Chapter 6

225 34 7
                                    

"Loh? Pulang cepet mas?"

Deira masuk dari pintu belakang, membawa ember sisa menyiram kebun kecil miliknya. Masih jam empat sore dan sang suami sudah kembali ke rumah. Sejak Evan kebagian shift malam, pria itu hanya akan ada di rumah dari jam 7 sampai jam 10 pagi saja. Sisanya, Deira hanya berdua dengan Gio di rumah.

"Iya, Althaf hari ini nginep di rumah ayahnya. Jadi besok aku juga libur." Evan yang disambut dengan senyum, membalas serupa. Diraihnya sekilas tubuh sang istri guna mengecup pipi putih kenyal itu. "Jadi tadi aku beli tiket nonton, besok kita ngedate ya." Lalu tersenyum lebar yang menular pada Deira.

"Ayo! Udah lama gak jalan berdua sama kamu." Deira balas mengecup balik bibir suaminya. "Malam ini mau makan apa?"

"Apa aja. Semua masakan kamu enak."

"Gombal." Deira memukul pelan bahu Evan sebelum melepas pelukannya. "Ya udah, mandi dulu sana."

Bukannya segera menuruti perintah Deira, Evan malah celingak celinguk.

"Gio mana?" tanyanya saat menemukan kamar sang adik kosong.

"Tadi keluar, katanya mau kerja kelompok." Deira di dapur mulai menyiapkan peralatan masaknya. "Mukanya asem banget tau, kamu apain lagi mas?"

Evan yang dituduh segera menggelengkan kepala. "Aku diem loh sayang," protesnya. "Muka dia emang udah gitu sejak lahir."

"Sembarangan! Sana ih, mandi! Kamu bau."

"Iya nyonya. Besok ngedate ya." Evan mengedipkan mata sebelum bergegas ke kamar mandi, undang kekehan dan gelengan kepala dari Deira.

Besok, Deira mau pakai baju paling bagus yang dia punya.

###

"Aku gak mau pa!" Althaf hampir-hampir mendecakkan lidahnya di hadapan sang papa yang hari ini lagi-lagi memintanya bertemu dengan salah satu anak dari kolega beliau. "Lagian papa kenapa sih? Aku baru 20 tahun loh, kenapa buru-buru banget mau jodohin aku? Nanti kalo aku udah 30 tahun belum nikah, baru tuh papa bikin ajang pencarian istri."

Si kepala keluarga hanya menghela nafas melihat anak sematawayang kesayangannya sudah mencak-mencak di sofa dengan wajah yang dilipat seribu. Bagi Edgar, wajah Althaf masih saja menggemaskan, sama seperti waktu dia marah-marah karena kepala Ironman nya lepas sewaktu berusia 4 tahun.

"Papa gak jodohin, cuma nyuruh kamu kenalan," sahut Edgar seraya menyesap sisa kopi di dalam gelasnya. Althaf sudah duduk di sofa depan tv sedangkan Edgar sendiri memantau dari dapur.

"Kalo nyuruh kenalan mah sekali-sekali doang, ini udah berkali-kali, beda-beda orang pula." Althaf seketika melotot ketika menyadari perkataannya. "Papa mau jual aku buat kerjasama perusahaan ya? Terus nanti aku dipaksa punya anak cowok biar perusahaannya gak jatuh ke siapa-siapa." Lalu menutup mulutnya dengan dramatis.

Edgar meletakkan gelas kosong miliknya ke wastafel sebelum melangkah mendekati Althaf yang sudah merengek membayangkan hal itu beneran terjadi di hidupnya.

"Jangan kebanyakan netflix makanya," kata Edgar sambil sedikit menoyor kepala Althaf. "Papa bisa di gentayangi mama kalo jual kamu."

Althaf kembali dengan ekspresi jengkel di wajahnya. "Ya, terus kenapa? Aku masih mau fokus kuliah, mau cari banyak temen biar banyak relasi juga, mau seneng-seneng dulu lah. Papa kayak gak pernah umur 20 tahun aja."

Suara televisi yang menayangkan kartun chibi maruko-chan kesukaan Althaf menggema ke seluruh ruang tengah rumah mewah itu. Althaf kembali fokus kesana, tidak menyadari bahwa pertanyaannya tidak langsung mendapat jawaban. Edgar menatap Althaf dengan sulit, dengan beribu kalimat yang ingin sekali keluar namun masih tertahan di tenggorokan. Lalu sebuah pigura di sudut ruangan mengalihkan perhatiannya.

Call You Mine | ChanhunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang