23. Penyesalan

32 3 1
                                    

“Tuh, kan, ndak di angkat,” lirih Karel menatap lara sahabatnya.

  Rendy menghela nafas, kini ia tengah memutar otak. Kenapa Kak Gitta nggak angkat telepon-nya, ya? Bukannya ia sangat menunggu Karel selama ini untuk kembali dekat dengannya, lalu ucapannya tempo hari itu sungguh-sungguh kah?

FLASHBACK ON

“Karel kelihatan nyaman banget sama Indah,” ucap gadis di sebelahnya terdengar parau.

“Karel anaknya emang humble, Kak. Nggak usah khawatir, mereka hanya berteman.” Rendy memberanikan diri melirik sang Kakak kelas, dahinya berkerut menyadari perubahan Gitta dimana wajahnya nampak pucat pasi. Kemana riasan wajah, soflens dan aksesoris yang biasa menghiasi rupa cantiknya?

   Rendy memperhatikannya lebih dalam; Gitta kini tengah bersandar pada kap sedan merahnya. Kakak kelasnya itu menghampirinya saat hendak memarkirkan motor. Ia sempat terkejut, tumben sekali Kakak kelasnya itu menyapanya.

  Secara bersamaan; dari arah gerbang masuk, Karel datang bersama Indah. Melihat kebersamaan mereka, apalagi Karel yang nampak asyik bercanda gurau dengan gadis disebelahnya membuat hati Gitta memanas.

  Nampaknya hubungan Karel dan Gitta masih renggang, sampai saat ini mereka masih belum bertegur sapa.

“Karel sama Indah satu kompleks perumahan, Kak. Jadi emang sering berangkat dan pulang bareng, rumah mereka juga satu gang,” ujar Rendy, ia harap penjelasannya sedikit dapat memadamkan api cemburu Kakak kelasnya.

“Iya, gue tahu, ko,” timbal Gitta, ia tengah menahan mati-matian amarahnya melihat Karel berangkat sekolah bareng Indah.

“Ren, tipe ceweknya Karel yang seperti apa, sih? Terus gue juga harus gimana biar jadi menantu idaman Bunda?”

  Rendy terkesiap, ucapan Gitta terlalu spontan untuknya. “Umm,” ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung sekali dirinya harus menjawab apa.

“Ren, bantuin gue, dong,” cicit Gitta mengalihkan atensi sepenuhnya pada Rendy, “Gue cuma mau ngobrol sebentar aja sama Karel. Kalo Karel nggak mau ketemu sama gue, setidaknya buat dia mau ngangkat atau  bales WhatsApp gue aja, deh,” lanjutnya. Entahlah, Gitta rasa ia sudah mulai putus asa untuk mengejar adik kelas favoritnya itu.

“Umm, gimana, ya, Kak. Cukup sulit, sih. Soalnya, Karel, tuh, anaknya patuh banget sama orang tua. Dia nggak bisa harus ngebantah Ayah atau Bundanya.” Rendy menjeda ucapannya, ia kembali melirik Kakak kelasnya, hatinya terasa iba melihat perjuangan Gitta mengejar cinta Karel.

Ukhuk! Ukhuk!”

   Rendy bahkan sampai lupa jika gadis dihadapannya saat ini merupakan Kakak kelas paling ia takuti di sekolah.

   Gitta juga nampak kurang sehat, sesekali ia terbatuk, suaranya pun sedikit serak. Bibir yang biasa terlihat pink segar itu kini nampak pucat, kering dan pecah-pecah. Bola mata karamel-nya terlihat sayu, kelopak matanya terkulai, dan pelupuknya terlihat sedikit hitam. Rambut yang biasa tertata rapi, kini dikuncir, namun ikatannya terlihat begitu asal; masih banyak helaian rambut yang keluar, poninya pun nampak sudah memanjang. Seterpuruk itu kah Kakak kelasnya diacuhkan Karel sehingga ia tidak lagi memperhatikan kesehatan dan penampilannya? Gitta nampak begitu berantakan.

“Ini pertama kalinya Karel deket sama cewek, Kak. Dia itu anaknya manja banget, dan sama keluarganya di treat like a baby. Jadi, dia bener-bener masih kaya anak kecil.” Ujar Rendy.

  Gitta mengangguk kecil, ia setuju dengan ucapan adik kelasnya itu.

“Mungkin gue terlalu posesif sama dia juga, ya?” Ucap Gitta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

COTTON CANDY (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang