Chapter 1

517 9 0
                                    


Bagian luar ruang klub itu terlihat seperti klub-klub pada umumnya: hanya sebidang pintu kaca buram dengan kosen dan handel dari logam. Tidak ada poster promosi yang berjajar-jajar di dinding sebelahnya, tidak ada plang nama untuk mempermudah identifikasi, tidak ada kertas berisi jadwal yang ditempel di permukaan pintu.

Kesan pertama yang didapatkan Gun dari Kissing Club, alih-alih persembunyian, adalah inferioritas.

Tangan kirinya yang bebas terangkat ke tengkuk, mengusap-usapnya sedikit. Dia sudah berkeringat lagi; siang ini matahari bersinar lebih terik dari biasanya, plus Gun menghabiskan dua jam sendiri menjelajahi bagian kampus yang belum sempat dijamahnya demi menemukan tempat ini. Berleha-leha di bawah AC ruangan pasti menyenangkan. Dia akan menjadikan itu sebagai suntikan keberanian terakhir untuk membuka pintu.

Maka, dengan tangan yang sama dia menurunkan handel pintu, kemudian mendorongnya ke arah dalam.

"Siang," Gun bergumam sembari mengedarkan pandangan ke seputar ruangan, mencari seseorang yang mungkin saja berkenan membalas sapaannya. Nihil. Ruangan itu kosong. Gun mundur selangkah dan mengamat-amati nomor ruangan yang berada di atas pintu, memastikan dia memang berada di tempat yang benar.

Perlahan Gun menutup pintu lagi, dengan lembut, entah kenapa merasa lebih baik jika dia berpura-pura tidak pernah mencoba masuk. Gun lantas memutar tumit dan menyandarkan punggung ke dinding sebelah pintu, membuka pesan yang mampir ke kotak masuk surelnya tadi malam.

'Selamat datang di Kissing Club! Pertemuan rutin akan dilakukan Rabu siang, 8 Juli, pukul 14.00. Kami nantikan kedatangan kalian!'

Gun orang yang tepat waktu; jarum jam seakan berdetak bersama irama jantungnya di balik tulang rusuk, sehingga tak pelak kegelisahan mulai menyergapnya. Apakah ini prank? Seseorang bakal keluar dari balik tempat sampah dan bersorak bahwa dia sudah tertipu? Gun menggulung layar ke bawah dengan hati-hati menggunakan telunjuk, akhirnya menemukan informasi narahubung di bagian akhir surel.

Tay Tawan. Aneh. Mereka juga mencatumkan nama yang sama sebagai ketua klub. Mana ada ketua klub yang juga merangkap narahubung, memangnya mereka semiskin apa? Masih sambil bertanya-tanya, Gun menyalin sederet angka itu dan menempelnya ke kolom untuk ditelepon.

Bicara soal miskin, adjektiva itu tidak dapat ditemukan dalam ruangan yang sempat dimasuki Gun selama dua detik. Universitas tidak mungkin mendanai satu set sofa, televisi, serta lemari es mini begitu saja tanpa dibarter prestasi membanggakan, dan Kissing Club akan menjadi klub terakhir yang dapat menyumbangkan prestasi. Atau mungkin mereka, berkat kemiskinan itu, berani menilap beberapa furnitur dari ruang klub lain?

"Hei, anak baru di situ!"

Terlalu lama dilenakan oleh keheningan membuat Gun terkejut mendengar gema suara yang berasal dari ujung lorong. Dia mengembalikan pijakan ke kedua kaki dan memberi salam pada lelaki berkulit sawo matang yang menghampirinya sambil tersenyum lebar.

"Gun Atthaphan?"

Meski tidak mengerti bagaimana lelaki itu bisa tahu namanya, Gun tetap mengangguk. Menjadi mahasiswa baru berarti memangkas sebagian kebebasan berbicara—Gun sudah mempelajarinya dengan cara yang lumayan brutal selama masa orientasi.

"Aku Tay Tawan, ketua klub." Dari dekat, senyum lelaki itu kelihatan jauh lebih menyilaukan. Entah tulus atau tidak, yang jelas enak dipandang. Dia tipe yang cocok sekali jika tersenyum karena semua fitur wajahnya ikut tersenyum bersamanya: kerutan di ujung mata, pipi yang terangkat tinggi, bahkan gigi-giginya. "Kalau kau berada di sini, berarti kau sudah dapat surelnya, kan? Terima kasih sudah bersedia datang ke pertemuan rutin kita."

The Kissing ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang