Gerakan kaki begitu cepat melangkah. Jarak yang jauh nampaknya ditempuh secara tidak sadar olehnya. Bagaimana tidak? Sejauh 5 kilo meter dia berjalan. Mungkin akibat perasaan marah yang menggebu dalam dirinya, sehingga dia sendiri tidak sadar sudah berapa jauh dia melangkah.
Lihat saja, wajahnya seakan perlahan memerah. Napasnya yang terengah-engah membuktikan seperti apa kemarahannya. "Anjing! Kalau bisa gue bunuh tuh cewek. Bangsat!" bualnya. Langkah demi langkah hingga tidak terasa bahwa dia telah sampai tepat di depan pintu tempat kerjanya berada.
Seketika, dia membuka pintu tersebut tanpa ampun. Namun rupanya perempuan yang tengah diambang kemarahan itu dikejutkan oleh banyak orang yang sedang berlalu lalang di dalamnya. Tidak seperti biasanya studio sangat ramai seperti sekarang. Lantas, langkah yang terburu-buru pun kini berjalan perlahan. Netra yang dia miliki tengah meraba atas apa yang telah terjadi di studio radio ini. Otaknya ikut bekerja sama dengan apa yang matanya lihat.
Sebuah suara memanggil namanya dari kejauhan. "Fana! Sini!" Seketika, Fana pun menengok ke arah sumber suara tersebut. Rupa-rupanya itu adalah Rara yang tengah berdiri seraya memegang sepotong kue di tangannya. Fana pun menghampiri sahabatnya itu.
"Ini ada apaan dah?" tanya Fana penasaran.
Rara tertawa kecil. Dia menuntun Fana untuk mengambilkan kue di meja sana. "Lo gak tau? Bu Sasha, 'kan ulang tahun hari ini. Jadi, kita ngadain pesta deh," jelasnya seraya menyuapi sepotong kue kecil ke dalam mulutnya Fana.
Perempuan yang baru datang itu pun semakin bingung. Sebab, Bu Sasha dikenal sebagai orang yang pelit. Namun sekarang dia begitu royal membagikan kue dan bingkisan lainnya untuk orang studio. "Lo yakin? Bu Sasha, 'kan orangnya pelit anjir. Masa dia bikin pesta kayak gini buat orang studio?" tanya Fana tak yakin.
"Ayolah, sesekali Bu Sasha juga bisa royal. Lupain aja udah gimana pelitnya dia. Eh tapi, gue nemu lowongan kerja yang gajinya lebih gede loh dari ini. Sama-sama jadi penyiar radio juga, sih. Lo mau gak? Kita coba aja dulu. Jam kerjanya juga gak separah di sini," ucap Rara. Kemudian dia mengajak Fana untuk duduk di sofa yang ada di kantor tersebut.
Selembar kertas yang bertulis lowongan yang dimaksud Rara itu pun sampai di tangan Fana. Kedua bola matanya membaca sedikit demi sedikit tulisan di kertas tersebut. Sebab, promosi lowongan kerja ini nampak berbeda dari yang lain. Biasanya ada macam kriteria dan syaratnya untuk masuk ke tempat tersebut. Namun kali ini, tulisan penuh dengan kalimat-kalimat yang terdengar tidak nyambung dengan pekerjaan yang ditawarkan tersebut.
"Bahagia adalah bagian dari satu kebutuhan manusia. Namun terkadang, kebahagiaan membutuhkan pengorbanan." Salah satu penggalan kalimat yang ada di kertas lowongan itu.
"Anjir? Ini apaan dah? Mana ada promosi kerja kayak begini. Udah gitu ada kata-kata sok mutiara lagi. Yakin lo?" tanya Fana dengan wajah yang amat sangat tidak yakin. Kemudian kertas yang dia pegang tadi dikembalikan begitu saja ke tangan Rara.
Perempuan dengan rambut diikat itu memutar bola matanya dengan malas. "Ayolah, Fan, kita coba dulu. Lo gak lihat gajinya berapa? Jam kerjanya? Anjir, gak usah mikirin kata-kata yang ada di brosurnya. Yang penting cuan bos!" Rara berusaha meyakinkan temannya. Bukan tanpa alasan tentunya, dia sendiri juga sudah tidak betah untuk kerja di studio tersebut.
Mendengar hal itu, seketika Fana teringat kejadian tadi sebelum dirinya sampai ke tempat kerjanya. Dia memikirkan lowongan kerja tersebut berbarengan dengan apa yang akan terjadi pada hubungan antara dia dan ibunya. Pikiran di otaknya terus merujuk pada dua hal tersebut. Jujur saja, dia tidak ingin kembali ke rumahnya. Tetapi, dia masih sangat sayang dengan adiknya. Tidak mungkin bagi dia untuk meninggalkan Daffa sendirian dengan ibu yang baginya tidak tahu diri itu.
Fana menghela napasnya lelah. "Oke deh, gue mau coba. Tapi lo beneran ikut, 'kan?" tanya.
Perempuan berambut ikat itu pun merasa senang. "Iya! Gue ikut kok. Lagian gak mungkin juga gue nawarin ini ke lo tapi gue sendiri gak ikut. Padahal gue yang pengen banget buat pindah," ujarnya.
"Eh, tapi nanti gimana kalau interviewnya pas kita lagi kerja?" tanya Fana pada temannya.
Mendengar hal itu, Rara berdecak sebal. "Ah elah! Gampang, tinggal izin. Lagian selama ini kita juga kerja jarang izin. Gak mungkin banget kalau Bu Sasha gak kasih izin. Bilang aja nanti kita ada acara keluarga. Basi banget sih emang izinnya, tapi ya coba dulu gak masalah, 'kan?" jelasnya panjang lebar.
Lantas, Kepala Fana mengangguk paham dengan pelan. Tangannya kemudian kembali mengambil kertas tersebut dari tangan Rara. Kedua mata yang ada di wajahnya kembali menatap kertas tersebut. Ada perasaan tidak enak di hati, tetapi ada juga rasa penasaran. Entah apa, tetapi memang itu yang dia rasakan sekarang. Ragu, bimbang, tapi ingin mencoba.
"Perasaan yang ada adalah panggilan dari alam bawah sadar seseorang."
ON AIR 1___________________
#BERSAMBUNG
#ONAIR14 Juli 2024, Polin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ON AIR 1
HorrorKehilangan bukan hal yang asing dalam hidup manusia. Ia bisa datang kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja. Karena yang hadir akan pergi, dan yang ada akan hilang. Semuanya. Perempuan bernama Fana Laksajaya yang bekerja sebagai penyiar radio...