32. Ext. Chapter (Ancaman Kehilangan)

6 1 0
                                    

Nenek Ja mengajak kedua cucunya membantu memotong-motong bawang merah dan beberapa sayuran lainnya untuk di masak hari ini. Shasha yang notabenenya sering berada di dapur nampak lihai memotong rapi wortel dan bawang putih. Sedangkan Dea, gadis itu kesusahan memotong bawang merah. Pandangannya terhalau air mata yang mengucur deras sejak memotong.

Dea bukan menangis karena bawang ini. Gadis itu menangis karena mimpi kehilangan sosok Fikri dan akan ditinggal menikah oleh Alfin dengan musuhnya sendiri. Dea menangis dihadapan keduanya sesenggukan sambil terus melanjutkan memotong bawang merah meski berantakan.

"Kenapa mewek sih? Gue cuma suruh lo potong bawang bukan potong jari-jari lo." Shasha berdecak.

Dea menggelengkan kepala ribut, tangannya yang dia pakai memegang bawang dia pakai menyeka air matanya sehingga matanya semakin perih dan tangisannya kian pecah.

"Lo gak pernah ngerasain rasanya ditinggalin nikah sama pacar lo, teh. Lo gak akan kuat kalau jadi gue, teh. Gue sakit hati. Hati gue perih kayak mata gue ini." Tangis Dea menggelegar membuat tetangga yang lewat nampak menatap Dea aneh.

Shasha dan Nenek Ja menatap kosong Dea. Keduanya sejak semalam terus mendengar tangisan si bungsu yang katanya ditinggal menikah oleh pacarnya. Belum lagi gadis itu menangis di pagi-pagi buta lantaran bermimpi kehilangan Fikri.

"Cowok mana yang berani ninggalin adik gue nikah, hah? Sini biar gue colok matanya pake bawang merah!" pekik Shasha mengacungkan pisau tajam keatas.

Dalam hati Dea senang bisa menangis lagi di hadapan keduanya. Dea dapat mengeluarkan unek-uneknya saat memotong bawang.

"Awal Juni dia bikin gue terbang. Tapi pas Juni mau selesai dia malah ninggalin gue."

Nenek Ja meringis, tangannya mengelus pundak cucu bungsunya. "Udahan nangisnya, De. Takut dikira gila nanti kamu," bisiknya.

Dea tak akan berhenti menangis sebelum dititah berhenti memotong bawang oleh mereka. Ini semua hanya dalih semata meski yang dia ucapkan merupakan sebuah kebenaran dan dia senang melakukannya.

Shasha ikut iba mendengar cerita adiknya semalam. Dia menghela napas. "Yaudah lo cepet cuci tangan terus sarapan nasi goreng di meja."

Lantas Dea segera berlari masuk rumah untuk mencuci tangan dengan hati yang bersorak gembira. Dia tak menyadari bila Shasha sedang mencurigainya sekarang. Diam-diam Shasha menyelidiki keanehannya sejak kemarin untuk memastikan firasatnya adalah sebuah keberanian atau hanya kecurigaan semata.

"Jangan-jangan laki-laki yang kasih dia kalung itu, Sha. Nenek sih udah gak heran denger Dea ditinggal nikah. Karena gak bakal ada laki-laki yang baru aja pacaran langsung kasih kalung berlian mahal," ujar Nenek Ja diangguki Shasha.

"Kok wortelnya dibagi dua?" Nenek Ja melihat Shasha memisahkan wortel menjadi dua wadah.

"Ah ini buat Rama, Nek. Kasian kalau sayur supnya pedes. Jadi Shasha pisahin khusus buat dia," jawab Shasha.

Nenek Ja menodong pisau tajam tepat di wajah Shasha, sontak Shasha memundurkan wajahnya, meneguk ludah susah payah. "Kamu masih suka sama Gio?" tuduh Nenek Ja.

*****

Usai mencuci tangan, Dea membawa sepiring nasi goreng ke kamar. Dia duduk berhadapan dengan lilin aroma terapi yang pemberinya masih menjadi misteri. Mejanya berserakan lantaran belum dia rapikan sejak satu minggu lalu. Tangannya memindahkan piring dan beberapa buku yang menumpuk di meja.

"Berantakan banget sih astaga," gumamnya melihat banyak kertas kosong dibawah buku-buku.

Matanya salah fokus menangkap satu foto yang sudah usang didalam buku terjatuh saat dia hendak memindahkannya. Tangannya langsung meraih foto itu dan senyum tipisnya terbit begitu melihat jelas dirinya dan Fikri berfoto bersama disebuah kursi panjang di jalanan Malioboro kala itu.

Youth Of June (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang