Sebuah jari jemari dengan lihai menari di atas papan ketik bertulis huruf. Kedua matanya menatap layar laptop seperti biasa. Rara, kini tengah mengirim sebuah surat lamaran kepada tempat kerja yang dituju melalui alamat emailnya. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi dia juga mengirim surat lamaran milik Fana.
"Kalian hari ini lembur, ya. Darrel ada izin pulang karna ada urusan mendadak," ucap perempuan yang biasa dipanggil Bu Sasha itu.
Rara membantah usai mendengar kalimat tersebut. "Gak bisa dong, bu. Kemarin saya sama Fana udah dapet jadwal sampe malam. Masa hari ini gitu juga," bantahnya.
Mendengar ucapan tersebut, Bu Sasha melipat tangannya di dada. "Oke, saya bakal kasih kamu gaji lembur. Gimana?" Dia melakukan negosiasi demi berjalannya radio sampai malam hari.
Tumben sekali perempuan bernama lengkap Sasha Omara itu bersikap seperti tadi. Padahal apa yang dikatakan Fana sebelumnya adalah benar. Bahwa Sasha termasuk manusia yang memiliki perilaku tidak mau berbagi. Tapi kali ini, justru dia rela mengeluarkan sedikit uangnya untuk mereka. Wajar saja sebenarnya, tetapi itu menjadi aneh jika Sasha yang melakukannya.
Dahi Rara mengerut, matanya yang melirik ke arah Fana seakan-akan memberi sebuah kode. "Oke deh bu, saya sama Fana lembur hari ini," jawabnya menyetujui tawaran tersebut.
Fana yang dari tadi hanya mendengarkan mereka berdua berbincang itu rupanya mendapat sebuah simpati kecil dari Sasha. "Kamu kenapa, Fan? Lagi ada masalah?" tanya dia beralih topik ke arah yang cukup pribadi.
Pertanyaan yang sampai pada telinga Fana pun menyadarkan dirinya dari pikiran yang cukup kusut di dalam otak. "Ah, gapapa, bu. Cuma gak enak badan aja dikit," jawab Fana dengan kilah.
Sasha merasa tidak yakin dengan jawaban dari Fana. Perlahan kepalanya memaju mendekati telinga kiri Fana. "Kalau kamu mau, nomor telepon saya selalu aktif buat kamu," bisiknya pelan. Usai itu, Sasha menjauhnya kepalanya kembali. "Oke, kalau gitu saya pergi dulu," pamit dia meninggalkan mereka berdua begitu saja.
Pikiran Fana kini semakin kusut. Sebab bisikan yang barusan saja dia dengar dari Sasha justru menambah masalah dalam otaknya. Wajah Fana yang terpampang sudah cukup membuktikan seberapa rumit pikirannya sekarang.
"Udah anjir! Gak usah dipikirin. Mau dia ngomong apa juga jangan digubris. Yang ada bikin lo penasaran doang," kata Rara seraya jarinya masih bermain di papan ketik.
Mendengar apa yang dikatakan Rara barusan membuat perempuan yang tengah bermasalah dengan ibunya itu terkejut. Bagaimana tidak? Sasha berbisik padanya, tetapi Rara juga seakan-akan mendengar apa yang dibisikkan padanya. "Anjir, lo tau apa yang si Sasha bilang ke gue?" tanyanya penasaran.
Perempuan dengan rambut terikat satu itu pun menghela napasnya. Tangannya berhenti dari kegiatan mengetik dan beralih memegang kedua tangan Fana yang sedikit cemas. "Fan, gue ini sahabat lo. Gue gak tau apa yang dia bisikin ke lo, tapi muka lo tuh keliatan banget lagi mikirin. Please, santai, kalau nanti surat lamaran kita diterima dan dipanggil buat interview, kemungkinan besar kita bakal dapet yang lebih baik dari ini, Fan," jelas Rara berusaha menenangkan sahabatnya.
Fana sedikit tersenyum. Sebenarnya yang ada dipikiran dia sekarang bukan hanya tentang apa yang dibicarakan Sasha tadi, tetapi masalah antara dia dengan sang ibu pun sudah setengah lebih merauk pikirannya. Iya, memang benar Rara belum mengetahui persalahan dia yang sesungguhnya. Namun, Rara sebagai sahabat cukup mengerti atas apa yang dirasakan Fana. Meski bukan yang sebenarnya.
"Makasih, ya, Ra. Lo emang sahabat gue yang paling paling paling baik." Tubuhnya memeluk erat tubuh Rara. Dia merasa cukup aman bila ada Rara di sampingnya. Bagi dia, Rara memang sudah seperti keluarganya sendiri. Bahkan, keluarga pun belum tentu bisa seperti dia. Iya, tidak semua keluarga bisa dibilang keluarga.
"Santai, gue juga makasih sama lo karna udah mau bertahan sampe sekarang. Gue cuma berharap hubungan lo sama nyokap baik-baik aja," ucapnya yang kemudian mereka melepas pelukan hangat tersebut.
Rara selalu mendengar betapa kejamnya Rachel pada Fana melalui mulut Fana sendiri. Bahkan, Fana juga pernah bercerita bahwa dia sering dipukuli oleh ibunya sendiri. Ada perasaan percaya dan tidak percaya pada diri Rara ketika dia mendengar cerita yang dirasa cukup berlebihan itu. Tetapi, dia sendiri juga pernah mengalami hal demikian. Iya, kekerasan dalam rumah tangga pernah Rara saksikan dengan kedua matanya. Bukan hanya menyaksikan, tetapi juga merasakan sakitnya dipukuli, dikunci, dan caci maki.
Selama mereka berdua bersahabat. Rara sama sekali tidak pernah menceritakan seberapa tidak harmonisnya keluarga yang dia miliki pada Fana. Sebab, dia hanya ingin orang-orang mengetahui bahwa dia bahagia hidup bersama keluarga yang nampak harmonis di luar saja. Padahal, rasa sakit dan mental yang dia miliki tidaklah stabil layaknya anak seusianya. Namun, takdir justru mempertemukan dia dengan Fana yang memiliki permasalahan hidup yang hampir sama dengan dirinya.
"Tidak ada manusia yang jahat. Karena mereka hanya menunjukan siapa mereka."
ON AIR 1___________________
#BERSAMBUNG
#ONAIR16 Juli 2024, Polin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ON AIR 1
HorrorKehilangan bukan hal yang asing dalam hidup manusia. Ia bisa datang kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja. Karena yang hadir akan pergi, dan yang ada akan hilang. Semuanya. Perempuan bernama Fana Laksajaya yang bekerja sebagai penyiar radio...