Chapter 8

221 32 5
                                    

Hesa sibuk, membuat Althaf jadi lebih sering di rumah minggu ini. Sesekali Jeje datang untuk menumpang tidur di rumahnya. Biasalah, anak itu punya ibu yang cerewet dan sangat suka mengadakan acara di rumah, hingga membuatnya kadang tidak betah dan memilih menginap di rumah Althaf atau Kavi.

Hari ini, Jeje dan Kavi datang setelah Althaf mengeluh terus-terusan di grup chat. Kavi datang dengan banyak makanan sedangkan Jeje memilih membawa pekerjaan rumahnya yang segunung.

"Bang, lo kapan mau baikan sama kak Hesa?" ujar jeje, tanpa menoleh dari latopnya.

Kavi dan Althaf yang mendengar kalimat itu lantas saling menatap.

"Siapa?" tanya yang paling tua.

Yang paling mudah mendengus sarkas. "elu lah."

"Lo berantem sama Hesa?" kening Althaf mengerut dalam, baru mengetahui informasi ini.

"Gak, ngaco nih Jeje."

"Dih? Kelihatan banget kali bang, kalo kalian berdua tuh lagi perang dingin sejak sebelum bang Al balik kesini."

"Sok tau lo cil!"

"Emang tau," ledek jeje sambi menjulurkan lidah. "Udahlah, ngapain di sembunyiin mulu sih? Gue gak enak liatnya."

"Iya," sambung Althaf. "Kalo ada masalah tuh di selesain, bukannya malah perang dingin. Lagian kenapa sih?"

Kavi hela nafasnya dengan panjang dan dalam, menguatkan asumsi Jeje dan Althaf tentang permasalahan dua orang itu. Kepalanya bersandar ke sofa, melepaskan toples kacang yang sejak tadi dia dekap. Gara-gara Jeje, dia jadi teringat lagi dengan permasalahannya bersama Hesa yang sebenarnya sudah ingin dia lupakan saja meski masih dongkol.

"Lo inget sama mantan gue yang namanya Kayana gak?" tanya Kavi yang serta merta mendapat anggukan kepala dari dua adiknya. Mereka tentu saja kenal, Kavi sering mengajak Kayana ngumpul bareng mereka waktu dulu masih pacaran.

"Kenapa? Lo mau balikan sama dia? Belum telat sih, baru setahun kan lo putus dari dia?"

Kavi menggeleng, "Dia tidur sama Hesa."

Pergerakan tangan Althaf yang sejak tadi sibuk mengambil keripik dari dalam toples langsung terhenti. Seolah ada magnet, kepalanya menoleh cepat ke arah Kavi.

"Hah?"

"Gila!" bisik Jeje, yang masih bisa fokus pada tugasnya. Diam-diam terkekeh pelan.

Hembusan nafas kasar Kavi keluarkan saat teringat hari dimana dia memergoki kekasih--mantannya di dalam kamar Hesa.

"Gue mau pinjem mobil, tapi Hesa biasanya jarang bangun pagi kan, jadi gue ke rumahnya tanpa ngabarin." Kavi menatap Althaf dengan senyum sumir. "Pacar gue make out sama sepupu gue sendiri, Al. Menurut lo, gimana perasaan gue waktu itu?"

Tidak tau. Althaf jelas tidak bisa mewakilkan perasaan Kavi. Mereka--dia, Jeje, Kavi dan Hesa sangat dekat sejak kecil. Pertengkaran mereka selama ini hanya karena masalah sepele yang berakhir cepat setelah di depan playstation. Setahun lalu saat Kavi menelponnya di jam empat pagi untuk curhat masalah hubungannya dengan Kayana berakhir, Kavi sama sekali tidak mengatakan apa-apa tentang ini.

"Terus?" Tidak ada kalimat lain yang bisa Althaf pikirkan selain itu. Dia terkejut--sangat.

Kavi mengedikan bahunya acuh. "Gue putus sama Kayana abis nonjok Hesa." Lalu terkekeh sarkas dengan mata mengawang. 'Tapi Hesa emng brengsek banget, ya. Dia beneran gak punya malu di depan gue."

"Emang udah sifatya kayak gitu. Ngaku homo cuma pengalihan isu, aslinya mah supaya fans dia gak tau kalo dia suka jajan dimana-mana." timpal Jeje yang sudah menutup laptopnya beberapa menit lalu, kini dia merebut toples keripik dari Althaf. "Sebagai orang yang paling dekat sama dia, gimana tanggapan anda pak Althaf?"

Yang disebut namanya menutupi keterkejutannnya dengan tawa. Bagaimana? Diantara "dimana-mana" yang disebut jeje tadi, dia masuk ke salah satunya.

"Gak tau, gue masih kaget."

"Sebenarnya dibilang kaget juga gak terlalu, karena kayak yang Jeje bilang tadi, Hesa emang tipe orang begitu. Tapi gak nyangka aja dia berani tiur sama cewek gue."

Hesa bisa tidur dengan siapa saja. Sebenarnya, Al juga tidak terlalu terkejut walau dia bari tau hal ini. Terlebih, dia dan Hesa tidak punya hubungan apa-apa.

"Kalo udah gini, gue sama kak Althaf gak bisa ikut campur," sahut Jeje lagi.

Yah, Al merasa tidak layak untuk bersuara di kondisi ini.

###

Evan memiliki satu adik laki-laki yang kini sudah berusia hampir 18 tahun, Gio panggilannya. Seorang anak yang ditinggal mati orangtuanya ketika belum mengerti apa-apa. Yang Gio tau sampai hari ini hanya bahwa sang kakak lah yang sudah bekerja keras untuk membesarkannya. Dia tidak kenal dengan nenek kakeknya, tidak akrab dengan om-tante serta sepupu-sepupunya. Gio hanya tau Evan dan Deira.

Bagi Gio yang sudah melewati banyak hal bersama Evan, pria itu adalah mutlak orang yang harus dia bayar kerja kerasnya. Gio ingin memberikan apapun untuk kakak yang sudah merawatnya. Namun hingga hari ini, rasanya Gio tidak bisa melakukan apa-apa selain terus saja menerima. Dia sekolah di sekolah internasional, dia selalu makan makanan enak, tidak pernah memakai pakaian lusuh, selalu mendapat uang jajan yang tidak kalah banyak dari teman-temannya di sekolah.

Itu semua kerja keras Evan.

Pria yang lebih tua 10 tahun darinya itu tidak pernah ingin Gio merasa berbeda dari anak lain. Dia ingin Gio lebih baik dalam menjalani pendidikan dan masa remajanya.

Hal yang membuat Gio kemudian berpikir bahwa hidup tidak pernah adil untuk siapapun, terlebih kakaknya.

Kenapa dia harus sekolah di tempat yang nyaman saat kakaknya bekerja siang malam? Kenapa dia selalu makan enak dan pakai pakaian yang bagus saat kakaknya banting tulang sejak dulu?

Kenapa harus dia yang selalu Evan pikirkan saat ada banyak hal di dalam rumah ini yang harus di tambal?

"Kak, aku gak mau kuliah, mau langsung cari kerja aja," ujar Gio malam itu usai menyantap makan malamnya.

"Kalo mau kerja, kamu harus kuliah dulu," sahut Evan yang tengah membantu Deira merangkai bunga pesanan untuk besok.

"Biaya kuliah gede, kak."

"Coba nanti kamu lewat jalur beasiswa."

"Kalo gak lolos?"

"Gak apa-apa, masih bisa kakak biayain kok kuliah kamu."

Decakan lidah Gio yang nyaring membuat kepala dua orang dewasa di depannya menoleh.

"Aku gak mau ngerepotin kakak lagi," sergah Gio.

"Siapa yang merasa di repotkan?" Evan mengerutkan kening. "Udah kewajiban kakak untuk menyekolahkan kamu dengan layak."

"Kewajiban ku juga buat bantuin kakak."

"Kewajiban kamu sekarang itu sekolah, Gio."

Deira menahan nafas sesaat ketika nada suara kedua orang di depannya mulai meninggi. Evan sangat jarang memarahi adiknya karena Gio juga bukan anak nakal. Pertengkaran diantara mereka jarang sekali terjadi. Evan yang jarang di rumah, dan Gio yang lebih memilih untuk memendam semuanya sendiri.

"Aku udah bisa ngurus diri sendiri, kak."

"Bagus kalo gitu. Kakak juga masih bisa biayain kuliah kamu."

"Kak--"

"Kamu harus jadi orang hebat, Gio. Kamu harus buktiin ke orang-orang itu kalo ayah sama ibu bukan orang tua yang gagal."

Gio menarik nafas. Kakaknya ini sangat baik, tidak pernah mencari masalah dengan siapapun, selalu bisa menghindari pertikaian. Kakaknya pria yang hebat, Gio sangat menghormatinya.

Tapi dia pendendam.

Terlebih pada keluarga besarnya.

"Kenapa harus aku?" tanya itu mungkin akan jadi satu dari banyak nya penyesalan Gio terhadap sang kakak. Pertanyaan yang tidak langsung dijawab dengan kata, melainkan tatapan lurus ke mata.

"Karena kakak udah gak bisa."

Evandaru Halim, bagaimanapun bentuknya, tetap kakak terbaik untuk Giovanni.

###

Bersambung...

Call You Mine | ChanhunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang