Last Chapter

131 8 0
                                    


Perlu waktu untuk mencari orang yang mau menggantikan sifnya di restoran, mengingat sebelumnya dia bekerja di Sabtu malam yang pasti jauh lebih sibuk dibanding hari lain, tetapi pemilik kafe mengizinkannya mengambil hari libur dengan amat mudah. Meski Gun tidak bicara banyak padanya, pria itu memutuskan sendiri bahwa, "Saat aku seusiamu, aku juga sering liburan bersama pacarku."

Lucunya, perkataan itu tak lagi menyengat Gun seburuk sebelumnya. Mungkin karena dia lebih daripada tahu kenyataannya (pergi bersama lima orang berisik; tidak akan romantis sedikit pun), mungkin juga karena bersama-sama Off mulai memberikan nyaman buatnya. Membayangkan Off akan duduk di sebelahnya, tertawa ketika tangan mereka bersinggungan, makin terasa tepat bagi Gun.

Off telah mengetahui latar belakang Gun yang tidak biasa, juga pola pikirnya yang kadang kelewat rumit, tetapi lelaki itu masih tetap berada di sisinya. Off membuktikan bahwa tidak masalah jika terkadang Gun merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri, bahwa untuk mencintai dirinya sendiri adalah perkara sulit dan akan perlu waktu. Tetapi itu tidak membuat Gun menjadi kehilangan hak untuk mencintai Off.

Dan kenyataan tersebut, terang saja, memberikan kenyamanan bagi Gun.

Gun menegakkan badan, lantas berkacak pinggang sambil mengangguk puas di depan ranselnya. Berkemas sudah, sekarang yang perlu dia lakukan hanyalah berganti baju, kemudian berangkat ke kampus. Dia mengambil ponsel untuk memberitahu Off, tetapi satu pesan yang belum dibaca di puncak daftar percakapan sontak melunturkan senyumnya.

Gun, pulang sekarang .

Seketika itu pula kenyamanan yang melingkupinya remuk.

~~~

Bohong kalau Gun bilang tidak pernah mengharapkan sebuah pesan dari orang tuanya. Dia tidak bisa mencegah datangnya skenario-skenario di mana ibunya menelepon dan dengan khawatir bertanya ke mana saja dirinya, sekalipun dia tahu betul itu harapan yang teramat naif. Dia sudah mantap dengan pilihan memutus hubungan dengan orang tuanya dan tidak akan kembali lagi. Demi Tuhan, dia sudah terlalu lama terkungkung dalam kepura-puraan yang mereka sebut keluarga.

Tetapi di sinilah dia sekarang. Berdiri di balik pagar rumahnya, satu telunjuk terangkat ke tombol bel tapi tak kunjung berhasil menekannya.

Kenapa aku ada di sini? Gun tak henti bertanya-tanya dalam hati. Mestinya sekarang dia dalam perjalanan ke ruang klub untuk menemui teman-temannya. Dilihat dari sisi mana pun, itu merupakan pilihan yang jauh lebih baik ketimbang membiarkan dirinya ditelan kembali oleh keheningan dan kesendirian yang telah menjadi inti jiwa dari rumah mewah di hadapannya. Namun, badannya seakan bergerak sendiri menyusuri jalan yang tak kunjung bisa dilupakan. Dia tidak mampu mengenyahkan seuntai harapan itu.

Gun meneguk ludah dan menempelkan telunjuk di tombol bel, merasakan permukaannya yang solid yang halus. Satu tekanan saja dan rumah itu akan dapat mengendus keberadaannya.

Mendadak ponselnya di genggaman tangan yang lain berderit, mengejutkan Gun. Jantungnya mencelus. Off sedang meneleponnya. Gun kembali menatap pagar, menjilat bibir, kemudian memutar tumit dan menerima panggilan itu.

"Ya, Kak?"

"Kau sudah dalam perjalanan?" tanya Off tanpa tedeng aling-aling. "Biasanya kau tepat waktu, jadi aku ingin tahu."

"Aku"—tenggorokan Gun mendadak tersekat. "Aku sedang di rumah."

"Oh?"

"Aku diminta pulang."

Gun tahu apa yang ada di pikiran Off. Pasti soal betapa pecundang dirinya. Dia sendiri yang berkoar-koar tidak akan kembali, tapi di sinilah dia sekarang. Dengan gelisah Gun memperbaiki posisi kacamatanya, baru menyadari tangannya telah berkeringat.

The Kissing ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang