11. Samsak Pereda Emosi

4 1 0
                                    

Pukul sembilan pagi Dea berjalan gontai menuju toserba. Separuh nyawanya terasa ikut pulang bersama ayah dan kakak perempuannya ke Karawang. Usai menghabiskan malam bersama, Nenek Ja mengusir dua keluarganya secara terang-terangan sehingga Sudrajat memutuskan pulang saat subuh tadi.

Dea benar-benar marah pada Nenek Ja. Nenek Ja sudah keterlaluan memperlakukan sang ayah, padahal Sudrajat membawakan banyak oleh-oleh dan uang untuk wanita paruh baya itu.

"Nah itu orangnya."

Dea terlalu hanyut mengenang kenangan indah semalam hingga tak sadar dirinya telah sampai di depan toserba yang kini ada dua wanita berumur dua puluh tahunan tengah menunggunya.

Mata Dea berkedip berulang kali guna menyadarkan apakah benar dua teman satu studionya ada di sana dan berbicara padanya. "Ada apa, mbak?"

Mbak Yuni menghela napas berat. "Lo belum edit foto pernikahan seminggu lalu, De?"

Percayalah nyawa Dea belum sepenuhnya pulih. Dia mencoba berpikir di tempatnya berdiri. Sampai akhirnya dia menepuk jidat keras lantaran mengingat ada satu pekerjaan yang harus dia selesaikan sebelum hari ini tiba.

"Lupa ya, De?"

Alis Dea menukik. "Bukannya itu tugas Agni, ya?"

"Agni bilang itu tugas lo, Dea. Kenapa lo lempar batu sembunyi tangan sih. Kalo emang gak mau ngedit, ngomong ke yang lain biar pas waktunya mepet gue nggak diprotes sama klien!" sentak Mbak Yuni.

Dea tersentak terkejut mendengar suara lantang mbak Yuni. Dia menoleh ke belakang, ada tiga warga melintas sampai berhenti untuk menyaksikannya. "Mbak, tapi emang bukan tugas gue yang edit fotonya." Dea berkata jujur.

"Kemarin juga lo gak dateng ke acara padahal cuma sepuluh menit dari sini. Lo sama aja ngerepotin gue sama karyawan lain juga, De. Sadar. Kalau niat kerja ya selesain kerjaannya jangan banyak alasan."

Dea memejamkan mata upaya menetralkan emosi yang hinggap hanya dalam satu menit saja. Dea terlanjur malu dengan kedatangan mbak Yuni yang tiba-tiba, lalu berbicara seolah dirinya tak kompeten dalam bekerja. Di belakang sana ada beberapa warga yang menyaksikan dan didalam toserba ada Fikri yang sedang pura-pura sibuk padahal Dea tahu kalau toserba ini tidak kedap suara.

Fikri tentu akan mendengar pembicaraannya dengan mbak Yuni.

"Mbak, sumpah emang bukan kerjaan gue itu!"

Mbak Yuni berkacak pinggang. Sadar bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian warga. "Gini aja. Gue tunggu hasil editan lo sampai besok pagi. Dan setelah itu lo resign dari studio. Gue udah muak sama waktu kerja lo!"

Usai berkata demikian mbak Yuni langsung melangkah pergi membiarkan Dea yang termenung di tempatnya berdiri.

"Agni sialan. Lo yang males, gue yang dipecat!"

Dea menyugarkan rambutnya ke belakang. Menghirup udara pagi yang cukup gelap, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Entah mengapa dia tak terlalu sedih atau kesal saat dipecat secara terang-terangan didepan warga oleh mbak Yuni. Dia mengembuskan napas pasrah. Menepuk kedua bahunya seraya berucap bahwa dirinya kuat.

Lalu masuk ke dalam dengan perasaan campur aduk. Setelah dia menyelesaikan tugas terakhir yang diberikan mbak Yuni, maka dengan resmi dia dibebastugaskan oleh mbak Yuni.

"Lo denger semuanya kan, Fik?" tanya Dea terselip nada kesal.

Fikri tetap melanjutkan pekerjaannya membersihkan rak-rak seolah tak mendengar apapun tadi dengan wajah polosnya. Hah, Fikri itu bisa menipu manusia dengan ekspresinya saja. Dia pandai berakting.

Youth Of June (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang