Chapter 7

80 4 0
                                    


Entah mendapatkannya dari mana, Tay mendadak menaburkan konfeti setelah mereka berlima masing-masing menemukan tempat yang nyaman untuk duduk. Potongan kertas mengkilap multiwarna itu berjatuhan ke karpet dalam keheningan yang membingungkan.

"Untuk apa ini?" tanya Off, mengibaskan sepotong konfeti yang menyangkut di rambutnya.

"Merayakan pertemuan perdana ketika kita berlima lengkap, tentunya!" seru Tay berseri-seri. "Juga, untuk merayakan tiga hari keberhasilan Krist dan Gun berpegangan tangan tanpa saling mematahkan leher satu sama lain. Waktunya berpelukan!"

Tay lantas melontarkan kedua lengannya pada Off yang kebetulan duduk di sebelahnya, memeluknya erat-erat, sedangkan Gun dan Krist sekadar bertukar pandang. Singto mendongak dari layar laptop.

"Jadi kalian benar-benar melakukan hukuman itu?"

Gun mempertahankan pandangannya sedikit lebih lama pada Krist kendati yang bersangkutan sudah memutar kepala ke arah Singto. "Sebenarnya kalau sudah dilakukan tidak buruk-buruk amat. Mungkin Kak Tay benar soal berpegangan tangan bisa meningkatkan bonding. Sekarang dia tidak terlihat sangat menyebalkan seperti ketika pertama kali kami bertemu."

Singto berganti menatap Gun seakan menagih kebenaran cerocosan Krist, tapi Gun hanya tersenyum. Mereka memutuskan genjatan senjata, itu benar, tapi tidak sepenuhnya diakibatkan hukuman ini. Kembali terbayang di benaknya bagaimana dia harus mendudukkan Krist yang masih tersedu-sedu ke anak tangga dan menungguinya hingga lebih tenang.

"Kenapa kau tidak berhenti menyukainya saja?" tanya Gun ketika itu.

"Kalau memang semudah itu, aku sudah melakukannya sejak lama," salak Krist sambil menekankan tisu yang sudah benyek ke mata. "Setiap malam aku membuat resolusi untuk memadamkan rasa sukaku, tapi di pagi hari ketika aku melihatnya, perasaan itu akan tumbuh lagi dengan lebih besar. Aku tidak bisa berhenti menyukainya."

Sungguh siklus yang aneh. Gun mencoba memadankannya dengan ketika dia mengincar Nike Atmos Air Max tahun lalu, hanya untuk mendapati stok habis ketika dia tiba di pusat perbelanjaan. Menyesal dan kecewa, tentu, tapi dia tidak lantas mendambakannya lagi sampai terbawa mimpi. Jika kasusnya memang mirip, seharusnya melepaskan orang yang tidak bisa kau miliki juga tidak terlalu sulit, kecuali ada beberapa faktor penting yang tidak diketahui Gun.

Siapa, sih, yang merumuskan konsep hubungan romantis? Terlalu pelik dan rumit, seseorang seharusnya maju dan mencoba menyederhanakannya seperti semua rumus matematika di luar sana.

"Tidak pernahkah kau ..." Lalu Gun terdiam lagi, keningnya mengernyit. "Entahlah, memikirkan apa yang paling kau inginkan? Antara selamanya menjadi bayangannya begini atau segera memantapkan status hubungan kalian?"

Krist menunduk. "Aku tidak mau kehilangan Kak Singto. Aku tahu dia pasti menolakku saat aku menyampaikan perasaan, dan hubungan kami akan meregang karenanya. Aku tidak mau itu terjadi."

"Dari mana kau tahu?" Gun menghapus jejak air mata dari pipi Krist dengan ibu jarinya. "Kalian bisa telepati atau semacamnya?"

"Demi Tuhan, kau tidak bisa berhenti menggodaku barang sebentar, ya?"

"Tidak, aku serius. Kau bicara seolah-olah bisa melihat masa depan. Oke, kau mungkin bisa memprediksi lewat tingkah laku Kak Singto kalau kau bakal ditolak, tapi bagaimana kau tahu hubungan kalian yang jadi jaminannya? Kau tidak percaya pada kemampuan dirimu sendiri untuk pulih, atau justru tidak percaya Kak Singto bisa bersikap biasa saja setelah kau menyampaikan perasaanmu?"

Karena Krist tidak menjawab bahkan setelah dua menit penuh berlalu, Gun mencondongkan badan mendekat. "Aku tidak tahu apa yang membuatmu takut sekali melangkah keluar, tapi itu tidak akan membawamu ke mana-mana, sungguh."

The Kissing ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang