Chapter 2

217 36 5
                                    

Mendung tapi tak hujan, begitu kondisi langit Jakarta hari ini. Althaf bangun agak siang karena hari ini tidak ada rencana mau kemana-mana. Tiga hari kemarin dia sudah puas diajak tiga sepupunya jalan-jalan. Papa juga datang akhirnya tadi malam, bawakan makanan kesukaannya. Mereka habiskan waktu di teras belakang sambil bercerita kehidupan masing-masing selama dua tahun ini.

Saat menuruni tangga, bisa Althaf lihat Evan yang berdiri menjulang di samping kabinet dapur. Bahu kanannya bersandar di tembok sedang sebelah tangan memegang gelas kopi. Evan memang selalu datang pagi ke rumah. Sekedar mengecek keadaan jika hari itu dia memang tidak ada kerjaan. Althaf juga mempersilahkan semua pekerja di rumah menggunakan dapurnya dan memakan apa saja yang tersaji disana. Dia tinggal sendirian, kadang tidak tega jika melihat makanan yang terbuang. Bi Mirna seringkali memasak di dapur dan Evan akan jadi orang yang rajin menyajikan aroma kopi di rumahnya.

Althaf tidak terlalu suka kopi hitam. Dia lebih suka latte atau minuman manis lain.

"Masih pagi, mas. Udah ngelamun," celetuknya yang membuat bahu tegap pria itu agak tersentak.

Evan berbalik dan menyengir canggung. Sisa kopi hitam di tangan ia tenggak habis dan setelah itu mencuci gelasnya.

"Hari ini mau kemana?" tanya Evan, basa-basi. Sekalian memastikan apakah hari ini dia bisa pulang cepat atau tidak.

"Sebenarnya gak mau kemana-mana. Tapi kayaknya Hesa sama Kapi mau kesini." Lalu Althaf sedikit berbisik, "mau party dikit."

Evan tersenyum maklum. Umuran mereka memang masih senang menyibukkan diri dengan hal duniawi. Wajar. Walaupun Evan sendiri tidak terbiasa dengan hal itu. Dia lahir di keluarga yang tidak terlalu berkecukupan, masa remajanya dihabiskan dengan sekolah dan mencari uang tambahan. Dia terbiasa bekerja sejak dulu. Apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal saat adiknya, Gio masih berusia 5 tahun.

Bersenang-senang itu hanya bonus dalam sudut pandang Evan. Kadang dia bertemu dengan teman sebaya dan pergi ke tempat hiburan, tapi dia sendiri tidak pernah melewati batas. Bagaimanapun, masih ada Gio yang sangat perlu dia perhatikan. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Deira, wanita baik hati yang selalu mendukung apapun yang dia kerjakan. Mereka menikah empat tahun lalu.

Empat tahun.

Evan tanpa sadar menghela nafas, memancing tanda tanya imajiner di kepala Althaf.

"Kenapa mas?"

"Eh? Nggak apa-apa." Evan buru-buru mengeringkan tangannya dan berbalik menghadap sang majikan. "Tadi kenapa?"

"Itu, mas Evan bisa pulang cepet hari ini. Bi Mirna juga udah aku kasih tau gak usah datang. Tapi nanti sebelum pulang tolong betulin lampu teras ya, mas. Tadi malam ngedip-ngedip mulu."

"Oh, oke. Kalo gitu saya perbaiki sekarang aja."

"Ya udah."

Ketika ingin berjalan keluar, Evan teringat sesuatu dan kembali memutar tubuhnya. Melihat Althaf yang sedang menguap di sofa ruang tengah.

"Kamu mau sarapan apa? Biar saya beliin."

Althaf juga akhirnya tersadar kalau dia butuh sarapan pagi ini. Karena bi Mirna hari ini tidak ada, jadi sarapan juga tidak ada. Sedangkan dia tidak biasa makan roti.

"Nasi uduk boleh deh. Beli dua sekalian sama mas Evan."

"Saya udah sarapan tadi di rumah."

Althaf menguap sekali lagi. Cuaca dingin membuatnya ingin kembali masuk dalam selimut.

"Enaknya yang udah punya istri," cibirnya.

Evan hanya tersenyum sebelum kemudian ijin keluar untuk membeli sarapan.

Call You Mine | ChanhunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang