Chapter 3

132 8 0
                                    


Singto Prachaya sedang meninjau ulang sesuatu yang terlihat seperti proposal ketika Gun masuk pukul tiga lewat lima belas. Dia adalah tipe lelaki yang sepintas pandang saja sudah kelihatan stempel 'dijamin sukses' di keningnya. Raut mukanya serius tapi penuh kendali, gesturnya tenang sekaligus efisien. Tetapi satu galur dalam di keningnya menggambarkan mungkin pembawaan kalem saja tidak cukup untuk membuatnya kebal terhadap beban yang ditanggung kedua pundaknya.

"Permisi, Kak."

Secara nyata Singto berjengit kaget. Dia menoleh melalui bahu kemudian tersenyum. "Oh. Gun?"

"Iya, Kak." Gun berjalan menghampiri Singto lalu duduk di sebelahnya. Parfum yang dikenakan Singto sangat maskulin—dia adalah cetak biru dari tipe pria ideal yang diidamkan semua kaum. Pantas saja Krist tergila-gila.

"Maaf kemarin aku berhalangan hadir. Ada rapat yang tidak bisa kutinggalkan," kata Singto. Suaranya berwibawa dan lembut sekali, sensasinya hampir seperti menelusurkan jari ke ukiran kayu di pintu kuil. "Maaf juga semisal Krist tidak ramah."

Gun menaikkan alis. "Kak Singto tahu soal itu?"

"Siapa yang tidak tahu?"

Entahlah, pihak lainnya bersikap seolah-olah itu rahasia negara yang tidak boleh diketahui siapa pun. Gun sekadar mengangguk, kemudian melimpahkan perhatiannya pada menara kertas yang menjulang di meja rendah. Mulai handout kuliah, proposal, sampai sesuatu yang terlihat seperti sebendel esai yang belum dikoreksi, semuanya ditumpuk campur aduk menjadi satu.

"Sepertinya Kak Singto orang sibuk."

Singto ikut melirik meja, lalu tertawa pelan. "Tidak juga. Aku sudah terbiasa diberi banyak tugas sejak SMA, jadi aku tidak terlalu memikirkannya."

"Keren. Aku tidak mungkin bisa melakukan semua ini, bahkan separuhnya." Gun mencengir. "Dulu di SMA aku adalah tipe yang akan pergi karaoke atau belanja sepulang sekolah daripada ikut klub. Mereka bilang kalau sudah kuliah harus terlibat dalam organisasi, jadi di sinilah aku berada."

"Agar CV-mu tidak kosong melompong?"

"Bukan begitu." Gun mencondongkan badan ke arah Singto, merebut proposal dari tangannya lalu tersenyum. "Karena aku suka ciuman."

Sejujurnya, menilai dari penampilan Singto yang rapi dan kaku, tadinya Gun hanya ingin usil dengan membuat lelaki itu gelagapan. Namun, sorot mata Singto serta-merta berubah. Dia meraih kedua pundak Gun dan mengempaskannya cukup keras hingga bagian belakang kepalanya menumbuk lengan sofa. Proposal yang tadinya di tangan Gun jatuh ke lantai.

Senyum teduh yang diberikan Singto kelihatan salah tempat jika menilai posisinya yang kini berada di atas Gun. "Kau keberatan?"

"Kalau keberatan, aku tidak akan ada di sini."

"Kau lebih berani dari kelihatannya."

Singto melonggarkan simpul dasi lalu melucutinya dari kerah. Gun hanya memperhatikan benda itu melayang terabaikan sebelum mengembalikan fokus pada Singto.

"Memangnya aku kelihatan seperti apa?"

"Mm, biar kupikir dulu." Singto membenamkan hidung ke lekuk rahang Gun, menghirup lehernya. "Kesan pertamaku, kau polos dan naif. Aku sempat ragu tadi."

"Kebetulan, aku justru berpikir Kak Singto tidak punya keraguan sama sekali," sahut Gun seraya melepas kacamatanya menggunakan satu tangan, karena lengannya yang lain sudah melingkari leher Singto dan mendekap lelaki itu lebih rapat. Kemudian Gun menyadari satu hal; dia menarik kerah belakang Singto supaya menjauh. "Maaf, Kak."

"Kenapa?"

"Aku baru saja praktikum anatomi. Aku pasti berbau seperti formalin." Gun sedikit menaikkan kerah kemeja ke wajah, mengendus baunya sendiri. Meskipun mengenakan jas laboratorium, formalin bukanlah tipe aroma yang malu-malu—dia akan dengan ganas berkamikaze ke pakaian siapa pun. Dan memang hidung Gun segera disergap bau tajam itu. "Ugh, sialan."

The Kissing ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang