Chapter 9

232 34 21
                                    

Kemudian, dua kepala yang penuh itu saling bertemu. Duduk di depan meja dapur yang kosong. Althaf tidak ingin makan malam, jadi Evan tidak memesan apa-apa. Mereka hanya duduk bersisian, Al dengan segelas red wine, sedangkan Evan juga ikut menyesapnya karena di tawari. Evan jarang sekali minum minuman seperti ini, selain karena mahal, dia juga tidak terlalu suka alkohol.

Sudah jam 12 malam, keduanya belum ingin beranjak. Saling diam tanpa bertanya. Al tidak tau apa yang benar-benar dia pikirkan, entah Hesa atau kenyataan bahwa lelaki itu ternyata lebih brengsek dari yang dia duga. Althaf tidak ingin peduli, karena dia pun hanya sebatas sepupu dan teman tidur saja. Tapi, ulu hatinya terhantam cukup keras.

Selama ini, dia terlalu murah untuk Hesa.

"Nikah itu gimana mas?" tanyany tanpa konteks. Untuk mengisi kesunyian saja.

"Gimana apanya?" Seperti biasa, Evan akan selalu tersenyum menanggapi kerandoman Althaf.

"Yaa gimana? Apa bedanya sama yang belum nikah?"

"Beda lah, jadi ada yang ngurusin."

"Nikah itu buat ngurusin doang ya?"

Tidak. Evan tau makna pernikahan seperti apa meski ia juga masih terus belajar setiap hari. Dia mantap menikahi Deira waktu itu bukan semata-mata karena jatuh cinta. Tapi karena dia tau, Deira bisa dijadikan tempat untuk pulang. Deira adalah pereda lelahnya, obat sakitnya, matahari dalam ruang gelapnya. Deira merupakan seseorang yang ingin dia jadikan teman hidup.

"Nikah itu supaya kamu punya tujuan" jawab Evan akhirnya.

"Tujuan mas sekarang apa?"

Apa ya?

Mungkin mencarikan rumah yang lebih besar dan layak untuk Deira. Atau membelikannya sesuatu? Atau--

"Tujuan saya cuma Deira. Tapi Deira cukup gak ya sama saya?"

Pertanyaan yang tak seharusnya mengudara itu membuat kening Althaf berkerut. Dia tidak tau apa yang terjadi, tapi sepertinya rumah tangga Evan dan Deira memang tidak bisa disebut baik. Evan sendiri masih menatap kosong ke arah gelas wine yang kosong. Althaf bergerak, berinisiatif mengisi gelas itu kembali yang ternyata tidak ditolak sama sekali.

"Apa yang gak cukup dari mas Evan?" Sedangkan Althaf memilih berhenti menyesap sisa wine di gelasnya sendiri. Fokus pada jawaban-jawaban selanjutnya yang selalu ingin dia pertanyakan.

Kedua binar redup itu menatap Althaf, sedikit tidak fokus karena efek alkohol. Ini juga yang membuat Evan tidak terlalu suka minum, dia gampang sekali mabuk. Bahkan Althaf yang duduk di depannya terlihat agak berbeda. Lampu dapur yang dibiarkan menyala seolah tepat mengenai wajahnya yang selalu terlihat segar. Ada semu merah muda di pipi dan telinga Althaf, efek dingin dari AC. Juga jemarinya yang bermain di bibir gelas, menarik perhatian Evan.

Dia tidak pernah tau, Althaf semenarik ini untuk diperhatikan.

"Mas?" panggil Althaf, menarik kembali kewarasan Evan yang tanpa sadar malah menatapi anak majikannya itu.

"Apa tadi?" kerjapnya, menyesap kembali sisa wine di dalam gelas karena tenggorokannya terasa kering tiba-tiba.

"Aku tanya, apa yang gak cukup dari mas Evan buat mbak Deira?" ulang Althaf. Ia kini duduk miring menghadap Evan dengan sebelah tangan menyangga dagu.

"Kamu tau, kami belum punya anak sampai sekarang. Mungkin itu, yang gak cukup dari saya buat dia."

"Tapi kalian berdua gak bisa mengatur itu, kan? Anak itu kayak hadiah, kalo Tuhan belum ngasih, kalian juga gak bisa apa-apa."

"Tapi saya--"

"Aku yakin kok, mbak Deira gak pernah merasa kayak gitu."

Evan kembali menoleh, kali ini menatap tepat ke dalam bola mata Althaf yang jernih. Sungguh, Evan sebelumnya tidak pernah menemukan apa-apa pada Althaf. Dia hanya anak remaja pada umumnya bagi Evan. Tapi malam ini, anak remaja itu terlihat begitu gagah duduk di sampingnya yang terlihat lemah. Senyum Althaf seperti senja yang cerah, gerak tubuhnya seperti melodi harpa yang lembut. Kedua bola mata Althaf layaknya dandelion di musim semi. Terlihat rapuh, namun sebenarnya sangat tangguh.

Anak remaja ini, punya daya tarik yang tidak biasa.

"You're enough, mas," katanya.

Berbeda dengan Deira yang pasti akan berkata, "Gak apa-apa, kita bisa usaha lagi."

Dei, buat kamu udah secukup apa aku?

"Mas Evan bisa istirahat kok kalo capek. Mas bisa pergi jalan-jalan sendiri, atau makan makanan enak tanpa harus mikirin apa-apa. Kita emang harus usaha terus buat apa yang kita mau, tapi merasa cukup juga perlu. Hari ini, kalo udah selesai sama satu masalah, ya udah, cukup. Sisanya, besok lagi."

Evan tidak ingin istrinya merasa kekurangan. Dia tidak ingin adiknya merasa lebih banyak kehilangan. Dia ingin menjadi cukup untuk mereka. Tapi sampai mana?

"Mas Evan, hari ini udah cukup kok."

Sejak kapan anak remaja di depannya ini jadi lebih menawan? Dengan kalimat yang mungkin dia sendiri tidak begitu paham, Althaf dengan percaya diri mengucapkannya. Dia tersenyum seolah memang sudah tidak ada lagi yang perlu di khawatirkan hari ini. Seolah, inilah jam tidurnya. Dia hanya perlu gosok gigi, cuci tangan dan kaki, lalu berbaring nyaman diatas permadani.

"Cantik."

"Hm?" Althaf bergumam bingung, mendekatkan telinganya ke arah Evan. "Kenapa mas?"

Namun tidak adanya sahutan membuat Althaf kembali menoleh untuk memastikan bahwa Evan tidak jatuh pingsan di sebelahnya karena kebanyakan minum. Karena gerakannya yang mendekat tadi, kini wajah mereka berdua benar-benar hanya berjarak beberapa senti. Evan kembali mematut diri dalam dua bola mata Althaf yang agak coklat. Ada dirinya disana, terlihat payah dan menyedihkan. Namun kedua mata itu tidak sedikitpun redup. Malah semakin berbinar di terpa cahaya lampu dapur.

Tanpa sadar, sebelah tangan Evan bergerak untuk menyingkirkan poni rambut Althaf yang jatuh ke atas matanya. Seolah tidak rela dua bola mata itu tertutupi apapun.

Sedangkan Althaf terkesiap, jantungnya berdegup kencang tiba-tiba. Dia tau Evan memang tampan, namun saat dilihat dalan jarak sedekat ini, Evan terlihat jauh lebih tampan. Bibir penuhnya yang basah sisa menyesap wine, berkilat menarik ujung matanya untuk melirik. Aroma parfumnya yang manis, serta mata sayunya yang sejak tadi menatap, buat Althaf akhirnya mengakui satu hal.

Dia menyukai pria ini.

Sejak pertama kali bertemu.

"Mas," panggilnya.

"Hm?" gumam Evan karena tenggorokannya kembali terasa panas dan kering.

"Mas udah mabuk kan? Dua tambah dua berapa?"

Alih-alih menjawab, Evan malah miringkan kepala. Bingung dengan pertanyaan random Althaf. Namun posisi itu malah dimanfaatkan oleh Althaf yang segera mendekat. Mengecup ujung bibir Evan yang terasa manis, sisa dari wine.

Hanya kecupan singkat dan buru-buru. Althaf segera menarik diri lagi, mengetukkan ujung dahinya ke meja.

"Sialan!" umpatnya pelan.

"Al--"

"Mas maaf. Aku gak bermaksud.. Maksdunya bukan gitu. Maaf mas. Aduh, aku kebawa suasana. Pukul aja kepalaku kalo mas marah." Althaf menunduk, menyerahkan ujung tempurung kepalanya pada keputusan Evan. Dia sudah memejamkan mata, bersiap menerima apapun yang akan dia terima.

Tapi jari-jari tangan menarik dagunya untuk mendongak, memaksa kedua matanya terbuka dan berhadapan lagi dengan mata sayu Evan. Belum sempat mencerna apa yang terjadi, dagunya telah ditarik lebih lembut lagi hingga sedikit terbuka dan di detik berikutnya, Althaf bisa rasakan sesuatu yang lebih hangat menyapa bibirnya.

Ini lebih dari kecupan sekilas tadi. Althaf bahkan masih membuka mata ketika merasakan bibirnya di pagut lebih intens lagi. Althaf tau ini bukan sebuah kecupan sepersekian detik saja saat dia memilih untuk membuka mulutnya, menyambut ciuman Evan yang lembut, namun juga terkesan buru-buru dan berantakan.

Althaf tau, besok akan ada yang berubah dari biasanya.

###

Bersambung...

Call You Mine | ChanhunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang