"I want to confess a sin."
•••
Teriakan terdengar dari gang sempit. Sepasang suami istri tengah memperdebatkan hal sepele. Sebuah sup ikan yang telah dingin. Sementara anak tunggal mereka manatap tidak minat sup ikan tersebut.
Mau sampai kapan mereka begini. Batin (Name) lelah. Matanya menelisik wajah orangtuanya. Ia menyayangi keduanya sama besar, tetapi (Name) juga bisa lelah. Sampai saat ini yang diperlihatkan keduanya hanyalah pertengkaran biasa. Hanya adu mulut— mungkin paling parah membanting barang sampai pecah. Dan (Name) akan selalu di sana, menatap bagaimana keluarganya perlahan hancur.
Dalam rumah sepetak itu hanya ada keributan. Furnitur di dalam rumah mulai dijual satu persatu oleh ibunya untuk menutupi utang. Sementara ayahnya sibuk bekerja menjadi buruh di pabrik rokok, ibunya bekerja sebagai penjahit. Gaji mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari dan membayar kebutuhan yang seperlunya saja.
Semua tampak baik-baik saja sampai ayahnya ditipu ratusan won oleh rekan kerjanya— berkata bahwa mereka akan membangun bisnis. Impian besar yang kosong. Keluarganya mengalami kejatuhan. Kedua orangtuanya berpikir menunjukkan kasih sayang itu cukup. Tidak perlu menutupi masalah keluarga di depan seorang anak yang usianya belum genap 18 tahun.
"Kau pikir aku tidak bekerja?! Aku juga berusaha menghidupi anak kita! (Name) masih butuh sekolah— setidaknya sampai lulus SMA. Seharusnya kau juga berpikir bahwa biaya sekolah itu tidak murah, kita mendapat keringanan juga aku bersyukur pada pihak sekolah!" argu Ibu setengah berteriak pada Ayah. Tubuhnya juga lelah, disempatkannya memasak untuk suami dan putrinya. Harusnya Ayah berterima kasih. Lanjut (Name) dari hati.
"Baik, baik! Aku tahu kau juga bekerja, kita sama-sama lelah. Tapi sambutlah aku dengan ramah! Aku ini suamimu!" balas Ayah tak mau kalah. Kurangnya komunikasi antara keduanya membuat hubungan mereka bertambah rumit. Ibu juga harusnya mengesampingkan rasa lelahnya, Ayah kan juga lelah. Beliau ingin diperhatikan juga. (Name) lanjut membatin.
Tidak memiliki pendirian memang. Begitulah (Name) terhadap keduanya. Tidak mengambil sisi siapapun, ia memahami keduanya.
"MINTA SAJA PADA JALANG YANG KAU AJAK KENCAN KEMARIN!"
"DIA BUKAN JALANG! DAN AKU TIDAK BERKENCAN!"
(Name) tersentak saat keduanya mulai membentak satu sama lain. Kali ini tentang wanita muda yang sering kali tertangkap basah bersama ayahnya. (Name) yang tahu dari awal itu tidak berusaha memberitahu ibunya, semakin sedikit yang ibunya tahu semakin baik. Akan tetapi mau serapih apapun mayat ditutupi, bangkainya akan tercium juga.
Ibunya tidak jauh berbeda sebenarnya. Ia sempat melihat ibunya merayu pemilik minimarket untuk segulung won. Menyedihkan. Meski begitu (Name) masih tidak melihat keburukan di antara keduanya. Ia masih menganggap mereka orangtua yang baik. Bagaimanapun juga merekalah yang membiayai hidupnya dari kecil. (Name) tahu cara berbalas budi.
Bonk!
Sebuah sendok melayang ke kepalanya saat ayahnya menggebrak meja.
"Terima kasih atas makanannya," bisik (Name). Ia beranjak keluar rumah, meninggalkan orangtuanya yang masih cekcok. Rumahnya berada di gang sempit. Pekarangan rumahnya hanya memuat sepeda yang biasa ia gunakan untuk ke sekolah. Kotak surat penuh dengan tagihan.
Tubuhnya terjatuh setelah keluar dari rumah itu. Ia merapat kakinya pada tubuhnya, memeluk erat keduanya. Dari luar masih terdengar suara keduanya berteriak dan memaki. Kepalanya menengadah ke langit— hanya terlihat sedikit karena tertutup atap di gang tersebut. "Aku harus bersyukur. Ini tidak seberapa, ibu telah bekerja keras membesarkanku... sendirian."
