Chapter 11

212 18 25
                                    

Perihal tak bisa lupa, Evan juga mengakui hal serupa. Dia hanya berusaha melupakan kejadian malam itu agar bisa bekerja seperti biasa. Dia tidak pernah suka mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan. Namun ternyata dia kewalahan karena bertemu Althaf setiap hari. Evan melakukan pekerjaan rumah, berkebun bahkan memperbaiki pipa air guna mengalihkan perasaannya.

Di rumah, dia juga banyak mengobrol dengan Deira, mengajak istrinya itu jalan-jalan dan menghabiskan banyak waktu berdua.

Dia pikir, hanya dia dan semuanya akan cepat berlalu. Tapi kejujuran Althaf, membuat isi kepalanya jadi kacau balau. Pertahanan dirinya runtuh seketika. Evan dipaksa menyerah oleh pesona lelaki ini.

"Mas," panggilan itu membuat Evan lantas menunduk, menemukan wajah Althaf yang masih saja merona. "Laper gak?"

"Kan kamu tadi yang nyuruh bi Mirna gak usah kesini."

"Kita pesen aja." Althaf bangkit dari pembaringan, menunjukkan badan bagian atasnya yang sudah tidak mengenakan apa-apa, juga noktah merah yang berhamburan dimana-mana.

Evan menarik nafas dengan berat. Ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam dadanya dengan sangat keras. Mereka tidak melakukan apa-apa, tidak sejauh itu. Hanya berpindah tempat ke kamar Althaf, bercumbu dengan hebat, lalu Evan agak kebablasan menggigit leher hingga dada Althaf.

Hanya itu.

Hanya?

Evan memejamkan matanya dengan erat, menghalau bayang-bayang wajah Deira yang selalu tersenyum cantik saat menyambut kepulangannya.

"Kalo gak bisa ngasih keturunan buat anakku, pulangin aja dia Van. Aku mau cariin Deira pasangan yang bisa ngasih dia keturunan."

Althaf tersentak kaget ketika sepasang lengan besar Evan melingkari perutnya dan menarik tubuhnya hingga kembali jatuh ke atas kasur.

"Tidur aja, ngantuk," gumam Evan dengan suara yang begitu dalam, seolah ada yang menghalangi pernafasannya.

Althaf tidak ingin bertanya, dia biarkan Evan merengkuh erat tubuhnya sampai mereka berdua ketiduran siang itu.

Ketika bangun, matahari sudah hampir jatuh ke peraduan, bayang-bayang lembayung senja masuk melalui celah jendela. Althaf mencari tubuh hangat itu di sampingnya, namun sudah tidak ada.

Evan pulang entah jam berapa.

###

Duk!

"Aduh! Punya dendam apa sih lo sama gue?" rutuk Althaf pada Kavi yang baru saja datang.

"Gue gemes liat kepala bulat lo," sahut Kavi sebelum mengedarkan pandangan ke penjuru rumah. "Sendirian?"

"Iya lah, mau sama siapa lagi?"

"Biasanya ada mas Evan."

"Pulang dia, udah gak ada kerjaan juga."

"Hmmm," gumam Kavi, niatnya mau mengolok-olok Althaf sampai ketika matanya melotot. "Al!" serunya, sekali lagi memukul kepala yang lebih muda.

"Anjir kap! Gue bisa tolol kalo di pukul mulu." Althaf balas memukul bahu Kavi keras-keras.

"Gak perlu gue pukul juga udah tolol. Tuh!" tunjuk Kavi pada leher Althaf. "Abis digigit nyamuk segede apa lo hah?"

Althaf mengelus lehernya dan menyengir lebar. "Hehe."

"Jangan hehe!"

"Biasalah, gue dapet mainan baru."

"Dih?" Kavi menggeleng tak habis pikir, sangat mengerti mainan apa yang dimaksud Althaf karena pergaulan anak itu sudah menjadi makanan hari-harinya.

Yang Kavi tidak tau hanya bahwa Althaf melakukannya dengan laki-laki.

Call You Mine | ChanhunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang