•
•
Selamat Membaca
•
•
Hari itu akhirnya tiba. Pagi yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan dan kegembiraan terasa begitu hampa dan menyakitkan bagiku. Kampus yang biasanya ceria dengan tawa dan canda mahasiswa kini seakan dipenuhi bayangan suram dari perpisahan yang tak terelakkan. Berita penerimaan beasiswa Cordelia dan Nathan telah mengguncang hatiku sejak pertama kali mendengarnya. Kini, kenyataan bahwa mereka akan segera pergi membuat dunia seolah runtuh di hadapanku.
Aku berdiri di tepi lapangan kampus, menyaksikan kerumunan teman-teman yang berkerumun di sekitar Cordelia dan Nathan. Wajah Cordelia bersinar dengan kebahagiaan yang dulu selalu kunantikan. Senyumnya, tawa yang keluar dari bibirnya, semuanya terasa seperti duri yang menusuk hatiku semakin dalam. Aku mencoba menahan air mata, tetapi perasaan hampa dan kesepian itu begitu kuat, meremas hatiku tanpa ampun.
Clara berdiri di sampingku, tangannya yang hangat menggenggam lenganku dengan lembut. “Kamu kuat, Lucas,” bisiknya pelan, seolah tahu betapa sulitnya momen ini bagiku. Namun, kata-katanya hanya terdengar hampa di telingaku, seakan-akan tak ada yang bisa mengurangi rasa sakit ini.
Saat waktu perpisahan tiba, teman-teman kami mulai memberikan salam perpisahan kepada Cordelia dan Nathan. Aku berdiri di pinggir kerumunan, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di mataku. Aku tahu ini mungkin adalah kali terakhir aku melihat Cordelia, dan rasa kehilangan itu begitu menusuk. Setiap pelukan, setiap ucapan selamat dari teman-teman mereka, terasa seperti pisau yang mengiris hatiku.
Cordelia dan Nathan berdiri di tengah kerumunan, menerima pelukan dan ucapan selamat dari teman-teman. Aku melihat Cordelia menatap ke sekeliling, matanya mencari-cari sesuatu. Ketika tatapan kami bertemu, aku melihat sejenak keraguan di matanya. Namun, itu cepat berlalu, digantikan oleh tekad yang kukenal begitu baik.
“Lucas,” Clara memanggilku pelan, “mungkin kau ingin mengucapkan sesuatu kepada Cordelia.”
Aku menggeleng pelan. “Aku tidak bisa, Clara. Aku tidak ingin membuat perpisahan ini lebih sulit bagi Cordelia.”
Clara menatapku dengan penuh pengertian. “Lucas, kadang perpisahan adalah bagian dari perjalanan kita untuk menemukan diri sendiri. Kamu akan menemukan kebahagiaan lagi, meski itu terasa sulit sekarang.”
Aku menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan ini. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan mencari pasangan lagi kecuali seseorang yang memiliki ketulusan dan kecantikan hati seperti Cordelia. Namun, dalam hatiku, aku tahu betapa sulitnya menemukan seseorang yang bisa menggantikan tempat Cordelia.
Ketika kerumunan mulai berkurang, aku melihat Cordelia dan Nathan bersiap untuk pergi. Aku memandangi mereka dari kejauhan, merasakan gelombang emosi yang tak terbendung. Cordelia menoleh sekali lagi ke arahku, seolah ingin mengatakan sesuatu. Matanya yang bercahaya tampak mengabur oleh air mata yang berusaha ia tahan. Namun, akhirnya ia berbalik dan melangkah pergi bersama Nathan, meninggalkan jejak yang tak mungkin kulupakan.
Aku berdiri di sana, tubuhku seakan tak bisa bergerak, sementara Clara tetap setia di sisiku. “Terima kasih, Clara,” kataku dengan suara parau. “Aku benar-benar menghargai dukunganmu.”
Clara tersenyum lembut, meskipun aku tahu dia merasakan rasa sakitku. “Aku akan selalu ada untukmu, Lucas. Kamu tidak sendirian.”
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Setiap sudut kampus mengingatkanku pada Cordelia, pada momen-momen indah yang pernah kami bagi. Aku mencoba fokus pada pelajaran, mencoba mengalihkan pikiranku, namun bayangan Cordelia dan Nathan selalu menghantuiku. Aku masih bisa mendengar tawanya, melihat senyumnya dalam ingatanku yang kini menjadi begitu menyakitkan.
Malam-malamku dihabiskan dalam kesepian yang mendalam. Aku terjaga di tempat tidur, memikirkan Cordelia, membayangkan kehidupannya di luar sana bersama Nathan. Pikiranku terus-menerus dipenuhi pertanyaan: Apakah dia bahagia? Apakah dia merindukanku seperti aku merindukannya? Namun, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu tetap menjadi misteri yang tak terjawab.
Aku masih merasakan cinta yang sama untuk Cordelia, meskipun aku tahu bahwa dia telah melangkah maju. Harapan bahwa suatu hari dia akan kembali padaku selalu ada, meskipun semakin pudar seiring berjalannya waktu. Dan dengan setiap hari yang berlalu, aku belajar bahwa mungkin, cinta sejati adalah tentang merelakan, tentang menerima kenyataan bahwa kebahagiaan orang yang kita cintai lebih penting daripada kebahagiaan kita sendiri.
Hari berikut nya aku berdiri di tepi lapangan kampus, menyaksikan kehidupan terus berjalan di sekitarku. Meski Cordelia tidak lagi menjadi bagian dari hidupku, kenangan tentang cintanya akan selalu menjadi bagian dari diriku.
Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Setiap pagi aku terbangun dengan rasa kosong yang sama, dan setiap malam aku tertidur dengan harapan bahwa rasa sakit ini akan mereda. Namun, kenangan tentang Cordelia selalu membayangiku, seperti bayangan yang tak pernah hilang meskipun cahaya terus berubah.
Setiap sudut kampus mengingatkanku padanya. Bangku di taman tempat kami sering duduk dan berbicara tentang masa depan. Lorong-lorong kelas di mana aku menunggu untuk melihat senyumannya. Bahkan kafe di sudut jalan, di mana kami biasa menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan saling berbicara, kini terasa seperti museum kenangan yang tak terjangkau.
Aku sering mendapati diriku terhenti di tengah langkah, termenung memikirkan momen-momen indah bersama Cordelia. Aku bisa melihatnya tertawa saat kami berjalan di bawah hujan, bisa mendengar suaranya yang lembut saat ia berbicara tentang mimpinya. Setiap kenangan itu terasa begitu nyata, seakan aku bisa mengulurkan tangan dan menyentuhnya.
Clara selalu ada di sisiku, mencoba menghibur dan mengalihkan perhatianku dari bayangan Cordelia. Tapi meskipun Clara sangat pengertian dan baik hati, aku tetap merasa hampa. Setiap senyumannya hanya mengingatkanku pada senyuman Cordelia yang begitu kurindukan. Setiap kata penghiburannya hanya mengingatkanku pada kata-kata manis Cordelia yang dulu selalu membuatku merasa lebih baik.
Aku ingat saat pertama kali bertemu dengan Cordelia, bagaimana hatiku berdebar-debar hanya dengan melihatnya. Dia adalah cahaya dalam kegelapanku, seseorang yang mengajariku untuk mencintai dan percaya pada keindahan hidup lagi. Dan kini, tanpa dia, hidupku terasa seperti malam yang tak berujung.
Aku mencoba fokus pada pelajaran, mencoba memenuhi hari-hariku dengan kegiatan agar tidak terus terpuruk dalam kesedihan. Namun, setiap kali aku membuka buku atau duduk di kelas, pikiranku selalu kembali pada Cordelia. Aku membayangkan dia di tempat yang jauh, mungkin sedang menikmati petualangan baru bersama Nathan. Dan setiap kali pikiran itu muncul, hatiku terasa seperti ditusuk ribuan jarum.
Malam-malamku semakin panjang dan sepi. Aku terjaga di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dan memikirkan Cordelia. Aku membayangkan dia tidur dengan tenang, mungkin tersenyum dalam tidurnya. Aku berharap dia bahagia, meskipun kebahagiaan itu tidak lagi melibatkan diriku.
Aku tahu bahwa hidup harus terus berjalan, bahwa aku harus menemukan cara untuk move on. Tapi cinta pada Cordelia begitu dalam, begitu murni, sehingga aku merasa sulit untuk melepaskannya. Setiap hari aku berjuang melawan keinginan untuk menghubunginya, untuk mendengar suaranya sekali lagi. Namun, aku tahu bahwa itu hanya akan membuat perpisahan ini semakin sulit.
Clara terus berada di sisiku, memberikan dukungan yang tak ternilai. Meskipun dia tahu bahwa hatiku masih milik Cordelia, dia tetap setia, mencoba membuatku melihat bahwa hidup ini masih memiliki banyak hal indah untuk ditawarkan. Aku berusaha keras untuk menerima kenyataan ini, untuk membuka hatiku lagi, namun bayangan Cordelia selalu hadir, mengingatkanku pada cinta yang pernah kami miliki.

KAMU SEDANG MEMBACA
I LOVE YOU TO THE SUN AND BACK
Romansa(Cordelia terlalu indah,terlalu menarik dengan segala abstrak nya,terlalu menarik dengan segala panoramanya dan dia selalu menawan dengan awan di sekitarnya) Aku berhasil mengarang cerita yang aku impikan,yang berharap suatu saat terjadi..... Juga i...