Evan terbangun dengan perasaan berat. Kepalanya masih agak pusing sisa efek alkohol semalam, pun badannya terasa tidak nyaman. Dilihatnya sekeliling dan mendapati dirinya tertidur di ruang tengah. Hal itu membuatnya sedikit lega.
Semalam, meski mabuk dan ingatannya berkabut, Evan masih bisa merasakan sensasi menyengat itu di bibir. Sebuah keputusan mendadak, sepihak dan ugal-ugalan yang dia ambil tanpa memikirkan hari selanjutnya. Evan mengacak pelan surainya, menarik nafas dalam-dalam mengingat kesalahan tadi malam.
"Fuck!" umpatnya pelan.
"Baru kali ini denger mas Evan mengumpat."
Suara itu lantas menarik kepala Evan untuk menoleh ke arah tangga. Althaf masih dengan setelan tidurnya menuruni tangga. Evan gegas beranjak dari sofa entah karena apa. Mungkin canggung, mungkin merasa bersalah.
Atau hanya sekedar malu.
Opsi terakhir membuat Althaf mengulum senyum. Selama bekerja disini, Evan selalu terlihat dewasa dan tanpa celah. Namun pagi ini, melihat Evan yang kebingungan mengatur ekspresi membuat Althaf kesenangan.
"Tadi aku udah orderin sarapan," kata Althaf, mengambil alih dapur untuk membuat segelas teh hangat. "Mas Evan mau kopi?"
"Gak usah, saya--"
"Duduk dulu aja sambil nunggu makanannya dateng."
Evan gelagapan, tidak tau harus menatap kemana asalkan jangan pada Althaf yang kini membelakanginya. Ingatan tentang tadi malam tiba-tiba terasa sangat jelas saat akhirnya Evan melihat wajah tampan lelaki muda itu.
Althaf selesai dengan segelas teh, berniat duduk di ruang tengah sambil menonton acara tv pagi. Namun melihat Evan yang masih berdiri kikuk di ujung sofa, Althaf tidak bisa mengabaikannya. Jadi dia mendekat, berdiri tepat di depan tubuh menjulang Evan.
"Soal tadi malam--"
"Maaf," potong Evan cepat. "Itu--"
"I know, mas Evan cuma anggap itu kesalahan karena mabuk kan?" Althaf tersenyum gamang. Dia melipat tangan di dada, masih mengintimidasi Evan.
"Saya mabuk," ucap Evan, kehilangan apa-apa yang ingin dia utarakan. Berhadapan dengan Althaf dengan aroma manis yang menguar dari tubuh lelaki itu membuat otak Evan yang masih diserang sisa-sisa alkohol tadi malam jadi sulit difungsikan.
Dia, bagaimanapun menghirup banyak aroma Althaf tadi malam.
"Gak masalah, aku gak besar-besarin hal ini juga kok," ucap Althaf, membuat bahu Evan agak ringan. "Atau mas Evan takut sama hal lain?"
Pertanyaan itu menohok, menghantam ulu hati Evan yang sejak tadi sudah memikirkan harus meminta maaf dengan cara apa pada Deira. Dia bahkan tidak berani menyalakan hp yang pasti sudah penuh oleh chat dari sang istri.
Althaf menarik satu sudut bibirnya saat menemukan kilat kekecewaan di mata Evan. Pria itu masih enggan menatapnya dan Althaf tidak suka. Jadi dia letakkan cangkir teh ke atas meja sebelum menepuk pundak Evan cukup kencang, memaksa yang lebih tua untuk menatapnya.
"Mbak Deira gak akan tau. Aku pinter jaga rahasia kok." Lalu tersenyum manis seperti biasa, menyudahi intimidasinya. Suara pengirim makanan terdengar dari arah depan, menggegaskan kedua langkah Evan menjauh dari sana.
Evan bukan amatiran, dia tau seberapa berbahaya Althaf jika terus diladeni.
###
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Evan bekerja dan Althaf yang beberapa hari ini terlihat lebih sering berada di rumah. Hesa sedang pergi keluar negeri, Jeje sibuk sekolah dan Kavi dengan urusan kerjanya. Althaf sering uring-uringan hingga beberapa kali terlihat bermain dengan anak tetangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Call You Mine | Chanhun
Hayran KurguJangan simpan seseorang di lagu. Lagunya udah selesai, perasaannya belum. Jangan simpan seseorang di dalam doa. Namanya ke langit, cintanya jatuh berantakan ke bumi.