Chapter 03

440 75 9
                                    

Jeno memberontak ketika diseret paksa oleh dua orang pria bertubuh besar. Tidak tahu Jeno ingin dibawa ke mana, yang jelas saat Jeno sedang tidur, tiba-tiba dia ditarik keluar dari penjara bawah tanah secara tidak baik-baik. Tentu hal itu membuat Jeno berusaha mempertahankan dirinya, meskipun usahanya percuma.

Jeno dibuat terkejut setengah mampus saat menyadari ke mana dirinya dibawa oleh kedua orang pria besar itu. Aula eksekusi. Tentu Jeno tidak bodoh, karena di rumahnya pun ada ruang eksekusi bagi para mata-mata, pelanggar hingga pemberontak.

Mereka akan dimintai keterangan, dipaksa berkata sejujur-jujurnya, tapi tetap akan mendapatkan siksaan sebagai bayaran atas perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan. Hukuman paling berat diberikan kepada mereka yang dicap sebagai mata-mata. Semua itu disaksikan langsung oleh anggota keluarga tetua dan pengawal.

Jeno meneguk ludahnya kasar. Melihat pria paruh baya yang duduk di singgasana menatapnya penuh permusuhan begitu mengetahui dirinya berasal dari kubu musuh, putranya malahan.

Tubuh kurus Jeno didorong kasar sampai membuatnya hampir mencium lantai. Jeno menilik tajam oleh perlakuan kurang sopan dua orang pengawal itu.

"Keputusan sudah dibuat. Bunuh anak ini."

Sontak kedua kelopak mata Jeno membulat panik. Ia akan mati secepat itu? Oh, tidak, demi Moon Goddess, Jeno belum menemukan matenya! Ia juga belum meminta maaf kepada ayah dan kakak sulungnya karena pasti saat ini mereka tengah mencemaskannya.

"T-Tuan, mohon maafkan saya, tapi saya sungguh tidak sadar bisa sampai di wilayah Anda. Saya hanya ingin menikmati suasana di tempat itu, tidak tahu kalau telah memasuki area perbatasan yang tidak seharusnya dimasuki oleh sembarangan orang. Saya sungguh minta maaf sebesar-besarnya. Ampuni saya, Tuan!"

Jeno bersujud beberapa kali sambil menyatukan kedua tangannya di atas kepala, berharap dikasihani lalu dikepaskan agar Ia bisa pulang menemui ayah dan kakak-kakaknya. Ia belum siap menyusul ibundanya ke surga.

"Tapi kamu telah mencuri tanaman khusus dari wilayah kami. Itu termasuk perbuatan kejahatan yang tak pantas diampuni. Apa Donghae mengirim putra bungsunya untuk memata-matai desa Txder? Mereka kekurangan orang ya sampai mengirimmu ke mari?" Seorang pemuda bersurai pirang mencemooh dari sebelah singgasana pemimpin desa Txder.

Jeno yang merasa dihina langsung menyalangkan tatapannya. Pemuda itu tertawa mengejek, menjulurkan lidah meledek Jeno.

"Sudahlah, Kai," tegur sang tetua, menghentikan aksi si pemuda bernama Kai itu. "Dan kamu, apa yang sebenarnya kamu dan ayahmu rencanakan?" Kini sang tetua beralih ke Jeno.

"Saya berani bersumpah, saya dan ayah saya tidak merencanakan apapun. Kejadian ini murni ketidaksengajaan. Awalnya saya berjalan-jalan dengan kakak saya, tapi saya kabur karena ingin pergi sendiri menikmati kebebasan. Hari ini saya berulang tahun! Saya tidak pernah pergi keluar dan baru pertama kali ini saya diizinkan keluar dari rumah oleh ayah saya. Saya sungguh tidak tahu kalau jalan yang saya ambil justru ke area perbatasan desa Txder dengan desa Archer. Saya minta maaf atas kelancangan akibat ketidaktahuan saya."

Tetua desa mengangguk-angguk oleh penjelasan Jeno. Dia diam beberapa detik. Dari ekspresinya seolah tengah berpikir. "Baiklah, saya menerima alasanmu. Tapi kamu tetap mendapatkan hukuman untuk mengganti bunga yang kamu cabut."

Jeno yang sempat tersenyum oleh kalimat awal sang tetua, seketika melunturkan senyumannya. Itu termasuk kabar baik atau kabar buruk?

"Ap-Apa yang bisa saya lakukan?"

Pria paruh baya itu menyeringai tipis. "Menikahlah dengan putraku."

Jeno terdiam. Menikah dengan putra pria itu? Seketika Jeno melirik pemuda bersurai pirang yang juga tengah menatapnya. Yang benar saja, Jeno akan menikah dengan si pirang menyebalkan itu?

"Bukan Kai, tapi putra sulungku, Choi Soobin. Dia ada di belakangmu."

Jeno lekas menoleh ke belakang, dan wala. Untuk kesekian kalinya netra sipitnya membola kaget mengetahui sosok yang duduk tak jauh darinya sambil memandang dingin ke arahnya.

 Untuk kesekian kalinya netra sipitnya membola kaget mengetahui sosok yang duduk tak jauh darinya sambil memandang dingin ke arahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Orang itu yang sempat memperlakukannya dengan kasar. Dan dia bukan seorang pengawal, tapi putra sulung tetua desa Txder?!

Oh, God. Rasanya kepala Jeno ingin meledak.

"Kamu tidak bisa ke mana-mana sebelum melakukan resepsi pernikahan dengan putraku. Soobin, antarkanlah anak ini ke kamarnya dan minta bibi Min untuk memperlayak anak ini. Nanti malam kita gelar acaranya. Kai, bantu ayah menulis surat untuk orang tua anak ini."

"Baik, Ayah." Kedua kakak beradik itu mulai melakukan tugas masing-masing.

Pemuda bernama Soobin itu mengulurkan tangannya. Sejenak Jeno hanya menatap telapak tangan Soobin dalam keterdiaman. Hal itu membuat Soobin langsung meraih pergelangan Jeno dan ditariknya berdiri.

Jeno meringis pelan, lantas memasang ekspresi marah. "Bisakah kamu berperilaku sedikit lebih lembut? Ini sakit asal kamu tahu!" protesnya tak terima. Namun, Soobin hanya diam tak menanggapi. Semakin membuat Jeno uring-uringan sendiri dibuatnya.

Sungguhkah pemuda ini yang akan menjadi calon suaminya nanti malam?

Tapi tunggu, mengapa Jeno berpikiran seperti itu? Tidak, tidak, tidak, Jeno belum memutuskan! Ia bahkan tak sudi!

Jeno yakin pasti ayah dan kakak-kakaknya akan murka setelah mengetahui hal ini.

Someone, help Jeno!

....

Gaje banget, maap ygy😌
Jangan lupa vote, minimal tinggalinlah jejak kalian. Makasih🙂

PembatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang