PROLOG

30 12 5
                                    

Hai, aku Vi!🥰🤏🏻

Happy reading, gays🍃


*****

Seorang gadis cantik terduduk lesu di dinginnya kursi besi di halte bus. Tangannya menenteng tas berisi kamera beserta alat photografi lainnya. Seharusnya dia sudah sampai rumah sekarang. Namun karena teman-teman kerja yang ikut dengannya tega meninggalkannya seorang diri di sebuah acara pernikahan sehingga dia mengharuskan menunggu bus di halte tersebut.

Mata Dea menyipit kala dua buah cermin besar berada di sisi halte bus yang dia pijaki kini. Sejak kapan halte bus ini ada cermin sebesar itu? Sudah sering dia menunggu bus di sini, namun hanya malam ini saja ada dua cermin sebesar itu.

"Baru dipasang kali ya." Dea mencoba berpikir positif. Dia melangkah pasti mendekati dua cermin besar yang membangunkan rasa penasarannya.

Dea sedikit merapikan rambut wolfcut nya disertai senyuman manis. Wajahnya nampak lesu dan tak berenergi usai menyelesaikan pemotretan pernikahan di daerah ini. "Muka gue lesu amat sih astaga." Dea menepuk-nepuk pipinya membangunkan semangat untuk malam ini.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Beruntung hari ini dia libur bekerja di toserba, jadi saat pulang bisa langsung rebahan dan makan malam mengisi energi untuk menyambut Juni besok.

"Hari pertama Juni ketemu ayah. Semoga Juni gue baik-baik aja Tuhan." Dea menengadah ke langit malam, berdoa supaya Juninya baik-baik saja.

Dea terlonjak kaget melihat pantulan seorang kakek di cermin. Dea membalikkan badannya. "Kakek lagi nunggu bus juga ya?"

Kakek tua itu menunjuk kedua cermin bergantian menggunakan tongkatnya membuat Dea beringsut mundur, takut terkena tongkat kayu itu. Atmosfer sekitar berubah menjadi menyeramkan dan bulu kuduk Dea merinding saat kakek tua itu berbicara begitu dingin.

"Pilihlah jalan pulang dengan cermin ini."

Alis Dea menyerngit. "Saya pulang ke kampung Sugar, Kek. Bukan ke dunia lain," gurau Dea.

Kakek tua menggeleng tegas. "Tidak akan ada bus melintas. Jalan pulang kau hanya cermin ini. Pilihlah salah satu diantaranya untuk menghindari takdir buruk yang terjadi di Juni nanti," ujar Kakek.

Dea meringis tak mengerti. "Maksudnya apa, Kek?"

"Pilih salah satu cermin itu untuk mendapatkan takdir baikmu di Juni nanti. Jangan salah pilih, seandainya kamu salah pilih, kamu tak bisa menghindar dari takdir tersebut."

"Emang takdir bisa berubah ya? Setahuku nggak."

Kakek tua menghentakkan tongkat kayu itu kasar membuat Dea ketakutan. Berharap ada seseorang yang menolongnya. "Cepat lakukan perintahku. Hanya saya yang bisa membalikkan takdir buruk menjadi baik di Juni nanti. Pilihlah secepatnya sebelum pukul sembilan malam dan hujan turun."

Dea berbalik menghadap dua cermin besar itu. Dia kembali tersentak ketika Kakek tua itu menghilang tanpa jejak dan suara ketukan tongkatnya. Dea meringis takut menatap sekitar yang sunyi dan sepi tak ada kendaraan yang berlalu lalang.

Dea menggigit jari telunjuknya, mempertimbangkan jika idenya untuk masuk ke cermin sebelah kanan adalah jalan terbaik menuju Juni baik. "Emang gue bisa nembus masuk sini?"

Sekujur tubuhnya semakin merinding saat kakinya maju satu langkah ke cermin kanan hingga dirinya merasa ditarik kedalam cermin tersebut sampai tak bisa menahan bobot tubuhnya sendiri.

Hujan deras pun turun membasahi jalanan kota Bogor yang mendadak menjadi sunyi dan menyeramkan. Pemadaman listrik pun terjadi membuat lampu-lampu jalanan dan toko-toko sekitarnya padam. Kedua cermin dan Dea hilang bak tertelan bumi tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

Youth Of June (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang