Menangis meraung meratapi kepergiaan anaknya yang secara tiba-tiba membuat dia lupa bahwa ada Daffa yang masih butuh kasih sayangnya. Tanpa berpikir lama, Rachel mengambil tali tambang yang ada di lemari dapur. Kemudian sofa yang ada di ruang tamu, dia geserkan tepat di bawah kipas besar.
Kakinya dia naikkan ke sofa tersebut. Lalu tangannya dengan lihai dia ikatkan ke kipas tersebut. Setelah ikatan itu sekiranya sudah terlihat kencang, secara perlahan tangannya mulai meliliti leher yang dia miliki itu dengan tali yang sudah tersambung ikat di kipas.
Dengan air mata yang masih terus mengalir ditambah isakan yang menggebu-gebu. Pelan-pelan kedua mata dia tutupkan. Kaki yang menapak pada sofa, secara keras dia singkirkan sofa tersebut menggunakan kakinya. Lantas, terjadilah perlahan rasa sakit yang ada di lehernya sekarang. Suara seperti kehabisan napas, dia lakukan sekarang.
Daffa yang hendak pergi ke kamar mandi usai menangis di dalam kamar sendirian itu tidak sengaja melihat ibunya tengah menggantung diri di ruang tamu. Seketika, dia pun berlari dengan cepat berusaha untuk melepaskan tali tersebut dari lilitan di leher ibunya.
"Mamah, kenapa mamah gini? Mamah jangan tinggalin Daffa. Daffa gak punya siapa-siapa lagi selain mamah. Mamah gak boleh lakuin ini," ucap Daffa dengan panik seraya tangannya mencoba melepas lilitan tali tersebut.
Rupanya hanya dengan tangan kosong saja dia tidak berhasil. Dengan sergap, otaknya mengisyaratkan dia untuk mengambil pisau daging yang ada di dapur. Setelah mendapat pisau tersebut, adik dari Fana ini pun kembali berusaha membuka lilitan yang menyiksa sang ibu. Kucuran keringat telah membasahi wajahnya. Jantung yang memompa secara tidak normal terus berdetak. Situasi yang terjadi sekarang membuat Daffa merasa takut dan cemas. Sebab wajah sang ibu mulai membiru.
Hingga akhirnya, upaya menyelamatkan Rachel pun berhasil. Perempuan dua anak itupun terjatuh ke lantai yang jaraknya tidak cukup jauh. Lantas, Daffa segera mengecek napasnya serta detak jantung yang ada pada ibunya. Beruntung, sang ibu masih bernapas meski hanya sedikit-sedikit yang keluar.
"Mamah, gapapa. Mamah kuat," kata Daffa menguatkan dirinya sendiri dan juga ibunya selagi tangannya berusaha mengangkat sang ibu untuk dibawa ke kamar.
Rachel akhirnya terbaring dikasur usai Daffa berhasil dengan usahanya. Sang ibu yang masih dalam keadaan pingsan itu, Daffa mencoba menelepon kakaknya. Namun satu panggilan pun tidak terjawab dari banyaknya sepuluh panggilan. Tanpa memikirnya hal yang lain lagi, dia berinisiatif untuk menelepon dokter yang dulu pernah menangani kejiwaan sang ibu.
"Hallo dok. Tolong datang ke rumah saya ya, dok. Mamah nyoba buat bunuh diri lagi," ucap Daffa pada dokter tersebut.
Benar, bukan yang pertama kali Rachel mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Tetapi, ini adalah yang ketiga kalinya. Dahulu, pertama kali Rachel mencoba untuk bunuh diri adalah disaat pertengkaran terjadi antara dia dengan mantan suaminya karena mantan suaminya itu ketahuan selingkuh.
Lalu, yang kedua adalah ketika sidang perceraian berakhir. Sepulang sidang, Rachel berusaha menyakiti dirinya dengan membenturkan kepalanya ke dinding sehingga mengalami sedikit kerusakan dibagian otaknya. Dan yang ketiga adalah yang terjadi sekarang.
Tidak lama dari Daffa menelepon dokter. Lantas yang ditelepon pun tiba di rumahnya. Dokter tersebut dengan sigap memeriksa sang pasien. Kemudian dia mulai bertanya kepada Daffa atas apa yang terjadi pada ibunya.
Sementara itu, Fana baru saja sampai di rumah Rara usai membuat keributan di rumahnya sendiri. Baru saja membuka pintu, dia disuguhkan oleh Rara yang tertawa sendiri di ruang tamu dengan wajah yang menghadap bingkai foto keluarga. Iya, foto yang kemarin malam sempat Fana lihat dan Fana curigai.
Secara perlahan, dia menghampiri sahabatnya tersebut dengan memanggil-manggil namanya. "Ra? Lo ngapain? Kok ketawa sendirian? Ra?" tanya Fana, tetapi tidak ada balasan apapun dari Rara.
Langkahnya perlahan semakin dekat dengan Rara. Jujur saja, dia merasa takut sekarang. Sebab tidak seperti biasanya Rara bertingkah aneh seperti sekarang ini. Perasaan yang takut itu justru membawa tangannya untuk menepuk pundak perempuan yang sedang tertawa itu.
Satu tepukan mendarat di pundak. Dengan satu tepukan itu pula Rara berhenti tertawa. "Eh, lo udah balik. Kok gak bilang," kata Rara yang tiba-tiba saja berubah dratis seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
Fana yang terlanjur takut pun akhirnya merasa lega ketika Rara berhenti tertawa. Namun tetap saja, dia merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Lantas, dia pun bertanya, "Ra? Lo gapapa? Lo ngapain di sini? Sambil ketawa lagi," tanya Fana berusaha memastikan bahwa Rara tidak apa-apa.
"Hah? Ketawa? Maksud lo?" Tiba-tiba saja suara tersebut terdengar dari belakang Fana. Hal itu membuatnya terkejut. Ditambah lagi yang bertanya seperti itu adalah Rara.
Mata Fana membuka sedikit lebar ketika melihat sahabatnya yang ternyata ada di belakang dia sedang memegang secangkir air putih. Untuk memastikan kembali, dia pun menoleh ke arah dimana tadi dia melihat dan menepuk pundak Rara. Dan benar saja, Rara yang dia tadi itu tidak ada.
"Ra?! Lo tadi di sini, 'kan? Tadi lo tuh lagi ketawa sambil liat foto ini," tegas Fana dengan menunjuk-nunjuk foto tersebut.
Mendengar hal itu, Rara membingung. "Maksud lo apa anjir? Gue baru keluar dari kamar. Lagian, ngapain juga gue liat tuh foto sambil ketawa-ketawa? Kurang kerjaan banget," jawab Rara.
Merasa yakin bahwa yang dia lihat tadi memang benar-benar Rara. Dia pun meyakinkan keyakinannya pada perempuan tersebut. "Sumpah! Tadi gue masuk ke rumah lo. Terus gue liat lo lagi ketawa sambil liat foto ini. Abis itu gue samperin, gue tepuk pundaknya, terus lo bilang udah pulang? kok gak ngasih tau. Sumpah, tadi lo bilang gitu," jelas Fana dengan penuh keyakinan.
Rara semakin bingung. Namun, dia tidak mau itu menjadi hal yang dibuat pusing olehnya. "Udahlah, mungkin lo lagi banyak masalah aja makanya halusinasi. Ke kamar mandi gih sana, cuci tangan cuci kaki, abis itu ke kamar gue. Kita nonton lagi, anjay!" seru Rara yang kemudian meninggalkan Fana begitu saja dengan perasaan bingungnya.
Perempuan yang baru saja meninggalkan rumahnya itupun masih berdiri di tempatnya. Dia masih memikirkan apa yang terjadi barusan. Apakah memang benar hanya ilusi semata, atau itu nyata adanya. Sebab, tangan yang dia gunakan untuk menepuk pundak tersebut terkesan sangat nyata dan ada. Entahlah, pikiran yang ada di otaknya terus membuatnya semakin lemah. Kebingungan, gelisah, takut, seperti kehilangan arah.
"Sekeras apapun hidup. Tetaplah hidup. Karena seseorang tidak akan pernah tahu dibagian mana dia merasa sangat berharga dan dianggap ada."
ON AIR 1___________________
#BERSAMBUNG
#ONAIR116 Juli 2024, Polin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ON AIR 1
HorrorKehilangan bukan hal yang asing dalam hidup manusia. Ia bisa datang kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja. Karena yang hadir akan pergi, dan yang ada akan hilang. Semuanya. Perempuan bernama Fana Laksajaya yang bekerja sebagai penyiar radio...