Perasaan marah yang menggebu-gebu membuat Fana mengambil langkah yang sungguh sangat salah. Langkah dimana dia harus memaksa keinginannya segera terwujud. Benar, menghilangkan sang ibu. Tanpa berlama-lama, Fana mengambil sebuah pisau tajam dari dapur milik Rara. Kemudian dengan tergesa dia kembali ke pintu tersebut.
Perasaan yang tidak kunjung reda, yang sulit dikondisikan. Perasaan dendam yang begitu nyata, bahkan dia pun tidak akan pernah percaya bahwa yang dia rasakan sekarang adalah hal tersebut. Tangan kiri yang dia miliki dengan cepat membuka kembali pintunya, kemudian tangan kanannya yang menodong pisau itu seketika menusuk tepat pada dada perempuan tersebut. Lantas, terjadilah sebuah pembunuhan.
Mata yang membelalak menjelaskan betapa sakitnya tusukan yang kini berada di dadanya. Kucuran darah segar dengan derasnya mengaliri baju putih yang perempuan itu kenakan.
Lantas, seketika Fana terbangun dari mimpinya.
Napas yang terengah-engah. Kedua netranya mulai melihat tangan yang tadi dia gunakan untuk menusuk ibunya di dalam mimpi. Air keringat membasahi dahinya. "Anjrit!" umpat Fana ketika dirinya menyadari bahwa yang terjadi tadi hanyalah mimpi.
Dia melihat sekelilingnya. Tidak ada Rara di ranjang tersebut, dia berpikir mungkin sahabatnya itu tengah berada di kamar mandi. Namun, ketika dia mulai menurunkan kakinya dari ranjang, tanpa sengaja dia menginjak sesuatu di bawah ranjang tersebut.
Perlahan kepalanya dia tolehkan ke bawah. Terkejut bukan main. Netra yang dia miliki membelalak begitu saja ketika melihat Rara tengah tergeletak di lantai dengan lumuran darah di badannya. Bukan cuma itu, tetapi ada sebuah pisau tajam yang menancap tepat di dada Rara. Pisau yang sama persis seperti apa yang Fana gunakan tadi di dalam mimpinya.
Dengan segera, Fana memundur badannya. Keringatnya yang tadi hampir reda, kini kembali mengalir. Dia sangat kebingungan, dia benar-benar bingung. Dia takut, dia gelisah, dia sedih. Perasaan yang campur aduk terus berputar-putar pada dalam dirinya. Tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.
Namun, di tengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba terdengar suara yang entah dari mana itu berasal. "Fana, Fan, bangun. Fana." Sumber suara tersebut menyuruh Fana untuk bangun. Seketika, Fana pun terbangun dari tidurnya.
Keringat mengucur membasahi wajah dan lehernya. Napasnya pun seperti sehabis lari. Kini, dia masih dalam kebingungannya. Dia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Sebab sekarang, dia berada di dalam mobil Rara. "Fan, lo kenapa? Mimpi buruk? Kok kayak ketakutan gitu," tanya Rara usai melihat orang yang baru saja dia bangunkan itu bereaksi demikian.
"Ra, tampar gue, tampar," titah Fana dengan panik. Tangannya menyuruh tangan Rara untuk segera menampar pipinya. Wajahnya benar-benar ketakutan, sangat takut.
Rara yang melihat Fana seperti itupun juga kebingungan jadinya. "Lo kenapa sih? Kita udah sampe di rumah. Sepanjang jalan tadi tuh lo tidur." Dia menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.
"Jadi kita baru sampe? Kita belum masuk ke rumah lo? Kita tidur di kamar?" ucap Fana dengan banyak pertanyaan pada Rara.
Mendengar hal itu, Rara pun dengan sigap menampar pipi Fana cukup kencang. Dan itu pula yang kini menyadarkan Fana bahwa yang tadi dia alami hanyalah mimpi. "Puas?" ketus Rara bertanya usai menampar pipi sahabatnya itu.
"Gue takut, Ra. Gue takut. Mimpi gue beneran keliatan banget nyatanya. Perasaan yang ada di mimpi tadi tuh beneran berasa di gue," lirih Fana menjelaskan rasa takut yang dia alami secara gamblang.
Rara bersiap untuk keluar setelah dirinya mematikan mesin mobil miliknya. "Udah, mungkin karna lo capek, makanya lo jadi mimpi yang kayak gitu. Sekarang, daripada lama-lama di dalam mobil gak jelas kayak gini. Mending kita keluar aja. Gue mau rebahan, sumpah," ujar Rara menyuruh Fana untuk ikut keluar mobil bersamanya.
Dengan perasaan yang sedikit ragu, Fana keluar dari mobil dan kemudian berjalan berdampingan dengan Rara. "Lo kenapa nyerempet gini sih jalannya? Di belakang gue atau gak gue di belakang lo," cakap Rara ketika dirinya di dekati terus oleh Fana saat berjalan bersama.
"Jangan, gapapa, ya. Sekali ini aja gue jalan di samping lo, please," balas Fana dengan sedikit memohon padanya. Mendengar hal tersebut, mau tidak mau Rara mengiyakannya. Lagipula, jalan menuju rumah tidak terlalu jauh dari tempat parkir mobilnya.
Kedua manusia itu sekarang berada di dalam rumah. Kali ini bukan berdampingan berjalan, tetapi Fana yang mendahului Rara. Mengingat apa yang tadi berada di dalam mimpinya, membuat Fana merasa takut jika dia yang harus menutup pintu dan berjalan di belakang Rara.
"Tidak semua mimpi itu indah."
ON AIR 1___________________
#BERSAMBUNG
#ONAIR120 Juli 2024, Polin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ON AIR 1
HorrorKehilangan bukan hal yang asing dalam hidup manusia. Ia bisa datang kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja. Karena yang hadir akan pergi, dan yang ada akan hilang. Semuanya. Perempuan bernama Fana Laksajaya yang bekerja sebagai penyiar radio...