Sendirian...
Benar juga. (Name) teringat hanya ibunya lah yang ada di sampingnya. Ayahnya tidak pernah mengeluarkan uang untuknya. Kenapa ia merasa selama ini ayahnya berperan besar terhadap kehidupannya? Ayahnya memang ada untuk menghiburnya saat sedih. Hanya itu, bukan?
Ayahnya tidak pernah berperan lebih dari itu. Lalu mengapa ia bisa menyayangi ayahnya sedemikian rupa?
Apa karena ayah adalah cinta pertama anak gadisnya?
Klang!
Suara keramik pecah terdengar dari dalam, disusul teriakan ibunya. (Name) terkejut dan beranjak dari tempatnya. Ia memasuki rumah hanya untuk melihat ibunya tergeletak tak berdaya bersimbah darah di bagian kepala. Sementara ayahnya membelalakkan mata tak percaya. "(Name), Nak, ini bukan seperti—"
"Kau membunuh ibu!" Seketika darah (Name) mendidih. Perasaan marahnya memuncak hingga kepala. Ia menyayangi keduanya sama besar.
Ia menyayangi... keduanya.
TIDAK! (Name) hanya menyayangi ibunya. Ia mengambil garpu di meja makan. Lantas menatap ayahnya penuh amarah. Tangannya yang memegang garpu diangkat. Diarahkannya kepada sang ayah yang menatapnya tak percaya. "KAU MEMBUNUH IBUKU!"
Garpu tersebut melayang pada ayahnya. Matanya menggelap dan tubuhnya tidak terkontrol. Ia menusuk ayahnya berkali-kali di bagian perut. Darah mengucur dari perut ayahnya. Perlahan merembes ke pakaian dan menetes ke lantai. Di tariknya garpu tersebut setelah tusukan kelima.
(Name) tersadar dari pandangannya. Matanya yang sudah jernih kembali mendapati mayat ayahnya. "Ap- apa yang aku lakukan?"
Kakinya limbung ke belakang. Ia melihat ke tangannya yang kini dilumuri cairan merah pekat. Garpu yang digenggam dijatuhkan begitu saja. (Name) mundur beberapa langkah sebelum berlari keluar rumah.
Ia harus melapor pada seseorang. Tetapi kepada siapa?! Siapa yang akan mempercayai ucapannya? Ia merasa berdosa, ia telah berbuat kejahatan besar. Kepada siapa ia harus melapor? Kepada siapa ia harus berbicara?
Father Gabriel!
Beliau telah membantunya selama ini, beliau juga telah membantu semua orang selama ini. Akankah beliau mempercayainya?
Tanpa sadar kakinya telah sampai ke gereja besar di mana ia selalu berdoa dan memohon ampun. Hanya itu gereja terdekat dengan tempat tinggalnya, Gereja Kehormatan. (Name) segera berlari untuk membuka pintu berdaun ganda itu. Ia berlari tanpa menyadari siapa saja yang ada di gereja tersebut. Kakinya membawanya mendekat ke altar di amana Father Gabriel berdiri menatapnya tanpa ekspresi. "Nona (Name)."
Begitu menghadap, (Name) berlutut sebab lelah. "Aku ingin mengakui dosaku. Aku- aku tidak bermaksud membunuhnya!" Tangis pecah begitu lidahnya merasa kelu. Lehernya terasa tercekat tidak bisa melanjutkan ceritanya.
Tangannya yang berlumur darah ditunjukkan pada Father Gabriel. "Aku tidak bermaksud—" setiap katanya mulai melemah. Tubuhnya ambruk ke depan. Samar-samar (Name) mendengar namanya dipanggil. Entah siapa yang memanggilnya.
•o•
A/N
yahoo! first chapter-nya agak berat gak? abstraksi dulu, baru nanti kita masuk lore-nya (name). alright?
thank you yang udah mampir, stay tune!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pick Poison || Killer Peter
Fanfiction"Masih ingat saat kamu mengajakku kabur untuk menikah?" "Jangan salahkan aku, mereka berkata padaku untuk mengajakmu menikah." --- In which, the miscalculation bring her back to young again. And the good thing is, so does her lovely soon-to-be husba...