Chapter 5

99 7 0
                                    


Hal terakhir yang dikatakan New sebelum keluar dari mobil Jumat itu adalah, "Selamat, ya. Akhirnya kau punya teman baru." Dan Gun benar-benar ingin memukul mulut sok tahu temannya, tapi terutama dia ingin memukul dirinya sendiri yang sudah kelewat sembrono dalam bersikap.

Berpegangan tangan ... yah, sejujurnya itu juga favorit Gun. Dia suka berpautan tangan dengan siapa pun yang berjalan bersamanya, dengan catatan mereka sama-sama berada dalam hubungan yang baik. Membayangkan dirinya harus duduk seperti orang bodoh, membiarkan kulitnya lembap dan berkeringat sebab ditempelkan di telapak tangan Krist selama tiga puluh menit, kedengaran seperti mimpi buruk.

Di hari Senin pagi, saat Gun menyeret langkah di sepanjang koridor fakultasnya yang masih lengang, ponsel di saku celananya bervibrasi. Secara refleks dia mengerang. Terlepas dari mereka berada di groupchat berisi lima orang sehingga mudah sekali untuk saling berhubungan, dia dan Krist sama sekali tidak bertukar pesan sejak berpisah di pelataran toko pancake akhir pekan lalu.

Tapi kalau sudah waktunya, Gun akan menerima takdirnya dengan tangan terbuka.

Bagaimanapun, nama Singto sebagai pengirim pesan tak pelak membuat kedua alis Gun terangkat. Dia berhenti berjalan dan membuka pesan tersebut. Pasalnya, Singto mengirim pesan pribadi dan bukan di groupchat.

Jam berapa kau akan bertemu Krist?

Gun menjawab sejujurnya kalau dia belum tahu. Semisal Singto mau jadi perantara, itu akan jauh lebih baik, toh mereka berada dalam fakultas yang sama. Gun melesakkan ponsel kembali ke saku celana dan separuh berlari begitu mendapati sosok besar New bergerak di kejauhan. Ketika jarak mereka sudah cukup dekat, dia menggelayuti kedua pundak New dari belakang.

"New, kau mau jadi substitusiku?" tanya Gun setengah merengek, membiarkan New terus berjalan dan separuh menyeretnya.

"Baru semester satu sudah mau titip absen? Apa kabar masa depanmu nanti?"

"Bukan," erang Gun lalu berpindah ke sebelah New, berganti memeluk satu lengannya. "Gantikan aku bertemu Krist. Kumohon? Kau teman terbaikku, kan?"

"Kalau jadi temanmu berarti ikut menanggung dosa, lebih baik kita saling menjadi orang asing," sahut New tanpa beban, menyebabkan Gun melolong dramatis. New menampar dahi Gun pelan. "Berisik. Lagi pula, apa susahnya pegangan tangan, sih? Biasanya kau menyambar tangan siapa saja."

"Pegangan tangan tidak sulit, duduk di samping orang yang sudah menjahatiku itulah yang susah!"

New mengangkat bahu. "Bukan urusanku."

"Newwie, kau juga jahat sama Gun."

"Anggap saja geladi bersih sebelum duduk di samping teman barumu itu nanti."

Gun memutar bola mata, berhenti mencoba membujuk New yang lebih cadas dari batu karang. Ketika mereka berbelok ke ruang kuliah yang nyaris kosong melompong, ponsel Gun bergetar lagi. Kini dia menyangka Singto memberikan tanggapan lanjutan, tapi lagi-lagi perkiraannya salah. Krist yang mengiriminya pesan, memberi tahu kapan dia kosong, tentunya dengan ogah-ogahan dan ketikan singkat yang mengesalkan.

Siapa yang tadi bilang hendak menerima takdir dengan tangan terbuka? Lupakan saja.

~~~

Gemeretak pintu yang dibuka sontak membuat Gun memutar bola mata. Penantiannya yang terasa selamanya ini akhirnya berakhir, dan tidak sedikit pun dia menikmatinya. Sambil melepas sebelah earphone, dia menoleh ke belakang.

"Kau sendiri yang bilang untuk bertemu pukul dua. Aku sudah—oh."

Off berdiri di depan pintu, satu alis terangkat. "Kau sudah apa?"

The Kissing ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang