Chapter 27

74 4 0
                                    


Gun tidak pernah mempertimbangkan ini sebelumnya, bahwa kegiatan-kegiatan sederhana yang dilakukan setiap hari dapat memberikannya ketenangan. Seakan-akan selama ini dia sekadar menengadah ke langit biru yang tak terjamah di atas sana dan berandai-andai bagaimana rasanya bisa terbang bebas, padahal dia tidak pernah mencoba berlari di rerumputan yang menghampar tanpa batas di sekelilingnya. Sensasi rerumputan berada di bawah kakinya yang telanjang, belaian angin dengan harum bunga liar di pipinya, pemandangan kaya warna yang memenuhi penglihatannya—dia nyaris saja melewatkannya.

Apa yang dia cari dengan mendambakan pengakuan orang tuanya, sekalipun tahun-tahun yang telah berlalu membuktikan hal itu tidak akan tergapai? Dengan mencoba mengisi gerowong besar dalam hidupnya lewat semua malam-malam tanpa tidur di diskotek, ditemani orang-orang yang tidak pernah repot-repot mau menghafal namanya?

Lucu juga bagaimana semua pengakuan yang mampu memenuhi hatinya itu ditemukannya dalam satu pelukan saja. Satu pelukan yang menjadi ujung dari perjalanannya yang dipenuhi tanya. Tentang dirinya sendiri, tentang orang-orang lain di sekelilingnya. Satu pelukan yang terasa seperti dermaga yang kemudian memeganginya kuat-kuat dari empasan ombak di lautan kelam.

Gun menghela napas panjang, menghirup sebanyak-banyaknya aroma yang dia rindukan, kemudian memundurkan badan dari Off. Akan tetapi, lengan Off yang berada di punggungnya dengan sigap menariknya lagi dan mendekapnya semakin erat. Napas yang sempat ditahan Gun kembali dia lepaskan dalam jejak kekehan kecil di pundak Off.

"Aku tahu, tapi punggungku sakit kalau kita berpelukan dari kursi yang berbeda begini."

"Kau bisa memberitahuku," sahut Off setengah menggerutu, tetapi matanya berbinar ketika akhirnya melonggarkan lengannya dari punggung Gun. "Sini, duduklah. Kalau aku tidak salah ingat, kau suka sekali berada di pangkuanku."

Maka, Gun bangkit dari kursi, hanya untuk melimpahkan bobot tubuhnya lagi di pangkuan lelaki yang lebih tua. Kedua lengannya, seperti sudah menantikan momen ini sejak lama, serta-merta menemukan jalan tersendiri melingkari leher Off dengan ringan. Mereka berdua berpandangan, lalu masing-masingnya tertawa kecil.

"Terima kasih, Gun, karena sudah berhasil melawan ketakutanmu," kata Off setengah berbisik seraya memeluk pinggang Gun dengan kedua tangan, menyeimbangkan posisinya sekaligus, entahlah, karena dia bisa melakukan itu.

Kening Gun berkerut, meski cuma sebentar. "Kenapa 'terima kasih'?"

"Yah, kau tidak akan bisa melakukannya kalau tidak mau mengambil langkah pertama. Aku harus berterima kasih untuk itu, kupikir."

"Kalau itu maksudmu, berarti aku harus bilang 'sama-sama', bukan?" Gun menatap kedua mata Off bergantian, kehangatan yang merengkuhnya sejalan dengan nyeri yang pelan-pelan menelusup. "Seandainya aku bisa bilang begitu sekarang."

"Kau akan bisa mengatakannya suatu saat nanti," sahut Off menenangkan. Sebagaimana Gun, dia pun perlahan-lahan mulai tersedot dalam kontak mata mereka, yang berkisah lebih banyak dari bibir mana pun, yang berterus terang lebih daripada semua kosakata mampu dirangkai.

Kehangatan memuai di antara keduanya, mengelilingi, melingkupi. Off sedikit memajukan wajah, hidung mereka bersinggungan lembut, napas saling berpilin. Secara otomatis tatapan mata Gun diturunkan ke bibir lelaki itu yang telah sedikit terbuka.

"Boleh?"

Gun mengangguk samar, kemudian memejamkan mata seiring bibir Off menekan miliknya. Kehangatan itu lantas membuncah, menuruni setiap pembuluh darah Gun, menelusup di setiap celah ototnya, menyebar sampai ke ujung-ujung jarinya. Kelopak matanya menggeletar; perlahan dia membukanya.

Off berada di depannya, memeluknya, menerimanya.

Kecupan Off bergeser saat lelaki itu sedikit menelengkan kepala dan berganti menyesap bibir bawah Gun. Rasa familier yang kemudian mengempas Gun membuat tenggorokannya sedikit tersekat. Dia ikut memisahkan bibirnya, balik melumat milik Off.

The Kissing ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang