21. Fikri Cemburu

7 1 0
                                    

Fikri menggeleng-geleng kepala heran melihat tingkah aneh Dea malam ini. Perempuan itu sama sekali tak berbicara apapun padanya meski dia bertanya basa-basi.

Bahkan saat dia hendak menawarkan makanan pun gadis itu hanya menggeleng cepat menolak mentah-mentah tawarannya.

"Selamat datang selamat belanja."

Fikri mengamati kegiatan Dea tengah melayani seseorang di kasir kemudian melanjutkan bermain ponselnya. Senyuman manis itu tak pudar sejak tadi, dilihat pakaian yang dikenakan gadis itu pun nampak berbeda dibanding biasanya.

Polesan makeup pun lebih terlihat, biasanya gadis itu hanya memoles lipstik saja. Dan celana panjang, gadis itu terlihat mengenakan rok mini. Kemana perginya Dea di hari kemarin-kemarin?

"De," panggil Fikri usai tak ada orang lain seraya berjalan mendekat.

Dea menggeser posisinya seakan menjaga jarak darinya membuat Fikri kebingungan sendiri. Apa dirinya bau badan? Fikri mengendus ketiaknya yang tak menimbulkan bau tak sedap. Berkaca melalui ponselnya pun penampilannya tak ada yang aneh. Tapi kenapa Dea berusaha menjaga jarak darinya?

"Dea," panggil Fikri lebih lembut kali ini.

Helaan napas berat keluar dari mulut Dea membuat Fikri menyerngit heran. "Mulai malam ini, lo gak boleh ngomong apapun ke gue kecuali soal kerjaan dan hal penting," tegas Dea.

"Lho? Kenapa? Emang ada undang-undangnya kalo kita ngomongin hal-hal diluar kerjaan ya?" tanya Fikri.

"Mulai hari ini, jarak kita minimal 30 cm. Tanyain hal bersangkutan tentang kerjaan aja, dilarang nanya-nanya hal lain selain itu. Titik gak pake koma. Nurut tanpa pengelakkan. Paham?" cetus Dea.

Fikri menyugarkan rambutnya kebelakang, berkacak pinggang seraya maju satu langkah meski Dea langsung memundurkan tubuhnya hingga menubruk tembok.

"Si Alfin yang larang lo ngobrol sama gue De? Kalo iya, dia gak berhak atur siapa yang berinteraksi sama lo. Emang dia siapa, hm? Dia bukan siapa-siapanya lo kan?" desis Fikri mengukung tubuh mungil itu membuat nyali Dea sedikit ciut.

Dea berdecih, menatap Fikri remeh. "Kalau dia pacar gue, lo mau apa? Dia berhak atur gue mulai sekarang," jawabnya sembari mendorong tubuh kurus Fikri, merapikan bajunya dan menormalkan detak jantungnya.

Hah. Kenapa jantungnya berdegup kencang sih.

"Lo pikir gue percaya?" ledek Fikri. Berbanding terbalik dengan hatinya yang sudah terbakar.

Dea memutar bola mata malas. Menunjukkan kalung berliontin inisial A terpasang apik di lehernya. "A. Alfin. Paham kan? Lo pikir kemarin gue dinner itu cuma makan doang, nggak keles." Sombongnya.

Ungkapan tersebut seketika meruntuhkan doa yang sempat Fikri rapalkan. Tatapan matanya berubah kosong menatap wajah cantik itu.

Ditengah rasa kesal masing-masing, pintu toserba terbuka lebar menampilkan perempuan mengenakan dress selutut serta tas branded menggantung sempurna di lengannya yang berhasil mengubah perasaan terkejut.

"Hai, gue mau belanja dong. Di sini ada jual tas branded kayak gini gak, ya?" tanyanya dengan smirk.

Fikri berdecak, berkacak pinggang, menyembunyikan Dea di belakangnya. "Ya lo pikir aja pake otak cerdas lo. Ada nggak di tempat swalayan jual tas mahal kayak gitu."

Tria, gadis itu datang kemari tanpa tujuan jelas.

"Sama pembeli kok kasar? Mau gue laporin ke bos kalian biar sekalian kalian dipecat malam ini juga karena tidak melayani pembeli dengan baik. Terlebih gue ini adalah atlet bola voli yang—"

Youth Of June (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang