10. Teras Rumah dan Keluarga Kecil Sudrajat

5 2 0
                                    

Dea menatap tanaman-tanaman Nenek Ja yang meneteskan sisa-sisa air hujan. Kemudian menengadah menatap langit malam yang gelap tanpa adanya bulan bintang.

Tindakan Nenek Ja kali ini sudah diluar batas. Dea tahu sejak dulu Nenek Ja tak pernah menyukai Sudrajat yang miskin dan hanya lulusan SMP saja. Tak seperti Gumi, ibu kandungnya yang lulusan sarjana manajemen bisnis yang mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi di perusahaan besar.

Dea mengusap kasar wajahnya. Menyugarkan rambutnya ke belakang. "Gue pusing asli."

"Pusing kenapa, Dek?" tanya Sudrajat yang entah sejak kapan sudah ada disampingnya.

Dea tersentak ketika Sudrajat menempelkan dinginnya minuman pororo kesukaannya. "Ayah dari kapan ada di sini?"

Sudrajat mengulum senyum tipis. "Kamu beneran gak mau ikut ayah?"

Dea terdiam seribu bahasa menatap mata belo sang ayah. "Adek gak bisa, ayah. Adek udah nyaman tinggal di kampung Sugar dari pada tinggal di kota," jawab Dea.

"Tapi kamu belum kenalan sama istri ayah. Ayah ingin sekali ajak dia, tapi dia ada urusan yang lebih penting. Sekali saja ikut ayah ya, nak. Kamu bisa tinggal beberapa hari di sana," paksa Sudrajat. Dia ingin melihat lagi si bungsu terbangun dari tidurnya dengan wajah yang sangat menggemaskan.

"Adek harus kerja di toserba sama suka ada photoshot pengantin bareng mbak Yuni. Rumah ayah nanti penuh kalo ada adek."

"Ya bagus dong. Ayah kan, udah siapin kamar khusus buat kamu, Nak. Lita juga pasti senang kalau kamu menginap beberapa hari di sana."

Dea terkekeh kecil. "Adek nggak mau. Sekarang putri ayah bukan cuma dua, tapi tiga, iya kan?" kata Dea diakhir kekehan kecil. Mengingat Shasha mengatakan bahwa mereka mempunyai saudara tiri sepantaran Akbar yang berbeda satu tahun dengannya.

Sudrajat memaksa senyum tipis. "Iya. Dan dia mau kuliah tahun ini," ujar Sudrajat.

Dea menghela napas berat. Menunduk sejenak kemudian menatap manik sang ayah kembali. Kuliah ada impiannya. Tetapi, dia tak memiliki ijazah SMA.

"Adek mau kuliah juga, gak? Nanti ayah bantu daftar di kampus yang sama."

Dea menggeleng kecil. "Enggak deh. Adek udah buang jauh-jauh mimpi adek kuliah itu, yah. Adek nggak mau ngerepotin ayah atau siapapun lagi," jawab Dea dengan hati getir.

Ayahnya tak mengetahui bila ijazah SMA-nya tak diberikan oleh pihak sekolah karena suatu masalah yang sempat menggemparkan.

"Nggak ngerepotin sama sekali. Kamu dan Shasha masih jadi tanggung jawab ayah." Sudrajat merangkul pundak si bungsu. "Kalau adek lagi pengen sesuatu, telepon ayah, minta sama ayah. Ayah pasti beliin kamu detik itu juga. Adek boleh repotin ayah kayak teteh Shasha."

Dea bersandar di pundak lebar pria paruh baya itu. "Adek bisa kok beli apa aja yang adek mau. Adek gak mau repotin ayah kayak teh Shasha. Teh Shasha itu beban buat ayah tau. Dia udah gede tapi gak mau kerja," sahut Dea.

Sudrajat terkekeh geli. "Shasha juga pengen kerja, tapi ayah gak kasih ijin. Ayah suruh dia jagain warung bakso di cabang lain."

Dea ikut tertawa. "Kira-kira ibu lagi apa, yah?" tanyanya mengubah topik.

Sudrajat terdiam menatap langit tanpa berkedip. Andai saja dia dapat memberitahu sebuah fakta pada putri bungsunya bila Gumi telah mempunyai kehidupan baru yang lebih menyenangkan.

"Apa di sana ibu bahagia, yah?"

Sudrajat mengerjapkan matanya berulang kali. Melirik sebentar ke arah Dea. "Ibumu pasti bahagia di kehidupan sana sampai lupa kalau ada anaknya nungguin dia sampe usianya sudah dewasa. Adek masih kuat nunggu ibu kembali, nak?"

Youth Of June (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang