08. Sifat Tak Peka yang Melekat

7 3 0
                                    

Tidur Boy terusik oleh kerasnya dentuman musik dangdut berasal dari rumah tetangga di pagi-pagi buta. Boy tahu pelakunya siapa.

"Deot nggak waras berisik anjir!" Dia mengumpat seraya menutup telinganya menggunakan bantal. Mata sipitnya menyipit kala sinar matahari menembus masuk jendela kamar.

Dia lupa menutupnya lantaran semalam menyelesaikan gambar lukisan Zhao Lusi aktris dari China favoritnya. Senyum Boy terpatri saat lukisan besar aktris kesukaannya selesai dengan sempurna tepat di samping kasur.

Kamar yang dipenuhi hasil tangannya sendiri mendapat angin pagi yang cukup segar. Segera Boy bangun untuk menegur Dea si tetangga biang rusuh yang menyetel musik dangdut begitu keras hingga mengganggu dirinya yang tertidur tenang.

Boy keluar dengan wajah khas bangun tidur dan celana pendeknya. Dia memutar bola matanya malas saat dugaannya benar. Gadis itu tengah berolahraga tak jelas sambil diiringi kerasnya musik dangdut.

Nenek Ja yang kehabisan akal pun memilih membersihkan singkong untuk dibuat keripik di bale-bale. Menggelengkan kepalanya tanda menyerah dengan kelakuan sang cucu.

"Heh Deot berisik!" teriak Boy diabaikan oleh Dea.

Boy duduk di samping Nenek Ja. Sekali lagi melirik Dea di teras yang tengah melakukan pemanasan. "Dia nggak kerja, Nek?" tanyanya sedikit keras agar Nenek Ja mendengarnya.

"Siangan katanya, Boy. Dia mau hukum si anak baru di tempat kerjanya," balas Nenek Ja.

Boy meringis mengingat Ibnu menceritakan bahwa dialah yang membantu Fikri bekerja di toserba milik tantenya tanpa sepengetahuan Dea maupun Fikri sendiri. Bagaimana bila Nenek Ja mengetahui hal terlarang ini, astaga. Memang Ibnu selalu berbuat sesuka hatinya meski nantinya akan menimbulkan suatu masalah.

****

Dea mengira pria itu sedang menjaga toserba dengan baik dan benar, ternyata saat dia tiba di sana, pria seumurannya itu tertidur pulas diatas tumpuan tangannya di meja. Melihat meja-meja di luar yang dipenuhi sampah yang belum dibersihkan membuatnya naik darah.

Apa selanjutnya dia akan didiagnosa menderita darah tinggi bukan lagi darah rendah?

"Dari dulu sifat pemalasnya emang masih melekat kayaknya," gumam Dea. Tangannya bersiap hendak membangunkan pria itu, namun mendengar suara dengkuran Fikri membuat Dea mengurungkan niatnya.

Dea membungkukkan badannya upaya menatap Fikri lebih dekat lagi. Dia menelisik wajah tampan yang dulunya kerap menghiasi dinding kamarnya. Lemak pipi pria itu nampak hilang. Lingkaran mata Fikri nampak hitam seperti orang yang kelelahan.

Dea menunduk menghela napas mengingat toserba ini dipenuhi kamera cctv. Bila Fikri ketahuan tidur di jam kerja, bisa dipecat hari ini juga oleh Bu Henny. Dengan sangat terpaksa Dea harus membangunkan Fikri dengan caranya sendiri.

Ide jahilnya muncul begitu cepat. Dea mendorong sound sistem dari dalam tempat istirahat, menyetel musik dangdut favorit Fikri dengan volume paling besar.

Lagu belum terputar satu menit, si empu langsung terbangun dan berjoget tipis-tipis dengan wajah khas bangun tidur serta rambutnya berantakan.

Sontak tawa Dea mengudara melihat Fikri yang asyik berjoget meski baru terbangun dari tidurnya. Wajah polos itu menatap ke arahnya, mengerjapkan mata berulang kali membuat Dea semakin meledakkan tawanya.

Fikri terdiam menyadari apa yang dirinya lakukan barusan didepan mantan pdkt-nya. "Wah lo ngerjain gue ya?" pekik Fikri mematikan sound sistem, menunjuk Dea kesal.

Dea memberhentikan tawanya. "Beruntung gue bangunin ya. Kalau nggak, bisa dipecat hari ini juga lo sama tante Henny," balas Dea bernada kesal. "Lo gak liat meja depan penuh sampah itu, Fik? Lo niat kerja nggak sih?" Dea menolehkan kepala Fikri ke meja di luar.

Youth Of June (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang