaji itu sesuai dengan keinginan. Pasti akan sangat senang dalam bekerja. Asal tidak dibawah tekanan saja.
"Saya taruh gaji kalian sebesar lima juta perbulan. Tapi, itu sudah termasuk lembur. Gimana? Setuju?" Penawaran pertama Amo lontarkan.
Hendak saja Fana berucap, tiba-tiba Rara menyerobot untuk mengucap, "Di tempat kami yang dulu, dua juta belum sama yang lembur. Biasanya perkali lembur itu sekitar empat ratus ribu. Kami, biasanya lembur sebulan bisa mencapai delapan kali. Kalau bisa, lima juta lima ratus itu sudah termasuk lembur," jelas Rara.
Mendengar hal itu, Fana membelalak. Sebab, apa yang dikatakan Rara bukanlah hal yang benar. Karena kenyataannya, selama ini mereka hanya menerima uang gaji bulanan saja tanpa ada uang lembur. Kecuali dengan apa yang terjadi semalam.
Amo memasang wajah berpikir. Namun, tidak lama dari itu, dia pun menyetujui penawaran tersebut. "Oke, kalau kalian menginginkan gaji segitu," katanya. Kemudian dia mengambil dua lembar kertas lalu memberikannya pada mereka berdua.
"Silakan dibaca terlebih dahulu, sebelum kalian menanda tangani kontrak perjanjian ini," lanjut Amo seraya memberikan pena pada mereka.
Rara yang sudah tergiur dengan gaji segitu, dia pun langsung menanda tangani lembar kontrak tersebut tanpa dia membacanya. Sedangkan Fana yang melihat Rara seperti itu pun, dia hanya bisa mengikuti saja. Akan tetapi, ketika dia menulis tanda tangannya di kertas. Matanya melihat logo di kertas tersebut yang sama seperti apa yang dia lihat di foto keluarga Rara malam tadi.
Dia mulai merasakan keanehan. Namun entah bagaimana, dia sendiri tidak bisa menghentikan yang terjadi sekarang. Tangan yang berusaha untuk berhenti menulis itu nampaknya tidak bisa dihentikan. Hingga akhirnya, dia sendiri telah menanda tangani kontrak tersebut.
"Baik, besok kalian datang ke sini jam delapan pagi. Langsung saja ke studio on air satu. Di situ tempat kalian menyiar. Oh iya, tenang saja, kalian tidak hanya berdua di sini. Tetapi ada beberapa orang yang akan membantu kalian untuk bekerja. Ya ... seperti tempat kerja lainnya saja," ucap perempuan tua itu dengan jelas seraya mengambil kertas yang sudah mereka tanda tangani.
Rara dan Fana mengangguk paham. "Kalau gitu, kalian boleh keluar sekarang. Dan ya, saya ucapkan selamat datang di tempat kami," lanjut Amo Roepolin.
Mendengar hal itu, keduanya pun berjabat tangan dengan sang pemilik tempat. "Terima kasih bu, kalau gitu kami pamit dulu. Permisi," pamitnya kemudian kaki mereka melangkah menuju pintu.
Selagi melangkah, tiba-tiba Amo kembali berucap, "Panggil saja saya Oma. Menginginkan sesuatu memang tidak selamanya harus diucapkan agar orang lain mengetahui. Tetapi, apa yang kalian lakukan sekarang adalah wujud dari keinginan kalian," ucapnya dengan nada yang sedikit menajam.
Rara dan Fana menoleh ke arah Oma. Keduanya menerbitkan senyuman pura-pura hormat untuk menutupi rasa takut mereka pada Oma tersebut. Karena tidak ingin berlama-lama di ruangan tersebut, mereka kembali berjalan menuju pintu untuk keluar.
Sesampainya di dalam mobil. Fana langsung berbicara soal apa yang dia lihat di kertas tadi, "Ra, lo liat logo yang ada di kertas tadi gak?" tanya Fana dengan penasaran.
"Logo? Oh, iya, gue liat. Kenapa emangnya?" tanya Rara yang tengah sibuk menyalakan mesin mobil.
Fana merasa curiga. Ada perasaan khawatir di dalamnya, tetapi ada hasrat keinginan yang dia sendiri tidak tahu apa maksud dari keinginannya itu. "Kayaknya ada yang gak beres deh," ucap Fana setengah yakin.
Rara membingung. Apa maksud dari ucapan Fana barusan. "Maksud lo?" tanyanya penasaran.
"Ya ... gue ngerasa kayak ada yang aneh aja. Tapi, gue gak tau apa yang aneh. Ada perasaan lain yang bikin gue ngerasa lengket banget sama tuh tempat," kata Fana menjabarkan perasaan yang dia rasakan secara tidak jelas.
Rara berdecak sebal. "Anjir, udah gak usah aneh-aneh. Sekarang kita udah dapet kerjaan dengan gaji yang lebih baik. Jadi, gak perlu lo mikirin yang kayak begitu. Intinya sekarang jalanin aja, apa yang terjadi nanti, itu urusan nanti. Gue mau lo balik ke nyokap lo, walaupun gue tau lo sebenci itu sama nyokap lo sendiri," cakapnya dengan sedikit nasihat di akhir.
Telinga Fana yang mendengar itu hanya berdiam saja tanpa membalas ucapan tersebut. Kini, mereka berdua kembali pulang ke rumah Rara. Setelah itu, mereka izin untuk keluar dari tempat kerjaan yang sekarang untuk pergi pindah ke yang baru. Berharap, ini akan berhasil.
"Berbohong adalah perbuatan yang akan selalu ditemani dengan hal yang tidak baik."
ON AIR 1___________________
#BERSAMBUNG
#ONAIR113 Juli 2024, Polin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ON AIR 1
HorrorKehilangan bukan hal yang asing dalam hidup manusia. Ia bisa datang kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja. Karena yang hadir akan pergi, dan yang ada akan hilang. Semuanya. Perempuan bernama Fana Laksajaya yang bekerja sebagai penyiar radio...