Chapter 15

78 5 0
                                    


Gun masuk ke ruang klub yang kosong, lalu duduk di sofa. AC baru saja dinyalakannya, jadi udara masih terasa pengap dan samar-samar berbau debu. Dia terdiam sejenak, melepas cangklongan tas, kemudian terdiam lagi.

Memang betul. Semalam dia pasti terlalu terbawa emosi sampai-sampai menganggap namanya sendiri yang terlontar dari bibir Off sebagai sesuatu yang istimewa. Secara retrospektif, pikiran itu begitu konyol dan tidak rasional, nyaris cengeng. Bolehlah dia gembira telah naik tingkat dari 'anak baru' menjadi 'Gun', tapi kegembiraannya kemarin terkesan melampaui batas. Untung saja mereka sekadar bertelepon, jadi tidak ada yang menyaksikan emosi Gun yang tidak bisa dikontrol.

Nah, satu masalah telah teratasi. Sekarang mengenai jantungnya yang tidak mau berhenti berderap kencang, ini adalah masalah yang sama sekali berbeda.

"Kau benar-benar tepat waktu," sapa Off, dia membuka pintu terlalu lembut hingga Gun tidak menyadarinya—atau pikiran dan degup jantungnya saja yang terlalu lantang. Ketika dia menoleh ke belakang, Off sedang berjalan sambil mengecek arloji. "Ini kan masih pukul dua belas lewat tiga. Jangan bilang kau masuk pukul dua belas tepat."

Gun mencengir. Tadinya degup jantung itu terasa menyesakkan, membuatnya klaustrofobia, tapi kini gemanya menimbulkan gelenyar menyenangkan di perut dan ujung-ujung jarinya.

"Itu satu-satunya yang bisa kubanggakan dari diriku. Bisa dibilang bakat."

Off ikut tersenyum. Lelaki itu tidak duduk di sofa tunggal seperti biasa, melainkan di sebelahnya, melontarkan memori Gun ketika mereka berada di kelab malam. Menegaskan teritori, kalau kata Lee. Anak bodoh.

"Aku bisa melihat itu sebagai bakatmu. Bakat yang sangat menguntungkan, sebenarnya."

"Yep, aku akan mengorbankan apa pun agar tidak terlambat, bahkan meskipun itu berarti meninggalkan kelas sebelum waktunya." Gun tertawa, tapi segera mengangkat sebelah tangan saat Off mengerutkan kening. "Jangan salah sangka, Kak. Hari Jumat aku kosong, makanya aku bisa ditemui pukul berapa pun."

Namun, kerutan di kening Off justru semakin dalam. "Jadi kau ke sini hanya untuk menemuiku? Kenapa repot-repot?"

"Bukankah Kak Off yang ingin memastikan kalau aku baik-baik saja?" Gun balik bertanya, tertawa lagi saat Off menatapnya dengan sorot mata tidak yakin. Dia mencondongkan badan mendekat, memegangi sisi rahang Off dengan lembut. "Tidak apa-apa, kan? Kemarin aku juga tidak sempat menyentuh siapa pun. Kak Off mau menemaniku sekarang?"

Jangan sampai Off bertanya kenapa, karena Gun juga tidak akan tahu jawabannya. Jika menyangkut Off, Gun selalu membiarkan tubuhnya sendiri yang bergerak dan berbicara meskipun tahu betul ketika mereka berpisah nanti, otaknya akan mengevaluasi segala yang sudah dilakukannya dengan keji.

Tapi tidak apa-apa, itu urusan nanti. Kulit wajah Off terasa sedikit dingin dan lembap, ada tekstur menggelitik dari area yang barusan dicukur. Gun sudah ingin menyentuhnya sejak berada di kelab malam, sayangnya tersandung oleh peraturan.

Off meraih pucuk-pucuk jemari Gun. "Kau benar-benar sudah sehat? Aku tidak mau saat kita berciuman nanti tiba-tiba kau memuntahi seluruh bajuku."

Gun mengecup punggung tangan Off yang masih memeganginya. "Silakan buktikan kalau tidak percaya."

"Membuktikan kalau kau bakal memuntahi bajuku?" tanya Off skeptis, tapi dia menarik tangan mereka dan menempatkan lengan Gun ke pundaknya. Dengan senang hati Gun merangkak ke pangkuan Off. Tangannya kembali merengkuh kedua sisi wajah lelaki yang lebih tua, mengusap anting Off, meraba batas rambutnya di belakang telinganya.

Fakta bahwa Off tidak menolak semua sentuhan itu membuat Gun semakin bersemangat; jantungnya bertalu-talu, mengguncangkan setiap organ dalamnya. Dia merunduk, meletakkan dahinya di pundak Off untuk menenangkan diri. Kemungkinan akhir dari sensasi yang menyetrumnya ini hanya dua: antara dia muntah sungguhan atau meledak menjadi ribuan partikel kecil.

The Kissing ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang